webnovel

Jejak Masa Lalu

"Jika kau ingin memulai hidup yang baru, lupakan bayangan masa lalumu!" Ya, kata itu memang sangat mudah diucapkan oleh semua orang termasuk diriku sendiri ketika menyadari untuk memulai kehidupan baru di masa depan. Tapi nyatanya...

Michella91 · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
287 Chs

Berita besar

Kupikir tadinya akan semudah membalikkan telapak tangan ketika aku bertekad ingin melupakan Choco begitu saja setelah dia merendahkanku sebagai seorang wanita.

Nyatanya, semakin aku berusaha semakin pula wajah nya selalu terbayang. Kami tidak lagi saling bertukar pesan, kami tidak lagi saling memberikan kabar dan bertukar cerita.

Aku duduk termenung di depan teras rumah dengan buku komik favoritku. Bukan itu saja alasanku duduk di teras sore ini, aku sedang menunggu Choco melewati jalan di depan sana. Aku ingin melihatnya.

Tak lama kemudian, bukan Choco yang kulihat. Melainkan kak Janet dengan penampilannya yang kini kembali terbuka dan membuatku terkejut oleh nya.

"Hai, Kak." aku menyapanya spontan.

Dia tidak merespon sapaanku, dia berjalan bersama tetangga sebelah rumah nya. Ini sedikit menyinggungku.

"Hai, Rose." tetangga itu menyapaku.

"Hai," jawabku singkat dengan senyuman kecil. Yang kupikirkan hanyalah sikap kak Janet yang mengabaikan sapaanku.

"Tumben, kamu terlihat duduk di situ? Apakah ada yang kau tunggu?" tanya kembali tetangga itu padaku.

"Eh, oh… Tidak, aku hanya sekedar ingin duduk santai dan… Baca komik ini," sahutku terbata-bata sambil menunjukkan buku komik padanya.

"Oh, kupikir kau sedang menunggu seseorang."

Aku tersenyum tipis menanggapinya, sedang kak Janet hanya diam saja dengan pandangan lurus ke depan. Aku bisa menebaknya, dia sedang menunggu atau ingin bertemu dengan seseorang. Tapi siapa dia? Hatiku bertanya-tanya.

"Ayo, kita harus cepat. Suamiku sudah menunggu pastinya." Kak Janet menarik tangan tetangga itu tanpa menyapaku.

Aku hanya tertegun melihatnya berjalan terburu-buru, dengan rambut di urai panjang bergoyang ke kanan dan ke kiri mengikuti liuk tubuhnya berjalan seksi. aku akui kak Janet terlihat sedikit cantik dan seksi belakangan ini. Dia terus berjalan lurus ke depan, ke arah sebuah perusahaan dimana tempat Choco bekerja saat ini.

Dari kejauhan jelas terlihat, Choco melaju dengan motornya. Haatiku berdegub kencang, namun seketika pula seolah terpelanting saat Choco menghentikan laju motornya tepat di depan kak Janet yang berjalan sejak tadi dengan tetangga nya itu. Entah kenapa hatiku sedikit perih melihat mereka dari kejauhan. Entah sejak kapan mereka menjadi dua insan yang saling mengenal. oh Tuhan, kedua mataku nampak jelas memperhatikan mereka yang saling melempar senyuman.

Sesaat kemudian Choco kembali melaju pergi, tadinya kupikir setelah melewati rumahku dia akan memberikan isyarat sapaan padaku seperti yang biasa dia lakukan namun ternyata tidak lagi ia berikan. Hatiku kian perih, dadaku sesak terasa. Kenapa? apakah dia sudah membenciku? Bukankah harusnya aku yang membencinya?

Aku berusaha meredam emosiku sesaat. Hari pun sudah gelap, tapi kegelisahan terus menghantui. Bayangan senyuman Choco untuk kak Janet terus terbayang olehku. Rasanya hampir gila memikirkannya, sedalam inikah aku jatuh hati pada Choco? Hingga kecemburuan ini terus membakar hatiku.

"Rose, Rose!!!"

Aku tersentak oleh panggilan ibu. Aku bahkan lupa jika saat ini aku sedang berada di tengah ayah dan ibuku menikmati makan malamku. "Maaf, Bu."

"Apa yang kau pikirkan?" tanya ayah sembari menyantap makan malam nya.

"Tidak ada, aku hanya sedang kurang selera makan saja."

"Apakah makanannya tidak enak?"

Aku menatap wajah ayah sejenak, lalu menggelengkan kepalaku.

"Aku sudah kenyang, aku masuk kamar saja." aku bangkit dari tempat dudukku dan melangkah masuk kamar.

Ketika sampai di kamar, aku menghempaskan tubuhku di atas kasur. Aku menatap langit kamar dengan tatapan kosong, pikiranku tetap saja di penuhi dengan bayangan tentang pertemuan Choco dengan kak Janet tadi. Sejujurnya ini cukup melelahkan, tapi aku tidak bisa menepis semua bayangan itu.

Hingga tiba waktu pagi, aku dibangunkan oleh suara dering ponselku yang terus menggelitik telingaku. Entah sejak kapan aku tertidur pulas malam tadi. Panggilan telepon dari sepupuku yang sudah lama tak terdengar kabar sejak kami berpisah dari kelulusan bangku SMP. Dia memutuskan untuk tidak menerusakan sekolah nya, dia memilih bekerja mengikuti jejak kakak kandungnya. Sungguh sangat di sayangkan.

"Aku akan segera menikah."

"Apa?" aku terkejut ketika menerima panggilan telepon darinya, dia mengatakan hal itu tanpa bertanya kabarku lebih dulu.

"Kau terkejut? hehehe…"

"Kau masih muda? Apa kau tidak takut untuk menikah di usia muda?"

"Apa yang harus aku takutkan? Jika menikah dengan orang yang telah lama hidup denganku selama ini."

"Hi-dup ber-sama? Apa maksud mu? Apa kau telah…"

"Hey… Jaga bicara mu, aku telah menjalin hubungan dengannya cukup lama. dan dia telah hidup di hatiku selama ini sebagai orang yang selalu ada dan memahamiku, mencintaiku sepenuh hatinya."

"Ah, kau membuatku iri." Aku membalas dengan desahan kesal.

"Hahaha, memang itu tujuanku. Kau harus berjanji akan datang dan menjadi panitia acara wedingku nanti."

"Aku tidak mau!"

"Ayolah, Rose."

"Huh, kau memang jahat." Imbuhnya.

"Ayolah, Rose…"

"Oke oke oke, apa yang tidak aku lakukan jika itu untuk adik sepupuku ini."

"Hello, kita hanya beda tiga bulan saja, oke."

"Tapi tetap saja aku lebih dulu lahir ke dunia ini." aku meledeknya dengan tertawa terbahak-bahak.

"Hmm… Ya ya ya, baiklah. Tapi aku tetap lebih dulu yang akan menyandang status seorang istri."

"Oke, kali ini aku kalah."

Panggilan pun berakhir. Aku melirik jam di dinding kamar, menunjukkan angka 8. Aku tersentak dan segera bangkit dari tempat tidurku, aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Begitu usai aku keluar kamar dengan terburu-buru hingga menabrak tubuh ibu yang kebetulan melewati kamarku.

"Aduh, Rose. Apa-apaan kamu ini?"

"Eng, maaf. Bu, maafkan aku. Aku bangun kesiangan."

"Hmm… Ibu sengaja tidak membangunkan mu karena ini hari libur. Coba saja hari biasanya kau pergi ke sekolah ibu sudah mendobrak pintu kamar mu."

"Aaah, ibu…"

"Kemana kau akan pergi hari ini?' tanya ibu.

"Bu, apakah benar Aida akan menikah? Menikah muda, Bu?"

Ibu tersenyum tipis. "Sejujurnya kami kecewa sebagai keluarga besarnya. Karena dia akan menikahi seorang laki-laki yang sudah menikah dan memiliki satu anak."

"WHAT???"

Ibu merapatkan bibirnya dengan melebar.

"Bu…" aku mendecak.

"Hem, ibu pun terkejut. Tapi mungkin ini sudah takdir dan jodoh Aida. Kita bisa apa?"

"Tapi Aida lebih muda dariku, bagaimana bisa dia menikahi laki-laki duda yang sudah memiliki anak? Bagaimana dia akan menjalani kehidupannya nanti, bagaimana dia akan mengurus semuanya nanti?"

"Tenang lah… Itu bukan perihal yang harus kau pikirkan, Nak. KAu hanya perlu fokus pada sekolah mu saja."

Aku masih tertegun dengan berita ini. Aku tidak menduga nya, rasa ingin segera menemui Aida dan mencegahnya hendakku lakukan akan tetapi, ini bukan hakku bukan? Tapi aku tidak bisa membayangkannya. Apakah dia akan hidup bahagia nanti? apakah dia akan mampu menjadi ibu sambung dari anak laki-laki itu?

"Rose…" panggil ibu bernada.

"Ah, ya?" aku terkejut mendengar suara ibu memanggilku.

"Jangan memikirkan Aida lagi, kemana kau akan pergi?"

"Aku… Aku tidak tau, Bu. Akan pergi kemana hari ini."

"Jika tidak ada rencana, bantu ibu buat kue. Cemilan sudah habis."

Aku mengangguk mendengar titah ibu.