webnovel

Bab 14

Begitu aku sampai di apartemen Steve, langsung saja aku masuk ke kamarku yang sebentar lagi kehilangan penghuninya. Meski aku hanya tinggal beberapa hari saja.

Mataku otomatis memperhatikan seisi kamar. Lalu berhenti saat melihat tumpukan kardus di sudut kamar. Aku menghela napas.

Padahal paket dari ibunya Steve sudah setengahnya telah dikeluarkan dan ditata dalam lemari.

Tanpa mengeluh lagi, aku mengemas barang-barangku dalam keheningan kamar. Sampai perutku terasa melilit karena lapar, aku berhenti dari pekerjaanku saat langit sudah mulai menggelap.

Aku memilih memesan makanan dari restoran terdekat daripada memasak karena sudah terlalu telat makan. Lagi pula aku ragu bisa memasak dengan tenaga yang tersisa.

Tenaga yang tersisa untuk makan malah aku gunakan untuk membuat masakan. Bisa-bisa aku pingsan di dapur.

Kan tidak lucu kalau Steve tahu aku pingsan karena menghindari bertemu dengannya hingga aku telat makan.

Aku mungkin terbantu jika ada makanan kaleng di dapur Steve seperti ikan kaleng atau bisa juga ramen instan. Tapi dapur Steve itu kosong dan aku kurang minat makan bubur yang hambar.

Suhu tubuhku meningkat dan tubuhku lemas, beginilah jadinya kalau telat makan. Untung saja tubuhku normal kembali setelah makan.

Setelah makan, aku membuka pintu kaca dan keluar menuju balkon kamar. Pemandangan kota yang sebelumnya aku abaikan kini menarik mataku.

Apartemen Steve berada di lantai sembilan sudah cukup bagus untuk melihat kota dari atas sini.

Lampu-lampu sudah menyala di seluruh bangunan di kota. Meski sebenarnya aku yakin masih ada tempat yang masih ditelan kegelapan dan belum kedatangan pemiliknya.

Contohnya seperti kamar di sebelahku. Penglihatanku memandang balkon kamar Steve. Kamarnya gelap, tentu saja.

Lama menatap ke samping, sebuah ide melintas di kepalaku. Aku bergegas masuk ke kamar.

Kalau tidak salah tadi aku menyimpannya di sini, batinku mencari sesuatu di dalam kardus yang sebelumnya sudah diatur.

Sebuah kotak persegi berisi cat warna berhasil kutemukan. Kotak itu aku letakkan di atas meja di balkon.

Aku masuk kembali ke dalam kamar dan mengambil kanvas dan penyangganya yang bisa dilipat dari kardus lainnya.

Setelah sibuk mempersiapkan semuanya, akhirnya aku bisa duduk tenang di depan kanvas dan mulai membuat lukisan baru dengan menghadap ke arah balkon kamar Steve.

Aku tidak tahu berapa lama waktu yang sudah berlalu saat lukisanku sepenuhnya selesai.

Gambar di kanvas mirip seperti apa yang ada di hadapanku. Balkon kamar Steve dengan pemandangan kota malam.

Hanya saja ada satu perbedaan. Aku menambahkan sebuah objek manusia di dalam lukisanku yang saat ini memenuhi isi kepalaku.

Aku menambahkan dalam lukisan sosok Steve.

Ia berdiri menyamping di balkon dan menghadap pemandangan kota.

Fokus memandang lukisan dalam waktu lama tidak membuatku lupa sekitar. Karena itu saat lampu kamar Steve menyala, aku tersentak.

Apa lagi saat pintu kaca di balkon kamar Steve terbuka, aku hanya bisa terpaku saat Steve berjalan keluar.

Mataku terpaku menatap posisi Steve yang kini sempurna seperti dalam lukisanku.

Kemudian kepala Steve berputar menghadapku. Kami saling bertatapan.

Aku masih terpaku dan makin tidak bisa bersuara saat ini.

"Helen?" Steve bersuara dengan nada tanya.

Aku ingin menjawab, tapi suara ketukan di kamarku membuatku tersentak lagi. Perhatianku otomatis beralih dari Steve ke pintu kamar.

Aku kembali menatap Steve, bingung harus menanggapi yang mana.

"Ada yang mengetuk pintu kamarku," kataku pada akhirnya kepada pria di hadapanku. Kami hanya terhalang pembatas balkon.

"Oh, itu mungkin Dave," jawab Steve.

"Ah, benar." Aku mengangguk paham. "Aku akan keluar kamar," lanjutku lalu masuk ke kamar dan menutup pintu kaca balkon.

Aku pergi meninggalkan Steve dan membuka pintu kamar. Dave memang berdiri di depan pintu.

Dengan wajah yang tidak berekspresi, Dave bertanya, "Kau sudah makan?"

Aku benar-benar tidak bisa memahami Dave. Dia tampak tidak peduli tapi bertanya seperti itu padaku.

Aku mengangguk, "Sudah."

"Ayo kita bicara." Dave lalu berbalik dan berjalan ke sofa yang ada di ruangan tanpa menunggu balasan dariku.

Aku memutuskan mengikutinya. Saat itulah Steve keluar dari kamarnya.

Dave duduk di sofa lebih dulu sedangkan aku selanjutnya duduk di sofa yang berseberangan. Hingga kami duduk berhadapan.

Steve juga ikut duduk di sofa berbeda di sebelah kanan sofa yang diduduki oleh Dave.

"Kau sudah makan?" Steve bertanya sambil menatap ke arahku.

Aku tidak keberatan untuk menjawab pertanyaan yang sudah kudengar dua kali dalam waktu tidak lebih lima menit.

"Sudah," jawabku sambil mengangguk.

Steve tersenyum. Entah karena apa. Tapi aku yakin karena ia mendengar jawabanku. Steve memang pria yang sangat baik.

Aku tidak bisa menahan perasanku yang tiba-tiba menghangat. Ternyata yang kutakutkan tidak terjadi.

Steve tetap memperlakukanku dengan ramah seperti sebelumnya.

Padahal aku takut sudah menyinggung perasaannya tadi sore.

"Ada pesan dari Mom yang ingin aku sampaikan." Steve bersuara lagi dan berhasil menarik pikiranku sadar sebelum merenung hal lain.

"Apa itu?" tanyaku. Apa itu kabar baik? Atay sesuatu yang kurang menyenangkan untukku?

Aku menebak-nebak tapi tidak mempunyai ide apapun. Apa mungkin ini menyangkut masalah sebelumnya?

Sepertinya itu sudah pasti. Masalah mereka kan belum benar-benar selesai. Harus ada kejelasan dari pembatalan pertunangan itu.

"Mom ingin mengajakmu tinggal bersama dengannya di kediaman kami," jawab Steve dengan nada ragu-ragu.

Aku merasa mataku terbuka lebar-lebar saat mendengar jawaban itu.

"Apa?"

Apa maksudnya itu? Bukannya pertunangannya dibatalkan?

"Iya, Mom bilang ia menerima keinginanmu untuk batal menikah atau bahkan batal bertunangan denganku. Tapi Mom ingin kamu tetap disisinya. Mom ingin kamu juga mengabulkan keinginannya untuk tinggal di kediaman kami." Steve menjelaskan dengan tatapan mata yang beberapa kali terlihat tidak fokus.

Sepertinya ia juga tidak menyangka dengan keinginan ibunya itu.

"Mrs. Felton tahu kau tinggal sendiri. Dia tahu kau tidak mungkin tinggal di sini lagi, di apartemennya Steve." Dave menyahut.

Aku spontan memandangnya. Dave baru bersuara, tapi yang membuatku tidak nyaman adalah tatapan Dave.

Tatapannya lurus padaku seolah sedang menghakimiku. Dia seolah memperjelas bahwa aku tidak akan tinggal di sini lagi.

Padahal aku juga sadar itu, aku bahkan tidak berkeinginan untuk tetap tinggal.

Meski aku memang ingin melihat Steve lebih lama lagi, aku tidak cukup gila untuk tetap tinggal di sini.

"Karena itu, beliau ingin kau tinggal bersamanya," lanjut Dave lagi.

"Tapi kenapa? Aku bisa tinggal ke apartemenku sebelumnya." Aku mengungkapkan isi pikiranku.

"Kau tidak sadar? Itu karena Nyonya Felton sangat menyayangimu." Dave menjawab pertanyaanku lagi.

Aku terdiam.

"Bagaimana Helen? Kau mau kan mengabulkan keinginan Mum?" tanya Steve membuatku menatapnya.

Ekspresi wajahku pasti jelas menampakkan keraguan.

Aku tidak tahu harus menjawab apa.

*****

Kalau kalian suka dengan novel ini jangan lupa untuk komentar ya wahai pembaca yang baik hatinya ;)

Dwi_Nacreators' thoughts