webnovel

Bab 12

Saat itu, karena merasa sudah lebih baik. Aku ingin menggambar sembari bersandar di sandaran kasur. Tapi ayah tiba-tiba datang. Aku mengalihkan perhatianku dari buku gambar.

Aku tidak sendirian, ada pelayan yang menemaniku menggantikan ibu. Karena aku sudah lebih baikan, ibu tidak memaksakan diri lagi menjaga dan menemaniku.

Aku bisa melihat ayah mengerut ke arah buku di pangkuanku.

Ia lalu berkata, "Bukannya kau dilarang untuk menggambar? Aku sudah menyuruhmu sebelumnya untuk tidak menggambar dan lebih fokuslah pada pembelajaran."

Aku melebarkan mataku mendengar itu lalu membalas, "Ayah tidak pernah bilang begitu sebelumnya."

Aku tidak sadar suaraku seperti tertahan saat mengatakan itu. Yang aku tahu saat itu aku merasakan ketidakberdayaan atas perkataan ayah.

"Kalau begitu ayah sudah mengatakannya. Dari pada itu kau harusnya sadar sudah berapa hari tidak belajar."

Aku merasakan mataku memanas dan sedikit perih. Aku terfokus pada perkataannya yang sudah melarangku.

"Aku tidak boleh menggambar?"

"Tidak boleh."

Tanganku yang memegang krayon warna emas melemah.

Lalu air mataku mengalir dan aku mulai menangis. 

Ayah tidak melakukan apa-apa, tidak membujukku untuk tenang atau memarahiku untuk tidak menangis.

"Lakukan seperti apa yang aku katakan. Itu tugasmu sebagai calon penerus keluarga."

Setelah mengatakan itu ayah pergi keluar dari kamarku. Pelayan yang menemaniku langsung berusaha menenangkanku. Tapi tentu saja itu tidak berhasil. Aku menangis dalam waktu yang lama.

Bahkan tangisku lebih menyedihkan dibandingkan saat aku menangis karena sakit kepala dan tidak bisa tidur saat demam.

Karena lelah menangis aku tertidur. Lalu kondisiku yang sebelumnya membaik kembali menurun. Aku nyaris koma karena demam, tidak sadarkan diri seharian hingga aku tidak sempat makan.

Aku ingat saat terbangun aku melihat ibu menggantikan pakaianku. Aku menatapnya dengan lemah. Ibu merawatku dengan penuh perhatian lagi.

Saat matanya balas menatapku aku tidak bisa menahan diri untuk menangis. Aku menangis lagi.

Ibu panik, tentu saja. Ibu berusaha menenangkan ku. Aku mengatakan sesuatu dengan terputus-putus karena tangisan.

"Helen...ti-tidak...mau... berhenti...menggam..bar.. hiks.."

Ibu bingung. Pelayan yang membantu ibu menggantikan pakaianku menjelaskan dengan takut-takut melihat kebingungannya. Dia pelayan yang sama dengan yang melihat saat ayah memberi peringatan. Karena itu pelayannya bisa menceritakan apa yang terjadi saat itu.

Ibu tidak menenangkanku yang menangis lagi dan beranjak pergi setelah mendengar cerita pelayan. Aku mengeraskan tangisanku saat ia pergi. Tapi ibu, seolah tidak mendengar, ia tidak menghentikan langkahnya.

Pelayan tadi segera mengambil alih membujukku untuk tenang.

Tidak lama suara barang pecah menggema hingga ke kamarku yang terbuka. Pintu yang terbuka itu memperdengarkan suara perdebatan antara ibu dan ayah yang samar-samar.

Mereka sudah biasa kalau berdebat. Tapi ini pertama kalinya mereka berdebat disertai barang yang pecah.

"Helen selalu mengikuti keinginanmu! Tidak bisakah kau membiarkan satu keinginannya saja?!"

"Helen masih anak kecil. Dia tidak tahu mana yang penting dan tidak. Dia tidak tahu keinginannya yang harus diabaikan."

"Kau tahu tidak?! Yang membuatku kesal adalah caramu yang berlebihan, kau bahkan membuatnya kembali sakit padahal dia mulai sembuh. Ya tuhan, seperti yang kau katakan, dia masih kecil! Dan kau malah terlalu keras."

"Apa kita harus membicarakan ini lagi?!" nada suara ayah sedikit meninggi sekaligus menekan.

Tapi seolah tidak peduli, ibu membalas, "Ya! Dan meski harus lagi dan lagi, aku tidak peduli, meskipun aku sendiri juga lelah. Apa yang kau pikirkan jika Helen membencimu?"

"..." Ayah belum membalas.

"Hah, lihat! Kau tidak bisa berbuat apa pun jika itu sudah terlanjur terjadi. Jika Helen terlanjur membenci ayahnya sendiri."

"Aku tahu."

"..." Ibu berhenti bersuara.

"Aku tidak memaksanya untuk tidak membenciku. Tapi aku memaksanya melakukan apa yang harus dilakukan."

"Kau!" nada suara ibu terdengar geram.

"Selagi dia masih kecil, aku harus menghentikan keinginannya agar di masa depan itu tidak menghalanginya menjadi penerus."

Jeda sejenak sebelum ibu membalas,".... Kau berkata seolah itu akan menghancurkan hidupnya nanti."

"Tidak. Itu tidak menghancurkan hidupnya sebagai dirinya sendiri. Tapi menghancurkan hidupnya sebagai pewaris dan penerus keluarga Morgan."

"....Hah." Ibu tertawa dengan suara aneh.

"..." ayah terdiam mendengar tawa ibu.

"Apa yang akan kau lakukan jika itu tidak terjadi?" ternyata ibu masih melawan ayah.

"Kau memang keras kepala."

"Tidak. Maksudku apa yang akan kau lakukan jika Helen tidak menjadi penerusmu?"

"Apa yang kau katakan?"

"Yang ingin aku tanyakan adalah apa yang akan kau lakukan, jika aku tidak membiarkan Helen mengalami itu? Apakah kau tetap memaksakan kehendakmu?"

"Apa?" Ayah seolah tidak percaya.

"Aku akan membuat Helen tidak menjadi penerusmu lagi! Aku akan melakukan semua cara agar Helen bisa lepas darimu."

"Kau-"

"Termasuk jika aku harus bercerai denganmu!"

"Kau gila?! Apa yang kau katakan?"

"Berdoalah agar kau bisa mencari penggantinya. Atau penggantiku?"

"Hanya karena ini kau melakukan itu?!"

"Lepaskan aku. Hanya karena ini? Sudah cukup. Jangan remehkan apa yang kau lakukan. Karena tindakanmu itu aku bisa menebak apa yang akan terjadi jika kami, aku dan Helen, tetap bertahan di sisimu. Apa yang mungkin akan terjadi nantinya?"

"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!"

"Apa?! Kau tidak akan melepaskan kami?!"

"Ya."

"Lihat saja nanti!"

"Alicia!"

Lalu terdengar suara ayah yang memanggil ibu dengan nada tinggi, yang belum pernah aku dengar. Tapi ibu hanya menjawabnya dengan suara langkah kakinya yang berjalan pergi.

Tidak disangka Ibu kembali ke kamarku, "Keluarlah." Ibu menyuruh pelayan di kamarku untuk keluar.

Ibu lalu menutup pintu dan menguncinya.

Aku bisa melihat mata ibu yang berkaca-kaca. Ia mendekatiku lalu memelukku. Sedangkan aku spontan ikut balas memeluknya. Kami tetap berpelukan hingga aku terlelap.

*****

Aku bangkit berdiri sambil mengusap wajahku yang basah karena air mata.

Mengingat semua itu rasanya sesak dan menyakitkan. Dulu aku tidak melakukan apa pun saat orang tuaku bercerai. Sekarang rasa bersalah tidak pernah lepas dariku.

Aku sadar jika akulah penyebab orang tuaku berpisah. Biasanya anak menjadi alasan untuk kedua orang tuanya bersama dan tidak terpisahkan.

Tapi kasus ku malah sebaliknya. Anak yang menjadi alasan orang tuaku berpisah.

Aku menarik napas. "Maaf ibu."

Sejak usiaku tujuh tahun aku berhenti memanggil ibuku dengan panggilan 'mama'. Aku terpengaruh perkataan teman di sekolah dasar yang mengatakan bahwa panggilan itu menunjukkan diriku adalah anak yang manja.

Dan aku tidak mau dibilang manja akhirnya memanggil ibuku dengan panggilan ibu. Sampai panggilan itu menjadi kebiasaan.

Aku mulai melangkah menjauhi makam ibu. Beberapa langkah kemudian aku berhenti saat melihat seorang pria paruh baya berjalan dari jauh.

Aku mengenalnya, kebetulan sekali bertemu dengannya di sini. Pria itu tidak melihatku.

Aku memutuskan berjalan di jalan yang berjauhan dengannya. Aku tidak mau berhadapan langsung dengannya sekarang. Dan kapan pun itu. Selamanya.

Entah kenapa aku berharap dirinya datang untuk menjenguk makam ibu padahal aku tidak tahu apa yang dilakukannya di sini.

Aku berharap ibu selalu diingat olehnya. Karena bagaimana pun ibu dengannya pernah hidup bersama bertahun-tahun.

Aku tidak berharap ayah masih mencintai ibu. Tapi setidaknya ayah masih ingat pada ibu. Karena aku tahu ayah sudah punya keluarga lagi, keluargaku juga. Tentu saja ibu dan saudara tiri.

Dulu aku pernah merasa marah padanya. Tapi aku tidak pernah membencinya. Ayah tidak pernah menyakitiku secara fisik. Hanya kepribadiannya saja yang keras dan dingin.

Aku yakin kali ini ia menemukan keluarga yang bisa ia kendalikan sepenuhnya. Yah, aku yakin bukan hal sulit untuknya melakukan itu. Apa yang tidak bisa ia dapatkan dengan kekayaannya.

Oh, aku tahu. Ia kehilangan ibu dan aku. Aku jadi ragu, apakah ia benar-benar mencintai istrinya yang sekarang?

Aku hanya bisa berharap istri dan anaknya  bertahan selamanya tidak seperti aku yang malah berusaha menjauhinya. Aku tidak tahu bagaimana kabar mereka sekarang, kabar ibu dan saudara tiriku. Aku yakin mereka baik-baik saja karena yang aku tahu, mereka bergerak sesuai keinginan mereka yang sejalan dengan keinginan ayah. Keinginan mereka yang sejalan itu sangat berbeda dengan aku dan ibuku.

Ayah punya kekayaan yang tidak bisa hanya diabaikan, banyak yang menginginkannya. Kekayaannya pasti menjadi perhatian banyak orang. Terutama ibu dan saudara tiriku. Katakanlah mereka berhasil mendapatkan ayah lalu dijadikan sebagai sumber uang.

*****

Kalau kalian suka dengan novel ini dan ingin memberikan power stone atau gift, kalian bisa alihkan ke novel aku yang judulnya (Livin' The Dream) karena cerita ini akan aku gratiskan sampai update bab terakhir baru dikontrak

Dwi_Nacreators' thoughts