Cahya dengan begitu polos, mengikuti arahan dari Amel untuk masuk ke dalam hutan tanpa membawa peta berisikan petunjuk dari sekolah. Semakin lama, langkah Cahya semakin jauh menyusuri hutan yang mulai terlihat gelap karena lebatnya pepohonan.
Kedua mata Cahya berpendar, mencari keberadaan bendera kuning sesuai dengan arahan Bu Siska. Kegiatan seperti ini memang sangat disukai oleh Cahya sekalipun harus menguras tenaga karena Medan yang sulit ditempuh.
Beberapa kali, Cahya hampir tersungkur karena batuan yang menghalangi langkahnya. Cahya sedikit berjengit karena posisinya berada di kanan dan kiri jurang. Sesekali juga Cahya mencoba mengintip dasar jurang yang tidak terlihat karena tertutup semak belukar.
"HALO!" Cahya berteriak, mencoba menginterupsi panitia yang kemungkinan berada di sekitarnya.
Karena tidak ada sahutan sedikitpun, Cahya akhirnya kembali melanjutkan langkah sampai akhirnya nanti bisa bertemu dengan panitia. Semakin lama, Cahya bisa merasakan bahwa langkahnya semakin jauh. Bahkan Cahya tidak tahu di mana letak titik kumpul bersama regunya saat berangkat tadi. Namun semua itu diabaikan Cahya karena dia harus bisa mencari bendera kuning.
Langkah Cahya berhenti ketika merasakan deru nafasnya semakin tidak beraturan. Cahya menyesal karena tidak membawa minum karena berpikir kegiatan seperti ini tidak terlalu lama.
"Uhuk!" Cahya terbatuk ketika angin kencang menerpa diikuti debu-debu yang menembus kerongkongannya.
Sekuat tenaga Cahya melanjutkan langkahnya walaupun kini sudah mulai linglung. Benar apa kata orang jika tidak baik memaksakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kapasitas kita, dan itu dirasakan oleh Cahya saat ini.
Di tengah tubuhnya yang semakin terasa lemah, Cahya mendengar suara teriakkan yang entah dari mana menyerukan namanya. Cahya tidak tahu itu siapa namun dia bisa merasakan sebuah dekapan hangat yang membungkus tubuh lemahnya.
***
Pergerakan Arsen hanya mondar-mandir ke sana kemari setelah Sandra memberikan informasi tentang hilangnya Cahya. Pemuda itu bingung harus berbuat apa karena perginya Cahya ke acara camping ini atas permintaannya kepada orang tua Cahya.
"Arsen, lo tenang dulu … jangan kayak gini!" tegur Nico yang risih sendiri melihat kepanikan Arsen.
Tatapan Arsen mengarah begitu tajam kepada Nico. "Lo pikir, gue bisa tenang sekarang? Cahya itu tanggung jawab gue juga, Nic … gue yang izin ke orang tuanya supaya dia boleh ikut acara ini!" tegas Arsen sekaligus memberitahu Nico.
Mendengar apa yang dikatakan oleh Arsen, seketika itu juga Sandra segera berkata. "Kamu izin seperti apa, Arsen? Jangan bilang kamu dan Cahya mengucapkan kebohongan sama orang tuanya?" tuding Sandra dengan mata menyipit.
Arsen jadi gelagapan mendengar pertanyaan itu. Yang ada dalam pikiran Arsen, dia takut kalau ternyata Sandra berpikiran macam-macam lagi dengannya dan Cahya. Arsen tidak mau Sandra sampai cemburu buta lagi kepada Cahya dan membuat hubungan renggang.
"Arsen … ngaku, nggak?"
Suara Sandra kembali menginterupsi Arsen namun sekarang bernada dingin. Jika sudah seperti ini, tidak ada yang bisa lagi Arsen tutupi kepada Sandra. Dilanjutkan kebohongan pun, yang ada hubungan mereka dipertaruhkan.
"Iya-iya! Aku dan Cahya sudah membuat kebohongan!" tukas Arsen pasrah.
Nico segera mendekat ke arah sahabatnya yang terlihat menciut ketika di hadapkan dengan Sandra selaku kekasih. Pemuda itu menatap Arsen tidak sabar, menunggu kelanjutan penjelasan dari Arsen yang kini hanya mampu tertunduk.
"Ya udah, jelasin sekarang," perintah Sandra berusaha untuk tidak marah.
"Aku dan Cahya, mengaku pada orang tuanya kalau kegiatan camping ini sebagai syarat ujian dan jika tidak ikut—maka Cahya tidak bisa mengikuti ujian," jelas Arsen pada akhirnya. Apa yang diceritakan murni kejujuran seperti saat dia berkata pada Ibu Cahya saat itu.
Mendengar penjelasan Arsen, Sandra hanya mampu terdiam membisu. Sandra tidak menyangka jika Arsen akan melakukan segala cara dan upaya agar Cahya dapat mengikuti kegiatan ini. Sebegitu besar pengaruh Cahya untuk hidup Arsen dan Sandra tidak suka!
"Kamu … rela berbohong demi Cahya?" cicit Sandra setelah sempat terdiam cukup lama.
Waduh! Nico langsung membatin dengan segala firasat buruk tentang dua manusia di depannya. Entah mengapa, Nico yakin sekali jika dua orang itu pasti akan terlibat perdebatan setelah ini.
Namun ternyata, keberuntungan berpihak pada Nico karena Bu Siska menginterupsi para peserta supaya segera berkumpul. Ada hal yang katanya akan disampaikan kepada mereka semua terkait hilangnya Cahya.
Sebagai seorang sahabat, Arsen dan Nico langsung berlari menuju Bu Siska tanpa memikirkan bagaimana reaksi Sandra setelah ini. Sandra yang ditinggal oleh Arsen hanya bisa mengulas senyuman kecut karena merasa diduakan.
Selepas diminta untuk berkumpul, panitia dan juga jajaran guru mulai menyebar ke area hutan. Nico dan Arsen yang awalnya ingin ikut pun langsung dilarang karena takut akan menjadi beban tambahan bagi para guru. Bu Siska khawatir akan semakin banyak korban yang hilang jika ada murid dari pihak luar harus ikut turun tangan.
"Arsen, yakin bakal diem aja gini?" Nico berbisik karena di sekitar mereka ada murid lain.
Arsen melirik dan menggelengkan kepalanya pelan. "Nggak, lah. Mana bisa gue diem aja di saat Cahya belum ditemukan?" sahutnya lumayan panik.
"Mau saran dari gue, gak?" ucap Nico menaik turunkan alisnya.
Dahi Arsen seketika bergelombang mendengar ucapan Nico. Namun tak ayal dia juga menganggukkan kepala yang langsung disambut sorakan pelan dari Nico.
"Kita pura-pura ke toilet sekarang, terus pas di dekat sana—kita pisah. Lo ke arah kiri hutan, gue ke kanan. Gimana?"
Untuk beberapa saat Arsen terdiam, menimang tawaran Nico. Kemudian tatapannya beralih pada Sandra yang sepertinya tidak minat dengan obrolan kedua laki-laki itu. Sedetik kemudian, Arsen mengangguk setuju.
"Gue mau. Tapi—gue izin dulu ke Sandra biar dia nggak curiga," bisik Arsen.
Nico hanya mengacungkan jempol sebagai balasan. Kedua matanya tidak lepas mengamati
Arsen yang sepertinya berusaha membujuk Sandra. Sampai akhirnya, Arsen kembali ke arah Nico dengan raut lega.
Kedua pemuda itu melangkah beriringan menuju toilet dengan sesekali mengobrol. Itu semua dilakukan agar tidak ada yang curiga dengan gerak-gerik keduanya ketika nanti memasuki hutan.
"Keadaan aman, pisah sekarang aja," kata Nico setelah melihat ke sekeliling.
Arsen mengangguk kemudian menyalakan kompas yang memang sudah dipersiapkan. Pemuda itu menyisir hutan ke bagian kiri seperti perintah Nico. Arsen melangkah semakin jauh ke dalam hutan sampai sinar matahari hampir tidak bisa menembus. Dia tidak bisa membayangkan jika Cahya harus terjebak di situasi seperti ini.
Senter kecil yang berada di saku celana, mulai dinyalakan Arsen karena minimnya penglihatan. Kening Arsen sedikit mengernyit ketika mendengar suara desisan seperti—entah ular atau manusia karena begitu lirih. Untuk hal mistis, Arsen tidak terlalu peduli karena ada Tuhan yang senantiasa melindungi.
"To … long …"
Mata Arsen membulat sempurna setelah mendengar suara permintaan tolong. Tidak salah lagi, itu adalah suara Cahya yang membutuhkan pertolongan darinya. Secepat mungkin Arsen melebarkan langkah kakinya.
***