webnovel

BISIKAN

"Kau yakin?" tanyaku. "Karena keadaan pasti akan sulit, dengan adanya anak-anak dan segalanya. Aku tidak mau kita masuk jauh ke dalam hutan dan kau..."

"Aku yakin. Aku yakin sepenuhnya, seratus persen yakin." Dia menundukkan dahinya agar bisa bersandar dengan dahiku lalu menarikku mendekat. Kulitnya, seluruh keberadaan dirinya, memancarkan panas karena berada begitu dekat dengan api dan aku memejamkan mataku, membenamkan diri dalam kehangatannya. Aku menghirup aroma kulit yang lembap kena salju, asap, dan apel, dan aroma hari-hari musim dingin yang kami Ialui bersama sebelum Hunger Games. Aku tidak berusaha menjauh. Lagi pula, untuk apa? Suaranya berubah menjadi bisikan. "Aku cinta padamu." ltu sebabnya.

Aku tak pernah menyangka kalimat ini akan meluncur keluar. Semua terjadi terlalu cepat. Sedetik lalu kau baru mengajukan rencana melarikan diri dan selanjutnya... kau diharapkan untuk menghadapi sesuatu seperti ini. Aku memberikan jawaban yang pastinya merupakan jawaban terburuk yang ada di dunia ini. "Aku tahu."

Jawaban itu terdengar buruk. Seakan aku berasumsi bahwa dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mencintaiku tapi aku tidak punya perasaan yang sama terhadapnya. Gale mulai menarik diri, tapi aku merenggutnya. "Aku tahu! Dan kau... kau tahu apa arti dirimu bagiku." Kata-kataku tidak cukup. Dia melepaskan genggamanku. "Gale, aku tidak bisa memikirkan siapa pun dengan cara seperti itu sekarang. Yang bisa kupikirkan setiap hari, sejak mereka mengambil nama Prim pada hari pemungutan, adalah betapa takutnya diriku. Dan sepertinya tidak ada ruang untuk perasaan Iain lagi. Jika kami bisa berada di tempat yang aman, mungkin aku bisa berubah. Aku tidak tahu."

Aku bisa melihat Gale menelan kekecewaannya. "Jadi, kita akan pergi. Kita akan mencari tahu." Dia berjalan ke arah dpi, di sana kastanyenya mulai gosong. Dia mengeluarkannya lalu menaruhnya ke atas perapian. "Ibuku pasti butuh waktu lama untuk diyakinkan."

Kurasa dia masih mau pergi bersamaku. Tapi kebahagiaannya lenyap sudah, menyisakan tekanan yang sudah tidak asing lagi di sana. "Ibuku juga. Aku hanya perlu membuatnya melihat alasan kenapa kita harus pergi. Ajak ibumu jalan-jalan. Pastikan dia mengerti bahwa kita takkan selamat jika memilih jalan lain."

"Dia akan mengerti. Aku sering menonton tayangan Hunger Games bersamanya dan Prim. Dia takkan menolak ajakanmu," kata Gale.

"Kuharap tidak." Suhu udara di rumah ini seakan turun sepuluh derajat hanya dalam hitungan detik. "Haymitch yang akan sulit dibujuk."

"Haymitch?" Gale langsung mengabdikan kastanyenya. "Kau akan mengajaknya ikut bersama kita?"

"Aku harus mengajaknya, Gale. Aku tidak bisa meninggalkan dia dan Peeta karena merekd..." Dengusan sinis Gale memotong ucapanku. "Apa?"

"Maafkan aku. Aku tidak menyadari betapa ramainya rombongan kita," bentaknya.

"Capitol akan menyiksa mereka sampai mati, untuk mencari tahu di mana keberadaanku," kataku.

"Bagaimana dengan keluarga Peeta? Mereka takkan pernah mau ikut. Bahkan mereka mungkin tidak sabar membocorkan informasi tentang kita. Dan aku yakin Peeta cukup cerdas untuk menyadarinya. Bagaimana jika dia memutuskan untuk tinggal?" tanya Gale.

Aku berusaha terdengar tak peduli, tapi suaraku pecah engkhianatiku. "Kalau begitu, dia tetap tinggal." "Kau akan meninggalkannya?" tanya Gale.

"Untuk menyelamatkan Prim dan ibuku, ya," jawabku.

"Maksudku, tidak! Aku akan memaksanya ikut."

"Dan aku, apakah kau akan meninggalkanku?" Ekspresi wajah Gale sekeras batu sekarang. "Seandainya, seandainya saja, aku tidak bisa meyakinkan ibuku untuk membawa tiga anak di bawah umur ke alam liar pada musim dingin."

"Hazelle takkan menolak. Dia akan mengerti alasannya," kataku.

"Seandainya dia tidak mau, Katniss. Lalu bagaimana?" tanya Gale.

"Lalu kau harus memaksanya, Gale. Apa kaukira aku cuma mengarang semua ini?" Suaraku meninggi dalam kemarahan.

"Tidak. Aku tidak tahu. Mungkin Presiden hanya memanipulasimu. Maksudku, dia yang akan membayari pesta pernikahanmu. Kaulihat bagaimana reaksi massa di Capitol. Menurutku dia tidak bisa membunuhmu. Atau Peeta. Bagaimana caranya meloloskan diri dari hal itu?" tanya Gale.

"Dengan adanya pemberontakan di Distrik Delapan, aku tidak yakin Presiden sibuk menghabiskan waktunya memilihkan kue pengantin untukku!" pekikku.

Tepat ketika kata-kata itu terucap, aku ingin menariknya lagi. Efek pernyataanku langsung mengena pada Gale—kedua pipinya merona, mata kelabunya langsung berbinar. "Ada pemberontakan di Distrik Delapan?" tanyanya dengan suara berbisik.

Aku berusaha menahannya. Untuk meredam Gale, seperti yang kulakukan untuk memadamkan kegelisahan di distrikdistrik. "Aku tidak tahu apakah benar-benar ada pemberontakan. Ada kegelisahan di masyarakat. Orang-orang di jalanan.... ataku.

Gale mencengkeram kedua bahuku. "Apa yang kaulihat?" "Tidak ada! Tidak secara langsung. Aku hanya mendengar suatu." Seperti biasa, terlalu sedikit dan terlambat. Aku meyerah dan memberitahunya. "Aku melihat sesuatu di televisi Wali Kota. Aku seharusnya tidak boleh melihatnya. Ada kerumunan massa, api, dan para Penjaga Perdamaian menembaki orang-orang, tapi mereka terus melawan... Kugigit bibirku dan berusaha menggambarkan adegan yang kulihat. Namun kata-kata yang terucap adalah segala yang selama ini menggerogotiku. "Dan ini salahku, Gale. Karena apa yang kulakukan di arena. Jika aku langsung bunuh diri dengan buah-buah berry, semua ini takkan terjadi. Peeta bisa pulang dan hidup tenang, dan semua orang juga akan selamat."

"Selamat melakukan apa?" tanyanya dengan suara yang lebih lembut. "Kelaparan? Bekerja seperti budak? Mengirimkan anak-anak mereka ke hari pemungutan? Kau tidak menyakiti siapa pun—kau memberi mereka kesempatan. Mereka hanya perlu cukup berani untuk mengambilnya. Sudah ada omongan di tambang. Orang-orang ingin berjuang. Kau tidak melihat ya? Ini sedang terjadi! Akhirnya terjadi! Jika terjadi pemberontakan di Distrik Delapan, kenapa tidak di sini juga? Ke napa tidak di semua tempat? Ini bisa jadi sesuatu yang kita..."

"Hentikan! Kau tidak tahu apa yang kaubicarakan. Para Penjaga Perdamaian di luar Distrik Dua Belas tidak seperti Darius atau bahkan Cray! Nyawa penduduk distrik tidak ada artinya buat mereka!" kataku.

"ltu sebabnya kita harus bergabung dengan perjuangan ini!" jawabnya keras.

"Tidak! Kita harus pergi dari sini sebelum mereka membunuh kita dan banyak orang lain!" Aku kembali berteriak, aku tidak bisa mengerti alasan Gale melakukan semua ini. Kenapa dia tidak bisa melihat sesuatu yang tak bisa diingkari lagi kebenarannya?

Dengan kasar Gale mendorongku menjauh darinya. "Kalau begitu, kau pergi saja. Aku takkan pernah mau pergi sampai kapan pun."

"Sebelumnya kau gembira bisa pergi. Yang kulihat malahan pemberontakan di Distrik Delapan seharusnya membuat kita harus segera pergi. Kau hanya marah tentang..." Tidak, aku tidak bisa melempar Peeta ke hadapan Gale. "Bagaimana dengan keluargamu?"

"Bagaimana dengan keluarga-keluarga lain, Katniss? Mereka yang tidak bisa melarikan diri? Kau tidak mengerti? Ini bukan lagi tentang menyelamatkan diri kita lagi. Tidak, jika pemberontakan sudah dimulai!" Gale menggeleng, tidak menyembunyikan rasa jijiknya padaku. "Kau bisa melakukan banyak hal." Dia melempar sarung tangan Cinna ke kakiku. "Aku berubah pikiran. Aku tidak mau segala barang yang mereka buat di Capitol." Lalu dia pun pergi.

Aku menunduk memandang sarung tangan itu. Segala barang yang mereka buat di Capitol? Apakah itu juga ditujukan untukku? Apakah dia pikir aku sekarang hanyalah salah satu produk Capitol dan menjadi sesuatu yang tak mau disentuhnya lagi? Ketidakadilan ini membuatku marah besar. Tapi perasaan ini berpadu dengan rasa takut memikirkan entah hal gila apa yang akan dia lakukan nanti.

Aku duduk di dekat perapian, mencari-cari kehangatan, memikirkan langkahku selanjutnya. Aku menenangkan diri dengan memikirkan bahwa pemberontakan tidak langsung terjadi dalam satu hari. Gale tidak bisa bicara dengan para penambang sebelum besok. Kalau aku bisa bicara dengan Hazelle sebelum

itu, dia mungkin bisa meluruskan pandangan Gale. Tapi aku tidak bisa pergi sekarang. Jika Gale ada di rumahnya, dia takkan mengizinkan aku masuk. Mungkin nanti malam, setelah semua orang tidur... Hazelle sering tidur larut membereskan cuciannya. Aku bisa ke sana, mengetuk jendela rumahnya, dan memberitahukan keadaan padanya agar dia bisa menjaga Gale untuk tidak melakukan tindakan yang gegabah.

Aku teringat kembali percakapanku dengan Presiden Snow waktu itu.

Para penasihatku kuatir kau akan menyulitkan, tapi kau tidak berencana untuk bersikap menyulitkan, kan?" tanyanya.

"Tidak."

"Kubilang juga begitu pada mereka. Kukatakan pada mereka gadis mana pun yang bersusah payah seperti itu untuk menjaga dirinya tetap hidup takkan mau membuang hidupnya begitu saia."

Kupikirkan bagaimana sulitnya Hazelle berusaha menjaga keluarganya tetap hidup. Tentunya dia akan berada di pihakku dalam hal ini. Ya, kan?

Saat ini pasti sudah menjelang tengah hari dan siang hari kini begitu singkat. Tidak ada gunanya berada di hutan setelah malam tiba jika tidak ada urusan penting. Kuinjak-injak sisa api hingga padam, membersihkan sisa-sisa makanan, dan menyelipkan sarung tangan Cinna di ikat pinggangku. Kurasa lebih baik kusimpan dulu sarung tangan ini untuk sementara. Siapa tahu Gale berubah pikiran. Kuingat lagi bagaimana raut wajah Gale ketika dia melempar sarung tangan ini ke tanah. Betapa jijik raut wajahnya terhadap barang itu, terhadapku...

Aku berjalan melewati hutan dan tiba di rumah lamaku ketika cahaya matahari masih ada. Obrolanku dengan Gale jelas menjadi satu langkah mundur, tapi aku masih bertekad

untuk meneruskan rencanaku melarikan diri dari distrik 12.