webnovel

Mulai Ada Titik Terang

Vira memandangi isi lemari itu, isinya hanya pakaian milik Panji dan pada laci bagian bawah terdapat beberapa tumpukan kertas serta dokumen-dokumen penting miliknya.

Dengan perlahan Vira berjongkok mencari sesuatu di antara tumpukan kertas itu, ia mencoba mencari bukti yang bisa ia gunakan untuk memecahkan teka-teki misteri keluarga ini.

Tak ada yang mencurigakan, hanya saja Vira menemukan desain bangunan rumah ini. Vira mengamati gambar itu, terdapat ruangan bawah tanah tepatnya berada dibelakang rumah ini dan pintunya ada di dalam gudang.

Pantas saja, waktu itu Vira mendengar suara teriakan wanita dan sebuah pukulan. Dan setelah ia cari tak kunjung menemukannya, bisa jadi asal suara itu dari dalam ruangan bawah tanah ini.

"Sebenarnya untuk apa ruangan bawah tanah ini, ya?" gumam Vira.

Vira menata dan memasukkan kembali berkas-berkas itu dengan rapi, kedalam laci lemari. Pandangannya beredar di sekeliling kamar ini, banyak sekali lemari besar serta laci-laci milik Vira dan Panji.

"Non Vira!"

Panggil Anisa sembari mengetuk pintu. Dengan segera ia pun membukakan pintunya.

"Ini Non. Baju-bajunya sudah selesai disetrika," ujarnya sembari memberikan setumpuk pakaian.

"Terimakasih. Oh iya, bisa minta tolong pijitin kaki saya nggak, Mbak?" tanya Vira.

"Bisa, Non."

"Ya sudah ayo masuk, Mbak."

Kali ini Vira harus bisa menggali informasi dari Anisa. Bagaimanapun caranya?

"Maaf Non. Di kamar saya saja, bagaimana? Saya tidak enak dengan Den Panji."

Dahi Vira mengernyit menatap wajahnya.

"Mas Panji tidak ada kok Mbak, dia sedang pergi ke perkebunan. Jadi disini saja ya," jelas Vira.

"Baik, Non."

Vira pun menyuruh Anisa masuk, ia memasukkan baju-baju yang sudah disetrika kedalam lemari. Sedangkan Vira mengambil minyak urut lalu duduk selonjoran diatas karpet bulu.

Anisa mulai memijat kaki Vira dengan lembut.

"Duh, bayiku nendang-nendang terus Mbak sampai sakit perutku."

Ia hanya menoleh dan tersenyum kearah Vira.

"Alhamdulillah, aktif ya Non bayinya."

"Iya, Mbak. Apalagi kalau diajak ngobrol papanya. Bayi ini sepertinya punya ikatan batin loh sama Mas Panji." ucap Vira berusaha memancing Anisa.

Anisa hanya diam sambil memijat kaki Vira, tak ada tanggapan darinya.

"Bagaimana dengan bayimu nanti, Mbak?" Kali ini ia menoleh menatap wajah Vira.

"Maksud Nona, apa?"

"Iya, bukankan kamu sedang hamil? Lalu bagaimana nasib bayimu ke depan, jika Mbak saja belum punya suami?" Anisa terdiam, menunduk seperti menahan tangis.

"Lagi pula setiap orang tua pasti akan hancur melihat anak yang mereka besarkan hamil diluar nikah," tambah Vira.

Vira melihat Anisa menghirup nafas dalam sembari menahan tangis. Sepertinya ucapan Vira barusan menyentuh relung hatinya.

"Beda lagi kalau hamil sesudah punya suami, orang tua pasti akan sangat bahagia, yang sebentar lagi akan menimang seorang cucu. Menurut mu bagaimana, Mbak?"

"Bayi ini juga sangat ditunggu kehadirannya, Non. Bahkan sudah sangat diharapkan oleh seseorang yang tamak dan serakah pada uang!" jawabnya dengan tatapan penuh amarah.

"Maksud Mbak, bayi yang ada dalam kandunganmu akan diuangkan, Mbak? Jadi maksudnya Mbak hanya bertugas sebagai mesin pencetak anak saja?" tanya Vira dengan tatapan terkejut.

Sekarang mulai ada titik terang, bisa jadi ada seseorang yang memanfaatkan kehamilan Anisa untuk mencari keuntungan.

"Apa kaki Nona sudah enakan? Sekarang saya harus mengantar pakaian Nyonya ke kamarnya." Vira menatap wajah sendu Anisa, ada raut kesedihan yang sepertinya ia pendam selama ini.

"Ya pergilah. Terimakasih ya, Mbak."

Anisa menganggukkan kepalanya dan berjalan keluar tanpa berbicara lagi.

Ada seseorang yang memanfaatkan kehamilan Anisa untuk sebuah kekayaan, ini aneh sekali. Tapi siapakah seseorang itu? Apa iya, yang dimaksud Anisa adalah Sinta, ibu mertua Vira?

Tak terasa Vira pun ketiduran hingga azan maghrib berkumandang meski terdengar samar-samar. Dengan segera ia bangkit untuk berwudhu dan menjalankan ibadah sholat wajib.

Beberapa saat kemudian, suara mesin mobil terdengar berhenti di halaman depan. Vira mengintip keluar dari jendela kamar, ternyata yang pulang bukan Panji melainkan Jodi. Entah dari mana lelaki itu, sejak semalam ia baru pulang.

Vira sangat penasaran, kakak iparnya itu dari mana, hingga sejak semalam ia baru pulang.

"Anisa!! Buatkan kopi buat Jodi ya!!" terdengar teriakan Sinta dari ruang tamu.

"Baik, Nyonya."

Vira membuka pintu perlahan, keluar dari kamar. Terlihat Anisa sedang berjalan membawa nampan berisi secangkir kopi, ia pun berjalan pelan menyusul mereka dan berdiri dibalik tembok pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga, untuk menguping pembicaraan Sinta dan Jodi.

"Tau nggak, Anisa hamil lagi loh, Di." ucap Sinta terdengar sumringah.

Mengapa Sinta sangat bahagia ketika mengetahui pembantunya hamil tanpa suami? Apakah seseorang yang dimaksud Anisa itu memang ibu mertuanya?

"Beneran, Anisa?" tanya Jodi dengan suara biasa saja.

"Iya benar, Mas."

"Bagus! Jaga kandunganmu itu! Jangan sampai ia terlahir jelek apalagi cacat!" ucap Jodi.

Kenapa kakak ipar Vira berkata seperti itu?

"Bukan hanya Anisa yang hamil, tapi Winda juga sepertinya sudah positif, besok pagi ibu akan cek kesana," ucap Sinta lagi.

Winda? Winda, siapa lagi itu? Sepertinya besok pagi Vira harus mengikuti kemana Sinta akan pergi.

--