"Bukan, Om, saya hanya bantu-bantu carikan penumpang," sahut Kamal masih dengan wajah tertekuk, dada was-was.
"O ... terus, mobilnya siapa ini yang mau langsung jalan?" tanya pria ini lagi.
Nada bicaranya terdengar seperti para penumpang pada umumnya. Ia tidaklah seperti apa yang dikhawatirkan oleh Kamal. Sampai di sini, Kamal memberanikan diri mengangkat wajah.
"Itu, Om," sahut Kamal sambil mengarahkan telunjuk pada sebuah mikrolet yang terparkir di pinggir jalan raya. "Pete-petenya Bang Darman," tambahnya.
Pak Romli, lelaki lima puluhan ini tampak mengunci tatap. Sejenak kemudian, ia kembali mengucap, "Coba tolong kamu pergi tanyakan, masih bisakah muat bal? Om ada bawa bal."
"Besar balnya, Om?" sambung Kamal.
"Tidak juga," sahut Pak Romli, "hanya seperduanya, tapi om masih ada dua tas besar juga."
"Baiklah, Om, tunggu sebentar."
"Cepat sedikit, ya! Sudah siang. Kalau tidak bisa, om mau cari carteran saja."
"Iya, Om," sahut Kamal lalu gegas beredar.
Pak Romli, seorang pedagang alas kaki dari pasar ke pasar. Kamal mengenalnya, dan bahkan tahu di mana rumah beliau. Selain itu, di lapak beliaulah tempo hari Kamal mencuri sepatu.
"Bisa, Om." Kamal sudah kembali. "Tapi sebelum ke kampung, Bang Darman bilang, dia singgahkan dulu penumpang kota."
"Iya, tidak apa-apa," balas Pak Romli.
Enam bulan kemudian.
Bulan Ramadan sebentar lagi tiba, kerinduan pada rumah semakin tidak terbendungkan. Berbekalkan tekad, Kamal meninggalkan sejenak hiruk-pikuk pelabuhan Ujung beserta segala rahasia yang ada padanya. Pelabuhan Ujung, adalah suatu daerah pesisir yang menjadi tempat Kamal mengadu nasib di sepuluhan bulan terakhir ini.
Pelabuhan yang menghubungkan dua daratan ini, hanya berjarak sekira lima puluhan kilometer dari desa asal Kamal. Meskipun kehidupan di sini sangat keras, tetapi sebagai seorang tuna wisma, Kamal merasa, pelabuhan dengan segenap 'keangkerannya' ini sudah sangat layak untuk dirinya. Andai bukan debar-debar rindu, Kamal berpikir, rela tinggal selamanya hingga berkalang tanah di ujung pulau ini.
***
"Sudah, Kamal," tepis Pak Romli kala Kamal menyodorkan sejumlah uang untuk harga sepatu yang pernah ia curi di lapak beliau. "Tempo hari, bapakmu sudah datang tebus. Bapakmu, maksa, padahal om sudah ikhlaskan," tambah beliau.
Bapak? Sesal dalam diri Kamal, ianya setara gada yang dihantamkan ke tengkuk.
Pun, usai menyampaikan permohonan maaf yang tak terhingga, Kamal beredar meninggalkan rumah Pak Romli yang hanya sekian ratus meter dari areal pasar kecamatan.
****
Tok tok tok!
"Assalamu'alaikum." Kini Kamal sudah berdiri di depan pintu.
"Wa'alaikum salam," balas orang dari dalam rumah.
Tap tap tap! Daun pintu terbuka, Bu Senia mendongak.
"Saya pulang, Ma," ucap Kamal dan langsung merebut tangan Bu Senia.
"Ya, Allah, Kamal? Benar ini kamu, Nak? Ya, Tuhan, kenapa kamu selusuh ini? Rambutmu, o, Tuhan ... kenapa kamu seperti gelandangan seperti ini, Kamal?"
"Kamu tinggal di mana selama ini? Kasi hilang dulu capekmu baru cepat mandi! Ya, Tuhan, Kamal ... rambutmu ini, anak-anak tidak boleh gondrong begini, Nak! Mandilah, biar mama yang guntingkan rambutmu."
Sekian lama tak bertemu, ternyata kondisi fisik Kamallah yang mendapatkan perhatian lebih dari Bu Senia. Kamal suka, cinta ibunya masih seputih susu. Kasihnya pula, gala bukanlah tandingannya.
"Bapak di mana, Ma?" Sebagaimana Mala, sejak tadi Kamal tidak melihat adanya ayahnya. Kamal tidak sabar ingin menyentuh ujung kaki beliau sembari menyampaikan permohonan maaf.
"Bapakmu ke Malaysia," jawab Bu Senia. "Mandilah dulu, nanti mama ceritakan."
"Ke Malaysia?" gumam Kamal. Ada desir sesal dalam dirinya. "Kalau Mala, Ma, di mana?"
"Di rumah nenek kalian," jawab Bu Senia.
"Nenek?" gumam Kamal dengan dahi mengkerut.
"Iya," sambung Bu Senia dengan begitu cepatnya. "Kakek kalian sudah pensiun, sekarang mereka menetap di kampung ini," tambahnya.
Sampai di sini, saluran pernapasan Kamal seperti ada yang menyumbatnya. Kamal tidak tahu bagaimana sekarang, tetapi dulu, entah apa penyebabnya, Kamal tahu, terlebih kakek, tidak seberapa menyukai dirinya.
Sebelum pulang lalu menetap di kampung ini pada tiga tahunan silam, sejak kecil hingga kelas empat sekolah dasar, Kamal sekeluarga juga tinggal di kota. Rumah Kamal, tidak jauh dari rumah kakeknya di kota sana.
Kehidupan keluarga Kamal di kota kala itu, sebenarnya baik-baik saja dan terbilang berkecukupan, meskipun tidak berlebihan.
Pak Rajimin adalah tangan kanan seorang pemborong bangunan yang bernaung di suatu CV yang bergerak di bidang pengembang perumahan.
Andai Pak Rajimin bukan seorang kaki judi kambuhan, yang apabila sedang kumat, terkadang menghilang dari rumah hingga satu bulanan baru pulang, Kamal berpikir, mungkin kondisi perekonomian keluarga mereka bisa sejajar, bahkan bisa jadi lebih baik dari tetangga di kiri dan kanan.
Kata mama Kamal, bapak itu mungkin punya perempuan lain di luaran sana. Hanya saja, dugaan yang kerap menjadi pemicu pertengkaran orang tuanya tersebut, selalu disangkal oleh bapak. Tidak ada bukti kuat untuk dugaan sepihak dari mama tersebut.
Puncaknya, dan yang menjadi awal dari kepulangan Kamal sekeluarga ke kampung halaman ini, adalah kecelakaan lalu lintas yang dialami oleh Pak Rajimin, yang mana itu menjadikan kaki beliau cacat permanen.
Pak Rajimin yang mengalami kecelakaan, kakek yang membiayai ongkos perobatannya, sedangkan Bu Senia yang tidak tahu-menahu, menjadi orang yang sangat dipersalahkan dalam kasus kecelakaan tunggal yang dialami oleh Pak Rajimin.
Hanya karena sebelum mengalami kecelakaan, Pak Rajimin dan Bu Senia bertengkar hebat, Bu Senia dituding menjadi biang masalah, pembawa sial. Sedangkan Kamal dan Mala, adalah yang tidak luput dari kekesalan kakek dan nenek mereka.
Berangkat dari kenyataan itu, Kamal berpikir, apa yang bisa diharapkan dari kakek dan nenek? Apalagi, cucu-cucu mereka bukan hanya Kamal dan Mala saja yang tinggal di kampung ini.
"Jadi, selama ini kamu yang selalu kirim kue broncong itu?" tanya Bu Senia di sela-sela kesibukan tangannya memainkan gunting, juga pisau silet di kepala Kamal.
"Iya, Ma," sahut Kamal. "Di pelabuhan Ujung sana, harga beroncong sedikit murah dari di sini."
"Kenapa sopir-sopir yang kasi singgah beroncong itu mereka tidak pernah sebut namamu? Kalau mama tanya, mereka hanya bilang 'Dari temannya Mala'."
"Selain itu, mereka juga tidak pernah bilang kalau itu dikirim dari pelabuhan Ujung. Kamu larang mereka bilang-bilang, ya?" cecar Bu Senia lagi.
"Iya, Ma," sahut Kamal. "Saya takut bapak tidak mau terima kalau tau beroncongnya dari saya."
"Bapakmu sudah lama berangkat. Hanya beda tiga bulan dari kamu," sambung Bu Senia.
"Sering juga bapak kirim uang, Ma?" Kamal mulai penasaran seperti apa sikap bapaknya setelah berjauhan dari mamanya.
"Tidak usah pikirkan dia," jawab Bu Senia. "Mama masih bisa kalau hanya untuk makanan kalian. Berdoa saja semoga kita semua sehat, umur panjang, mudah rejeki."
"Tidak ada sama sekali, Ma?" Kamal semakin penasaran.
"Ha ha ha, bapak kalian itu lucu. Ada dia kirim, sebelas ribu lima ratus. Untuk beli garam, katanya. Hanya itu, sampai hari ini belum ada lagi. Sudah, tidak usah dibahas."
Sampai di sini, Kamal tidak bertanya apa pun lagi.
"Nah, kalau begini, 'kan kelihatan tampan," ucap Bu Senia.
Bu Senia sudah selesai merapikan rambut Kamal. Kamal tahu, ibunya hanya coba menghibur.
***
"Ma, boleh saya kembali sekolah?"
"Kamu masih mau sekolah?"
"Iya, Ma, kalau Mama mengizinkan," imbuh Kamal. Bu Senia terdiam dengan wajah yang berangsur-angsur suram.