webnovel

Just Give Me The Same Love

Menginginkan sebuah kasih sayang memangnya tidak boleh, ya? Sedikit saja dari 100% itu tidak bisakah memberiku setidaknya 1% dari semua kasih sayang yang kalian berikan kepada nya? Aku merasa tersingkirkan layaknya debu halus yang tak nampak, lebih tepatnya terbandingi. Sebuah rasa cemburu? Bukankah itu hal yang wajar? Cemburu karena saudaramu mendapatkan perhatian lebih. Genre : Brothership, Hurt, family (NO ROMANCE/BROMANCE)

_shuaa · Khác
Không đủ số lượng người đọc
6 Chs

01 : Permulaan

•••

Sakit itu tidak terlihat, namun membekas.

•••

"WAAA!!"

Jungkook terbangun dengan keterkejutan dengan nafas yang terengah-engah, mencoba untuk menenangkan jantungnya yang sakit seketika.

"Ssshhh..." Ringis Jungkook pelan, ia memegang dada kirinya dan meremat pelan baju tidurnya.

Jungkook masih dalam fase kebingungan, karena ini sudah memasuki minggu ke delapan tepatnya sejak ia merasakan nyeri yang hebat di dada kirinya.

"Kumohon jangan sakit lagi..." Lirihku pelan, mungkin rasa sakit itu mulai memudar saat jarum jam sudah menunjukkan pukul 06.11 pagi. Walaupun, rasa nyeri itu masih sedikit terasa. Jungkook masih bisa menahan rasa sakit itu.

Jungkook bangun dengan perlahan dari ranjang kesayangannya, ia berjalan pelan dan sedikit tertatih menuju kamar mandi.

"Semoga hari ini cuman kali ini saja, rasa nyeri di dada ini muncul."

Bahkan salah satu keluarganya saja sudah jarang mengetuk pintu kamarnya, Jungkook terkadang merasa sedih saat ia terabaikan begitu saja. Ia tau bahwa rasa iri atau cemburu bisa membutakan hati. Jadi ia mengambil tindakan sabar. Lain waktu pasti ada saatnya.

Setelah itu Jungkook terlihat mengelus pelan dada kanannya, lalu setelah itu dengan langkah cepat memasuki kamar mandi.

---

Jungkook terlihat menatap cermin yang memperlihatkan bayang-bayang dirinya, sungguh malang melihat wajah pucat itu terus sebagai bayang-bayang jati dirinya.

Pakaian seragam lengkap sudah terpakai di badan miliknya, ia terdiam beberapa saat. Ia bingung, setelah ia turun apa yang harus ia katakan kepada kakak-kakaknya dan kedua orang tuanya, jika saja mereka menanyakan soal wajah pucat pasi ini.

Awalnya wajah itu terlihat kosong melompong, dan tak berjiwa. Namun, menit selanjutnya wajah masam dan dingin miliknya tergantikan dengan cepat oleh senyuman yang cukup lebar saat menatap cermin itu, sepertinya topeng hari ini adalah topeng kebahagiaan lagi.

"Semangat, Jungkook-ssi!" Gumamnya menyemangati dirinya sendiri.

•••

Tap tap tap!

Jungkook menuruni tangga dengan cepat, membuat ia seolah-olah terburu-buru.

Jungkook hanya bisa menatap ke arah ruang makan itu, tak ada niatan untuk mendekat ataupun menyapa. Ia hanya menampilkan senyuman lebar miliknya, seperti biasa.

Ruang makan itu di penuhi oleh tawa, dan candaan. Hanya untuk Kim Hyunbin, karena Kim Hyunbin, Oleh Kim Hyunbin. Semua kasih sayang itu menjadi miliknya.

Di keluarga ini terdiri atas 9 orang penghuni, dulunya. Sekarang bertambah menjadi 10 orang karena kedatangan seorang Kim Hyunbin.

Sebenarnya Jungkook pribadi tidak membenci seorang Kim Hyunbin, namun ia cukup dibuat iri oleh semua perhatian keluarganya kepada kakak tirinya itu.

Ia yang menyandang gelar 'kandung' merasa tersisihkan dari silsilah keluarga, gelar 'tiri' mulai merajalela layaknya cahaya yang terbuka lebar. Sekarang Jungkook merasa ia seperti senja, hanya sebentar dan sesaat keberadaanya di akui.

Saat kakinya ingin melangkah maju kembali, panggilan yang tidak ingin ia harapkan akhirnya terdengar begitu menjadi euforia bagi dirinya, ia terdiam.

"Jungkookie, sarapan dulu!" Panggil wanita paruh baya itu, Jungkook awalnya terdiam namun detik selanjutnya ia menggeleng pelan.

Ia membuat drama kecil di pagi hari, seolah-olah dia akan terlambat. "Maaf, ya Mah... Hari ini ada tugas yang harus ku kumpulkan, jadi aku buru-buru." Setelah mengatakan itu, kakiku lekas menapakkan keluar rumah. Tidak ingin berbalik, dan berharap.

Namun saat mendengar panggilan bibi, aku menoleh kebelakang. "Tuan muda, bawalah bekal ini... Anda pasti tidak akan sempat pergi ke kantin, kan? Makanlah di sekolah bersama teman-temanmu." Jungkook tersenyum tipis. Kali ini tidak sepenuhnya palsu.

"Terima kasih, Bi... Kau segalanya." Jungkook langsung memeluk bibi yang sudah bersama sejak kecil itu dengan singkat. Membuat bibi terdiam di tempat, namun setelah itu ia tersenyum tipis.

"Hati-hati dijalan, yaa... Semangat ujiannya!"

Bibi melambai kecil ke arah Jungkook.

---

Paman Sam melirik ke arah kaca spion, mungkin tujuannya adalah untuk memperhatikan gerak-gerik milik Jungkook.

"Tuan muda, hari ini izin dari sekolah dulu, yaa? Wajahmu sudah seperti mayat hidup, kita ke rumah sakit saja, yaa? Beberapa hari ini kau juga mengeluh sakit di dada kiri kan?." Jungkook terkejut dengan pernyataan paman yang telah membantunya sejak ia masih di bawah umur, ia sudah ia anggap layaknya seorang Ayah.

"Sungguh tuan sangatlah pu—"

"Sudah dibilangin jangan panggil tuan, panggil saja Jungkook, paman..." Kesal Jungkook, topeng kebahagiannya akan melebur jika didepan bibi dan pamannya. Sifat asli miliknya akan terkoyak dan terbongkar layaknya tanah liat.

Paman Sam terlihat terkekeh pelan, "Jungkook, hari ini paman akan mintakan izin kepada wali kelasmu, yaa? Wajahmu sudah sangat pucat, beberapa hari ini kau sering mengeluh masalah dada di kirim, kita bisa menge-checknya mungkin bisa sekalian check up keseluruhan." Awalnya Jungkook terdiam, ia takut jika harus berurusan kembali dengan bangunan putih yang menjulang tinggi itu. Cukup saat ia masih duduk di bangku tadika mesra.

"Kali ini saja, yaa... Paman." Jawab Jungkook pelan, setelah ia memikirkannya. Ia merasa memang ada yang aneh di tubuhnya ini. Ia tidak ingin terlihat lemah, apalagi di depan keluarganya, baginya ia harus terlihat kuat agar ia bisa menjadi anak yang baik.

Setelah Jungkook mengatakan hal itu, membuat paman Sam tersenyum lebar. Terlihat begitu lebar dari sudut spion itu.

"Nanti paman temani, Jung..."

Aku mengangguk pelan, lu kembali bermuara melihat di balik jendela mobil, betapa indahnya dunia ini.

Namun Tuhan sedikit menguji coba dirinya, memberi dirinya sebongkah batu besar penderitaan yang di tumbuk-tumbuk layaknya ulekan sambal yang membuat perih mata.

Sakitnya tidak terlihat dengan jelas di mata orang, namun sakit itu begitu terlihat jelas di mata dan hatiku.

•••

Di rumah sakit...

Jungkook menatap bangunan putih menjulang tinggi, tidak ada niatan untuk mengunjungi atau bahkan menginjakkan satu kaki pun ke dalam bangunan itu. Kalau bukan karena ke terpaksaan kondisi, mungkin sampai akhir hayatnya tidak akan pernah menginjakkan kaki ke bangunan itu.

"Jung, ayo masuk... Paman sudah membuat janji sama dokter Han, kok... Semuanya sudah beres." Ia menarik lenganku dengan pelan, pama Sam terlihat mencoba memberiku semangat dengan wajahnya membuat Jungkook terkekeh sesaat.

"Selamat pagi, tuan Jungkook? Benar?" Jungkook segara mengangguk dengan cepat.

"Apa keluhanmu?" Tanya dokter itu serius, tangan kanannya tidak segan-segan menulis keluhan pasiennya dengan cepat dan seringkas-ringkasnya.

"Sudah beberapa bulan ini dada kiri saya, sakit dok..." Keluh Jungkook kesal.

Dokter itu mencatat setiap poin-poin yang Jungkook terangkan mengenai kondisi dan keluhan miliknya.

Wajah dokter Han terlihat sedih, ia menghela nafas pelan lalu mengusap kasar wajahnya. "Mari kita melakukan pengecekan rekam jantung." Ia bangun dari duduknya.

Dia membawa Jungkook ke sebuah tempat yang sungguh menakjubkan.

TBC...