webnovel

MELARIKAN DIRI

Untuk meneruskan rencanaku melarikan diri dari Distrik 12. Kuputuskan untuk menemukan Peeta sehabis ini. Dengan cara yang aneh, karena dia sudah melihat sebagian hal yang sudah kulihat dalam tur, Peeta mungkin lebih mudah dibujuk daripada Gale. Aku berpapasan dengannya ketika dia sedang berjalan keluar dari Desa Pemenang.

"Habis berburu ya?" tanya Peeta. Aku bisa melihat bahwa Peeta tidak menganggap berburu ini sebagai ide yang baik.

"Tidak juga. Kau mau ke kota?" tanyaku.

"Ya. Aku harus makan malam bersama keluargaku," katanya.

"Kutemani kau berjalan ya." Jalan dari Desa Pemenang menuju alun-alun jarang digunakan. Jalanan ini aman jika aku ingin bicara. Tapi tampaknya aku tidak bisa mengeluarkan kata-kataku. Menyampaikannya pada Gale tadi sudah jadi bencana tersendiri. Aku menggigit bibirku yang pecah-pecah. Alun-alun semakin dekat seiring kami melangkah. Dalam waktu dekat, aku mungkin takkan pernah punya kesempatan lain. Kuhirup napas dalam-dalam dan kata-kataku pun mengalir keluar. "Peeta, jika aku mengajakmu untuk melarikan diri dari distrik bersamaku, maukah kau melakukannya?"

Peeta langsung memegang lenganku, membuat langkahku langsung terhenti. Dia tak perlu melihat wajahku untuk tahu bahwa aku serius. "Tergantung alasan kenapa kau mengajakku."

"Presiden Snow tidak yakin padaku. Ada pemberontakan di Distrik Delapan. Kita harus pergi dari sini," kataku.

"Yang kaumaksud 'kita' itu artinya kau dan aku? Pasti bukan. Siapa lagi yang akan pergi?" tanyanya.

"Keluargaku. Keluargamu, jika mereka mau ikut. Haymitch, mungkin," kataku.

"Bagaimana dengan Gale?" tanyanya.

"Aku tidak tahu. Dia mungkin punya rencana lain," jawabku.

peeta menggeleng dan tersenyum penuh sesal padaku. "Aku

yakin begitu. Tentu, Katniss, aku akan pergi denganmu."

Aku merasakan setitik harapan. "Kau mau?"

"Yeah. Tapi kupikir kau yang tak bakal mau pergi," katanya.

Kutarik tanganku hingga lepas dari genggamannya. "Kalau begitu kau tidak kenal aku. Bersiap-siaplah. Kita bisa pergi kapan saja." Aku terus berjalan dan dia mengikutiku satu-dua langkah di belakang.

"Katniss," panggil Peeta. Aku tidak melambatkan langkahku. Jika dia pikir ini ide yang buruk, aku tidak mau tahu, karena inilah satu-satunya ide yang kutahu. "Katniss, tunggu." Kutendang sebongkah salju keluar dari jalanan dan kubiarkan dia menyusulku. Debu batu bara membuat segalanya tampak jelek. "Aku benar-benar ingin pergi kalau kau mau aku pergi bersamamu. Tapi menurutku sebaiknya kita bicarakan dulu dengan Haymitch. Kita harus pastikan bahwa kita tidak memperburuk keadaan bagi semua orang." Peeta menjulurkan kepalanya. "Apa itu?"

Aku ikutan mendongak. Saking kuatirnya, aku tidak memperhatikan suarê aneh yang berasal dari alun-alun. Suara siulan, suara hantaman, suara napas tersekat dari keiumunan massa.

"Ayo;" kata Peeta, wajahnya mendadak mengeras. Aku tidak tahu kenapa. Aku tidak bisa mengira dari mana asal suaranya, bahkan aku tidak bisa menebak apa yang sedang terjadi. Tapi suara itu berarti sesuatu yang buruk bagi Peeta.

Ketika kami tiba di alun-alun, tampak jelas sedang terjadi sesuatu, tapi kami tidak bisa melihat karena kerumunan massa terlalu ramai. Peeta naik ke atas kotak yang disandarkan ke

dinding pabrik pakaian berupah murah lalu mengulurkan

tangannya membantuku naik sementara dia mengamati kejadian di alun-alun. Aku baru setengah naik ketika Peeta men dadak menghalangi jalanku. "Turun. Pergi dari sini!" Peeta berbisik, tapi suaranya tegang penuh tekad.

"Apa?" tanyaku, berusaha memaksa naik.

"Pulanglah, Katniss! Aku akan menyusulmu sebentar Iagi, sumpah!" katanya.

Apa pun yang dilihatnya pasti buruk. Aku menarik tanganku agar lepas dari genggamannya lalu mulai berjalan menembus kerumunan. Orang-orang melihatku, mengenali wajahku, kemudian mereka tampak panik. Tangan-tangan mendorongku agar mundur. Suara-suara mendesis.

"Pergi dari sini, Nak."

"Hanya memperburuk keadaan."

"Kau mau apa? Membuatnya tewas?"

Tapi pada saat ini jantungku berdebar amat cepat sehingga aku nyaris tidak bisa mendengar suara-suara itu. Aku hanya tahu apa pun yang menunggu di tengah alun-alun seharusnya ditujukan untukku. Ketika aku akhirnya berhasil ke tempat yang lebih lapang, aku tahu aku benar. Dan Peeta benar. Dan suara-suara itu juga benar.

Kedua pergelangan tangan Gale diikat di tiang kayu. Kalkun liar yang diburunya tadi digantung di atas tubuhnya, paku menancap di leher kalkun hingga tembus ke tiang kayu. Jaket Gale tergeletak di tanah, kemejanya robek. Dia merosot berlutut tak sadarkan diri, hanya tergantung tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya. Punggungnya penuh dengan daging yang berdarah dan tercabik-cabik.

Di belakangnya berdiri pria yang tak pernah kulihat sebelumnya, tapi aku mengenali seragamnya. Seragam itu adalah seragarn Pemimpin Penjaga Perdamaian. Tapi pria itu bukan

cray.

pria itu jangkung

berotot dengan lipatan-lipatan

tajam di celananya.

Potongan-potongan gambar di depanku tidak masuk akal sampai aku melihat tangannya terangkat memegang cambuk.

"JANGAN!" aku menjerit lalu berlari maju. Sudah terlambat mencegah tangan yang memegang cambuk itu untuk berhenti bergerak turun, dan secara naluridh aku tahu aku tak punya kekuatan untuk menghalanginya. Tapi aku malahan melemparkan diriku tepat di antara cambuk dan Gale. Aku merentangkan kedua lenganku untuk melindungi sebanyak mungkin tubuh Gale yang sudah kepayahan, jadi tak ada apa pun yang bisa dipakai untuk menangkis cambukan. Aku menerima cambukan dengan kekuatan penuh itu di sisi kiri wajahku.

Rasa sakit seketika membutakanku. Kilatan-kilatan cahay melintas di hadapanku dan aku langsung berlutut. Satu t nganku memegang wajah sementara satu tangan lain nahan berat tubuhku supaya aku tidak jatuh terguling. Ak bisa merasakan air mata yang hendak mendesak keluar bengkak karena luka itu membuat mataku tertutup. Ba batuan di bawahku basah karena darah Gale, udara terasa berat dengan bau amis darah. "Hentikan! Kau bisa membunuhnya!" pekikku.

Aku sempat melihat sekilas wajah penyerangku. Wajah yang keras dengan garis-garis yang dalam, dan mulut yang keji. Rambut kelabunya dipangkas sampai nyaris botak, matanya begitu hitam seolah hanya ada pupil mata saja di sana, hidung yang lurus dan panjang tampak memerah karena udara yang dingin menggigil. Tanganku otomatis bergerak ke punggung, mencari panah, tapi tentu saja senjataku tersimpan aman di hutan. Aku mengertakkan gigi bersiap menghadapi cambukan berikutnya.

"Tunggu!" terdengar suara lantang. Haymitch muncul dan tersandung Penjaga Perdamaian yang terbaring di tanah. Ternyata Darius. Benjolan besar berwarna ungu menonjol di sela-sela rambut merahnya di dekat dahinya. Dia pingsan tapi masih bernapas. Apa yang terjadi? Apakah dia berusaha menolong Gale sebelum aku tiba?

Haymitch tidak memedulikan Darius dan menarikku berdiri dengan kasar. Tangan Haymitch mengangkat daguku. "Minggu depan dia ada pemotretan untuk menjadi model gaun pengantin. Apa yang harus kukatakan pada penata gayanya?"

Aku melihat binar di mata pria bercambuk itu, menunjukkan bahwa dia mengenaliku. Terbungkus pakaian tebal di udara dingin, wajahku bebas riasan, kepang rambutku diselipkan di balik jaket, tidak mudah mengenaliku sebagai pemenang Hunger Games terakhir. Apalagi dengan setengah wajahku yang bengkak ini. Tapi Haymitch sudah muncul bertahun-tahun di televisj, dan dia jenis orang yang sulit dilupakan.

Pria itu menyautkan cambuk di pinggangnya. "Dia menyela hukuman yang dijatuhkan pada penjahat yang sudah mengaku

Segalanya tentang pria ini, suaranya yang penuh kuasa,

aksennya yang aneh, menyiratkan ancaman yang asing dan berbahaya. Dari mana asal pria ini? Distrik 11? 3? Langsung dari Capitol?

"Aku tidak peduli jika dia meledakkan Gedung Pengadilan! Lihat pipinya! Kaupikir pipi semacam ini siap untuk kamera dalam seminggu?" bentak Haymitch.

Suara pria itu masih terdengar dingin, tapi aku bisa merasakan sedikit keraguan. "Itu bukan masalahku."

"Bukan? Sebentar Iagi ini akan jadi masalahmu, sobat. Telepon pertamaku saat aku di rumah nanti adalah ke Capitol," kata Haymitch. "Aku mau mencari tahu siapa yang memberimu hak untuk merusak wajah cantik pemenang kita ini!"

"Lelaki ini berburu tanpa izin. Lagi pula apa urusannya dengan dia?" tanya pria itu.

"Lelaki ini sepupunya." Peeta menggamit lenganku sekarang, tapi genggamannya lembut. "Dan gadis ini tunanganku. Jadi kalau kau mau menghukumnya, kau harus melewati kami berdua."

Mungkin kamilah orangnya. Tiga orang di distrik yang bisa berdiri melawan seperti ini. Meskipun aku yakin semua ini cuma sementara. Bakal ada hukuman. Tapi pada saat ini, yang kupikirkan adalah menjaga Gale tetap hidup. Pemimpin Penjaga Perdamaian yang baru menoleh ke belakang melihat pasukannya. Lega rasanya ketika aku melihat wajah-wajah yang familier, teman-teman lamaku dari Hob. Dari ekspresi wajah mereka terlihat bahwa mereka tidak menyukai kejadian yang mereka saksikan ini.

Seorang wanita bernama Purnia yang biasa makan di

greasy Sae melangkah maju dengan kaku, "Saya yakin, untuk pelanggaran pertama jumlah cambukan sudah ditetapkan dalam jumlah tertentu. Kecuali hukumannya adalah hukuman mati, yang di laksanakan oleh regu tembak.

"

"Apakah itu protokol standar di sini?" tanya Pemimpin Penjaga Perdamaian.

"Ya, Sir," sahut Purnia, dan beberapa orang mengangguk

setuju. Aku yakin tak ada seorang pun yang tahu, karena di Hob aturan protokol standar untuk orang yang datang membawa kalkun liar adalah semua orang menawar untuk memperoleh daging pahanya.

"Baiklah. Bawa pergi sepupumu dari sini, Nak. Dan jika dia sadar nanti, ingatkan dia jika lain kali dia berburu di tanah milik Capitol, aku sendiri yang akan memilih anggota regu tembaknya." Pemimpin Penjaga Perdamaian itü menyeka cambuknya dengan tangan, mencipratkan jejak darahnya pada kami. Kemudian dia menggulungnya dengan cepat dan rapi lalü berlalu pergi.

Sebagian beşar Penjaga Perdamaian lain berbaris kaku di belakangnya. Sekelompok lain tinggal di belakang dan mengangkat tubuh Darius dengan memegangi kaki dan tangannya. Aku sempat menangkap tatapan Purnia dan mulutku membentuk ucapan "Terima kasih" tanpa şuara sebelum dia pergi. Dia tidak menjawab, tapi aku yakin dia memahaminya.

"Gale." Aku berbalik, kedua tanganku berusaha melepaskan ikatan yang membelenggu pergelangan tangannya. Ada orang yang mengulurkan pisau dan Peeta memotong tali itu. Gale langsung terjatuh ke tanah.

"Lebih baik kita segera membawanya ke ibumu," kata Haymitch.

Tidak ada usungan, tapi wanita di toko pakaian menjual papan penutup tokonya pada kami. "Tapi kalian jangan bilang dari mana mendapatkannya," katanya, dan segera mengemas Sisa barang-barangnya dengan cepat. Nyaris seluruh bagian alun-alun sudah kosong, rasa takut menggantikan belas kasihan.