webnovel

Bab 15

"Kalau kau ingin menolak, kau bisa mengatakan langsung pada Nyonya Felton." Dave menyahut lagi masih dengan nada yang kurang bersahabat di telingaku.

Aku dan Steve tentu melihat ke arah Dave saat ia berbicara.

"Dave," tegur Steve padanya.

"Apa? Kau juga tidak ingin dia tinggal di kediaman keluarga kalian kan?" Dave menyindir.

Aku menegang mendengar itu. Tanganku saling meremas satu sama lain sebagai bentuk pengalihan rasa sesak yang tiba-tiba datang.

"Dave!" Steve meninggikan suaranya.

Steve lalu beralih memandangku, "Dengar Helen, aku tidak keberatan kau tinggal di kediaman kami. Selama itu keinginan Mom, aku tidak akan keberatan. Oke?"

Aku balas memandang Steve namun tidak membalas kalimatnya. Aku masih belum bisa menghilangkan perasaan tidak nyaman ini meski Steve mengatakan itu.

Steve melanjutkan, "Jadi lupakan saja apa yang dikatakan Dave tadi. Dia memang selalu begini. Makannya tidak ada wanita yang berani dekat-dekat dengannya."

Aku berkedip mendengar kalimat terakhir Steve.

"Hei!" Dave berseru tidak terima.

Apa Steve baru saja mengejek orang lain? Terlebih mengejek sepupunya yang sangat dekat dengannya di depan seseorang yang tidak berarti sepertiku? Ah, aku lupa, aku itu kan mantan calon tunangannya.

Steve sepertinya ingin menghilangkan ketidaknyamanan karena kata-kata Dave.

Tiba-tiba suara ponselku berbunyi di atas pangkuanku. Aku melihat nama pemanggil di layar ponsel, Mrs. Felton. Ibu Steve menelepon.

Aku otomatis menatap Steve, bisa kulihat kedua pria itu juga menatap sumber suara yang menginterupsi percakapan kami.

"Mrs. Felton," kataku. Lalu mengangkat panggilan itu.

Semua yang kulakukan tidak lepas dari pandangan Steve dan Dave.

'Halo, Helen.'

"Halo, Mom," lidahku kaku saat memanggil ibu Steve seperti itu di depan anaknya sendiri.

'Besok ke rumah Mom, ya?'

"Ah," jeda sejenak untuk menatap Steve, aku teringat permintaan yang tadi dibicarakan. "Baiklah."

Jika aku mau menolak mungkin memang bisa kulakukan besok dengan berbicara dengan Nyonya Felton secara langsung.

'Jangan lupa bawa pakaianmu, ya.'

Aku terdiam, Nyonya Felton seolah memastikan aku akan tinggal di kediamannya.

Sambil menatap Steve, aku menjawab dengan ragu, "Baik, Mom."

Steve tampak penasaran, aku semakin merasa ragu dan takut dengan jawabanku tadi. Sebelum aku melihat bagaimana respon Dave, Steve menyunggingkan senyum. Aku balas tersenyum canggung.

Aku tidak bisa menolak setelah Nyonya Felton memintaku membawa pakaian ke kediamannya. Aku bisa merasakan bagaimana jika aku menolak, Nyonya Felton mungkin merasa sedih padahal rasa sedih karena pertunangan putranya yang gagal belum sepenuhnya hilang.

Mungkin inilah yang diinginkan ibu Steve agar sedihnya berkurang. Dan aku akhirnya memutuskan untuk setuju dengan keinginannya.

'Mom tunggu kedatangan Helen besok, ya.'

"Iya, Mom."

Setelah panggilan selesai. Aku memantapkan diri dan mengatakan pada kedua pria di depanku, "Aku akan mengunjungi Nyonya Felton besok."

Mereka berdua terkejut seolah mengerti makna kalimatku.

Dave tidak mengatakan apa-apa sedangkan Steve berkata, "Itu lebih baik," dengan senyuman hangat di wajahnya.

Karena satu kalimat dari Steve, akhirnya aku merasa lega malam itu. Aku melupakan semua perkataan Dave yang tidak menyenangkan dan teringat dengan senyum Steve sepanjang malam.

*****

Aku berdiri di samping bagasi mobil sambil menatap bangunan di hadapanku yang dominan berwarna putih. Ini adalah kediaman keluarga Felton, dimana ibu Steve tinggal bersama para pembantu dan pekerja lainnya yang bekerja melayani keluarga ini.

Aku teringat tentang kedatanganku ke sini kemarin. Saat meminta pertunangannya untuk dibatalkan.

"Ini, biar aku yang bawa." Suara itu membuatku tersentak.

Steve mengambil alih pegangan koper dari tanganku. Sedangkan aku yang tidak fokus membiarkan Steve membawa koperku dan tidak sempat mencegahnya.

Aku masih tertegun saat menatap punggungnya yang berjalan lebih dulu ke pintu depan bangunan.

"Jangan terbawa perasaan." Suara di sampingku tiba-tiba lagi membuatku terkejut.

"Apa?" Aku tidak mengerti kenapa Dave selalu saja mengatakan sesuatu yang menyinggung padaku.

Dave mengambil sebuah tas dari bagasi mobil dan menaruhnya di bahu kanannya lalu menutup bagasi mobil itu.

"Steve itu selalu baik pada semua orang, jangan berharap terlalu banyak." Setelah mengatakan itu, Dave berjalan dan tidak menunggu balasan dariku.

Aku menatap punggungnya dengan alis mengerut tak suka.

Tapi kemudian ekspresi cemberutku berganti saat melihat tas yang dibawa oleh Dave.

Bagaimana aku bisa lupa masih ada satu tas lagi selain koper yang aku bawa.

Dan Dave mau membawakannya padahal itu milikku.

Sepertinya aku harus berterimakasih pada kedua pria itu.

"Helen sayang," seru Nyonya Felton menyebut namaku sembari memelukku dengan erat begitu aku melangkah masuk.

"Mom," gumamku membalas pelukannya.

Nyonya Felton tampak sangat senang dan aku merasa keputusanku tidak salah. Melihat orang lain senang karena diriku membuatku ikut senang.

Setelah berbicara beberapa hal di ruang tamu, ibu Steve mengajakku ke sebuah ruangan.

"Ini kamarmu. Mom sudah menyiapkan ini sejak kemarin."

Aku mau tak mau merasa haru pada Nyonya Felton.

"Terima kasih, Mom," ucapku sambil tersenyum dengan perasaan yang menghangat.

Nyonya Felton ternyata tidak berhenti di satu ruangan saja. Aku di ajak berkeliling di kediamannya. Bertemu dengan hampir semua pekerja yang melayani keluarga Felton.

Nyonya Felton seolah memperkenalkan rumah ini padaku sekaligus memperkenalkan diriku pada semua orang di kediaman.

"Yang terakhir," ucap Nyonya Felton sembari membuka pintu sebuah ruangan.

Aku terpana begitu pintu terbuka dan memperlihatkan ruangan berdinding putih yang sangat luas. Sesuatu menarik perhatianku. Mataku menatap benda yang berada di tengah-tengah ruangan.

Mulutku terbuka, "Itu?"

Aku menatap penasaran pada Nyonya Felton yang dibalas dengan senyuman.

"Sebuah piano?" tanyaku.

Aku tidak mengerti mengapa ada sebuah piano dalam ruangan ini. Tapi yang pasti aku tiba-tiba teringat ibuku.

Nyonya Felton menuntunku masuk sembari berkata, "Ini piano milikku."

"Benarkah? Anda bisa bermain piano? Eh, maksudku, Mum bisa bermain piano?" tanyaku kagum.

Tapi Nyonya Felton menjawab dengan gelengan.

"Aku tidak bisa bermain piano," ucap Nyonya Felton membuatku benar-benar bingung.

Nyonya Felton melanjutkan, "Apa kau tahu, dulu aku seorang penari balet?"

Aku terkejut, "Apa?"

Beliau tertawa melihat ekspresiku.

"Dulu aku sering menari dengan iringan piano yang dimainkan suamiku. Lalu sejak suamiku meninggal, ibumu sering memainkannya untukku."

Aku baru tahu mengenai hal itu. Bisa kulihat Nyonya Felton tersenyum tulus sambil menatap dan menyentuh permukaan piano itu.

"Sebenarnya aku berharap kau bisa memainkan piano ini untukku, tapi ibumu bilang kau tidak bisa."

Aku menggaruk pipiku dengan perasaan malu, "Aku buta nada."

Nyonya Felton terkekeh. Aku juga ingin tahu alasannya, ibuku pemain piano terkenal tapi anaknya malah buta nada. Dan aku malah hidup dalam seni lukis. Kami sama-sama seniman. Tapi bakat seni kami sangat berbeda.

"Kau suka melukis 'kan?" tanyanya kemudian.

Aku mengangguk.

"Kau bisa menggunakan ruangan ini sebagai studio pribadimu."

Aku tertegun. Aku tahu ruangan ini sangat berarti untuk Nyonya Felton. Dari ceritanya, ini adalah ruangan dimana ia menyalurkan hobi menarinya. Bahkan tempat ini mungkin salah satu tempat yang meninggalkan kenangan manis tentang suaminya.

Studio ini sekarang diberikan untukku?

*****

Kalau kalian suka dengan novel ini jangan lupa untuk komentar ya wahai pembaca yang baik hatinya ;)

Dwi_Nacreators' thoughts