webnovel

23 Obsesi Jefri kian menggebu

Malam ini saat Jeni dan Karin sedang sibuk membereskan pakaiannya. Mereka mengemasi semua barang-barang milik keduanya. Setelah perbincangan panjang mereka seharian ini, akhirnya mereka memutuskan akan segera pergi dari rumah ini. Bukan karena mereka pecundang atau pun lari dari masalah. Mereka sadara bahwa Jefri bukanlah lelaki yang bisa dilawan. Kekuasaan dan jabatan nyatanya mampu membuatnya melakukan apa pun yang dia inginkan.

Tak ada harapan bagi Jeni untuk kembali melanjutkan kisahnya bersama, Wili. Ia putus harapan. Dirinya yang sudah dianggap kotor rasanya memang tak pantas mengharapkan seorang lelaki yang nyaris sempurna seperti, Wili.

Mereka sudah selesai dengan berkemasnya. Mereka harus makan dahulu sebelum tidur dan mengakhiri aktivitasnya.

"Mamah akan membeli nasi goreng di depan gang ya, kamu tunggu di sini sebentar," ujar Karin seraya berlalu meninggalkan Jeni yang merebahkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu.

"Iya, Mah," balasnya lesu. Kini tak ada air mata yang mengalir di pipinya. Ia berusaha legowo menerima semuanya. Ikhlas memang sebuah kata yang mudah diucapkan, namun sulit dilakukan. Meski pun begitu, Jeni akan berusaha menerima nasibnya.

Ditengah-tengah lamunan dan istirahatnya, wanita cantik berwajah oriental itu harus dikejutkan dengan suara bariton yang menyapanya begitu lembut.

"Selamat malam!"

Jeni mendongak terkejut saat suara yang tak asing itu menyapanya begitu sopan. Berbeda dengan tadi siang yang sangar dan menakutkan.

"Mas Jefri!" Jeni berkata dengan jantung yang terasa berdegup kencang. Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada posisi pintu yang menang tanpa ia sadari sudah sedikit terbuka. Karin memang lupa untuk menutup kembali pintunya dan pergi begitu saja saat kondisi dirasa sudah aman.

Jefri kemudian duduk di sofa yang sama tanpa dipersilahkan oleh sang pemiliknya.

"Ada apa lagi, Mas?" Jeni memberanikan diri bertanya.

Sementara Jefri terlihat santai dengan merentangkan kedua tangannya di bahu sofa. Ia memandang Jeni begitu dalam. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu, yang pasti Jeni mulai merasa tidak nyaman.

Jeni menurunkan tatapannya, ia sedikit menunduk dan tak berani menatap lelaki yang telah memberinya satu miliar itu.

"Kenapa kamu meninggalkan aku?" tanya Jefri tanpa basa-basi.

"Kenapa kamu lebih memilih bocah ingusan itu dari pada, Aku? Sudah berapa kali kamu tidur dengannya? Sudah berapa ratus juta yang kamu dapatkan darinya? Wili bahkan tak memiliki banyak uang, dan aku bisa membayarmu lebih dari yang kamu pikirkan!"

Deretan pertanyaan yang keluar dari mulut Jefri memang dengan nada rendah dan tak mengangetkan jantung. Akan tetapi, terdengar tajam dan seketika kembali menusuk serta menghancurkan perasaan Jeni.

"Kenapa kamu harus berpikir serendah itu terhadapku, Mas? Aku bukan pelacur kan! Aku dibayar pun karena menikah denganmu walau itu hanya menikah kontrak. Tapi aku tidak pernah melakukan hubungan dengan lelaki mana pun di luar pernikahan," jawab Jeni terdengar lirih. Air matanya terasa kering sehingga ia tak terlihat meneteskan bulir bening itu di pipinya. Ia sengaja membendung kesedihan itu di hadapan Jefri. Berusaha kuat dan tegar.

"Tapi aku tidak yakin," balas Jefri dengan senyuman sinisnya.

"Kalau Mas Jefri tidak percaya, saya bisa apa?" Jeni menimpalinya. Wajahnya masih saja menunduk tanpa berani membalas tatapan mantan suaminya itu.

"Kamu berkata bahwa kamu akan melanjutkan kuliah demi gelar sarjana kamu, tapi siang ini kenyataan pahit itu begitu jelas terdengar di telingaku saat Wili berkata bahwa kalian akan segera menikah. Kenapa kamu menjadi wanita pembohong terhadapku? Bagaimana aku bisa percaya, jika kamu terus saja membohongiku," tekan Jefri. Kali ini ia berbicara dengan nadanya yang sopan sangat berbeda jauh dengan tadi siang yang terlihat bagai singa yang hendak menerkam mangsanya.

Jeni tampak memijat pelipisnya yang terasa pusing. Ia pun tak memiliki banyak kekuatan untuk meyakinkan ucapannya. Ia hanya menunduk seraya menghembuskan nafas resahnya. Ia hanya berharap jika Karin segera datang dan menyelamatkannya dari ketegangan ini.

"Jawab Jeni! Kenapa kamu membohongi saya? Saya sudah menawarkan tiga miliar sama kamu, tapi kamu menolaknya mentah-mentah," sambungnya. Kali ini Jefri mulai kesal dengan mantan istrinya yang terus saja menunduk.

"Karena Mas Jefri sudah beristri!" Jeni menjawab dengan tegas setelah beberapa detik membisu.

"Bukankah kamu sudah tahu kalau aku tidak pernah mencintai wanita itu. Aku hanya mencintai kamu." Jefri memperjelas.

"Tidak, Mas. Mba Selin sangat mencintai kamu. Tolong jangan menyakitinya lagi. Aku tidak mau menyakiti Mba Selin," elak Jeni dengan wajah memelasnya. Dalam keadaan tanpa makeup pun Jerfi masih bisa melihat kecantikan Jeni yang natural dan ia tak bisa menghilangkan bayangan itu.

"Dari mana kamu tahu nama istriku?" tanya Jefri merasa aneh.

"Aku pernah bertemu dengannya dalam keadaan bersedih karena kehilangan perhatian dari, Mas Jefri. Aku tidak mau itu terjadi lagi padanya," jawab Jeni dengan raut wajahnya yang sedu.

"Aku tidak pernah mencintainya, Jen. Kita dijodohkan dan sampai detik ini pun aku hanya mencintai kamu. Aku tidak akan melepaskanmu!" tegas Jefri

"Beri aku lima bulan lagi kesempatan menikah kontrak denganmu atau Wili akan tahu masa lalu kita," sambungnya kembali dengan tawarannya dua bulan lalu.

"Tapi, Mas-"

"Aku tidak mau ada penolakan lagi dari kamu. Pilih salah satunya," potong Jefri.

Jefri kemudian menyodorkan selembar kertas yang berisi surat kontrak pernikahan di atas meja.

"Tanda tangani surat itu, atau Wili akan meninggalkanmu," lanjutnya seraya meletakan surat itu di atas meja di hadapan Jeni.

Tentu saja Jeni mendongak terkejut dengan bola mata terbelalak. "Apa!" ucapnya dengan suara gemetar sambil menggelengkan kepalanya.

"Kalau pun aku kembali dengan kontrak pernikahan itu, tetap saja Wili akan tetap meninggalkanku kan, Mas! Dia bahkan akan membenci aku karena menjadi simpanan kakaknya!" Jeni semakain tertekan. Berkali-kali ia menahan kepalanya yang terasa berat dengan kedua telapak tangannya. Ia begitu terlihat pusing dan tak bisa berpikir.

"Wili tidak akan tahu mengenai kontrak pernikahan ini," tegas Jefri meyakinkan mantan istrinya.

"Tapi jika kamu menolak, bukan hanya Wili yang tahu. Seluruh kampus tempatmu kuliah pun akan mengetahuinya," ancam Jefri.

Jeni menggelengkan kepalanya. "Tega sekali kamu, Mas!" geram Jeni. Ia semakin menyesal karena pernah mengebal lelaki yang ia rasa kejam seperti Jefri. Andai waktu bisa diulang, mungkin saja Jeni akan berpikir seratus kali untuk menerima tawaran kontrak pernikahannya dengan Jefri tujuh bulan lalu.

"Segera pastikan keputusan kamu, Jeni! Dan jangan banyak bicara," tekan Jefri seraya menghentakan tangannya di atas kertas yang berisi surat kontrak pernikahan itu.

Gemuruh dalam dada Jeni semakin terasa mengencang saja. Ia begitu merasakan kekacauan dalam hatinya. Ia tak mau melanjutkan pernikahan yang dirasa tidak waras ini, tapi janinnya butuh seorang Ayah.

Jeni tampak mengambil pulpen yang sudah sediakan Jefri di atas kertas itu. Namun, belum sempat Jeni membubuhkan coretannya di atas kertas, seketika pula kedatangan Karin membuatnya tersentak.

"Ada apa ini?"