webnovel

Jejak Masa Lalu

"Jika kau ingin memulai hidup yang baru, lupakan bayangan masa lalumu!" Ya, kata itu memang sangat mudah diucapkan oleh semua orang termasuk diriku sendiri ketika menyadari untuk memulai kehidupan baru di masa depan. Tapi nyatanya...

Michella91 · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
287 Chs

Siapa Dia?

Tiga hari berlalu, sejak hubunganku dengan Choco benar-benar berakhir dengan menyimpan sejuta luka di hatiku. Aku mencoba bangkit kembali dengan menarik hatiku dari satu lingkaran luka, karena hari-hariku akan terus berjalan bukan? Tak peduli meski hati terus menahan rasa sakit.

Hubunganku dengan kak Janet menjadi renggang, aku merasa sedikit terintimidasi dengan keadaan yang seperti ini. Kulihat sepertinya kak Janet lebih mempercayai ucapan adiknya itu, sudah tentu itu pasti, siapa aku baginya? Dia tidak akan mempercayaiku.

Aku sedang duduk di teras rumah saat hari menjelang sore, kulihat beberapa orang berlalu lalang melewati jalanan di depan rumahku menuju sebuah perusahaan swasta tempat Reno bekerja.

Disela lamunanku, ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat mendarat di ponselku, siapa? Tanyaku berpikir seraya meraih ponselku.

"Kau sedang memikirkan sesuatu?"

Aku terkejut seraya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencaritahu siapakah gerangan yang mengirim pesan itu?

Aku melihat tidak ada satupun orang yang menatapku dari kejauhan, aku ingin membalas pesan itu dan bertanya siapa dia. Akan tetapi, aku cukup tertutup setiap mendapat pesan dari nomor yang tak kukenal.

Kuabaikan saja pesan itu, lalu kuletakkan kembali ponselku di atas sebuah meja yang menjadi temanku sejak tadi.

"Rose, berikan ini pada Reno. Suruh dia sampaikan pada nenek," titah ibu mengejutkanku yang tiba-tiba keluar menghampiriku.

"Tapi, Bu? Reno..."

"Kau bisa menunggunya di jalan depan, pulang kerja nanti dia sudah pasti lewat di jalan itu." ibu menunjuk ke suatu arah di depan sana, sebuah jalanan yang cukup besar dan ramai di lalui banyak orang.

"Aaah... Ibu, aku malu..."

"Eh, apa yang membuatmu malu? Kau hanya perlu menunggu Reno, lalu berikan ini padanya," desak ibu sambil memberikan satu rantang plastik padaku.

Dengan ragu dan terpaksa aku meraihnya dari tangan ibu, lantas ibu kembali masuk ke dalam. Akupun beranjak berdiri dari posisi dudukku, kemudian melangkah menuju sebuah jalan sebagaimana ibu perintahkan tadi.

Tiba di sebuah trotoar jalan, aku duduk di sisinya. Menunggu Reno pulang bekerja dan menghampiriku. Aku sudah mengirim pesan padanya bahwa aku menantinya di jalan ini.

Tak ada balasan dari Reno, mungkin dia sedang sibuk menyelesaikan pekerjaanny. Ah, sungguh. Aku malu duduk di sisi trotoar jalanan ini, beberapa dari mereka yang berlalu lalang sejak tadi menatapku heran.

Ada beberapa juga diantara mereka menggodaku, meski mereka sudah berumur dan lebih dewasa dariku. Aku memang bukan wanita cantik, aku tidak memiliki body seksi seperti para wanita yang mengagumkan di luar sana.

Tapi aku memiliki tinggi badan yang membuatku terlihat special, kulit sawo matang, senyuman manis, dan daya tarik yang entah bagaimana kaum adam menilaiku. Itu yang selalu aku dengar dari banyak laki-laki yang mengenalku.

Hanya saja, perihal berpacaran aku adalah salah satu wanita yang kurang dalam pergaulan. Waktuku sibuk dengan belajar di sekolah, diam di rumah, dan tidak pernah memiliki banyak izin untuk bisa menikmati waktu di luar bersama teman sebayaku.

Sesaat kemudian, seseorang yang aku tunggu sejak tadi terlihat dari kejauhan mulai datang. Dia melaju sangat pelan dengan motor kebanggaannya itu.

Aku berdiri dengan melambaikan tangan pada Reno, tapi... Siapa di belakang Reno saat ini? Kulihat seorang laki-laki turut menyusulnya dari belakang dengan mengendarai sebuah motor.

"Aku sudah menunggumu daritadi, ini... Ibu bilang kau harus menyampaikannya pada nenekmu!" terangku langsung mengajaknya bicara seraya memberikan rantang plastik yang ibu amanahkan tadi.

"Apa ini?" tanya Reno sambil meraih dari tanganku dan mengendus-enduskan penciumannya pada sisi rantang. "Sepertinya ini makanan, hmm..." imbuhnya kemudian.

Aku hanya mengangkat kedua bahuku setengah ke atas menanggapinya bicara demikian. Dan tatapanku baru menyadari, masih ada seseorang yang turut berhenti melaju dan diam di belakang Reno.

Kuperhatikan sejak tadi dia melihatku diam-diam, dan tampak salah tingkah ketika kuarahkan pandanganku padanya. Aku baru mengingatnya, dia laki-laki yang sama yang pernah kutemui saat berbelanja dengan Reno saat itu.

"Sampaikan pada ibumu, terima kasih, ya!" kata Reno membuatku tersentak dan memalingkan kembali pandanganku dari laki-laki itu.

"Hem, iya! Ya sudah, aku pulang deh!" jawabku kemudian dan melangkah lebih dulu meninggalkan Reno dan temannya itu masih diam dan kemudian berbincang santai di trotoar.

Begitu sampai di teras rumahku kembali, aku duduk di kursi tempatku duduk santai tadi. Aku meregangkan kedua kakiku ke lantai, kulihat Reno masih asyik melanjutkan perbincangan yang disertai dengan tawa canda dengan temannya tadi.

Bahkan saat ini mulai bertambah satu demi satu para pekerja yang baru pulang kini ikut serta mengobrol santai dan tergelak tawa dengan renyah bersama Reno di trotoar itu.

Aku masih duduk santai di kursi teras rumah, ibu kembali menghampiriku dan bertanya padaku.

"Sudah kau berikan pada Reno?"

"Sudah, Bu. Tapi Reno... Tuh, dia masih asyik dengan teman-temannya," jawabku sambil unjuk dagu mengarah ke tempat dimana Reno dan teman-temannya itu.

"Hah, dasar anak itu! Nanti keburu dingin makanannya," ucap ibu menggerutu seraya kembali melangkah ke dalam.

Secara bersamaan, ponselku kembali bergetar. Pesan singkat yang kembali mendarat di layar ponselku.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, tapi senang bisa melihatmu secara dekat."

Aku terkesiap seraya beranjak berdiri, menggenggam erat ponselku seraya menatap lurus ke depan dimana Reno dan teman-temannya berada.

Mungkinkah pesan ini di kirim oleh salah satu dari mereka? Teman-teman Reno, akh... Tidak mungkin, Reno tidak akan mungkin membagi nomor pribadiku ke sembarang orang.

Aku mendiamkannya untuk yang kedua kalinya, pesan singkat itu hanya aku baca tanpa berniat membalasnya. Kubiarkan saja dia menikmati sikap dinginku ini, aku lebih ke hal yang sedikit takut mendapatkan pesan rahasia seperti ini.

Aku kembali duduk di kursi teras rumah, meletakkan ponselku kembali di atas meja. Menatap luas kala sore tiba, di depan rumahku selalu tampak menyejukkan dan membuat hati damai bagi setiap penikmatnya.

Hamparan luas dengan tanah lapang di tumbuhi rerumputan hijau, burung-burung berterbangan seolah begitu riang gembira saling berkejaran, hembusan angin yang menjorok dari arah pesisir pantai, terasa sangat menenangkan.

Sejenak, aku teringat pada sosok Choco. Bukan rindu, tapi sesal yang mendalam. Selama ini banyak teman pria yang menyukaiku, tapi entah kenapa hatiku harus berlabuh kepadanya.