"Apa? Yang benar saja, Bu. Ibu tahu aku dan Kreysa sama-sama tidak suka dengan Frilop. Apa enaknya meminum minuman pahit seperti itu, Bu?" tanya Freislor dengan acuh. Ia berjalan ke sudut ruangan dan memasukkan gula ke dalam sebuah wadah yang terbuat dari batok kelapa dan berbentuk setengah lingkaran. Setelahnya, ia menjentikkan jarinya. Muncul daun teh di dengan air panas yang tiba-tiba saja menggenang.
"Heum, ayolah. Setidaknya, kalian harus mencobanya sekali pun itu cuman sekali. Apa kamu tidak ingin melakukannya? Ada manfaat yang besar di balik minuman itu, Freislor. Kamu tidak seharusnya menilai dari rasanya saja. Lagi pula, Frilop sebenarnya memiliki rasa yang manis jika kamu membiarkannya selama beberapa menit, benaran," ucap sang ibu. Wanita paruh baya itu menyiapkan makan paginya untuk anak-anaknya. Freislor menggelengkan kepala.
"Yasudah, terserah kamu saja. Ayahmu tidak akan pulang hari ini, dia harus berjaga di sekitar perbatasan. Kalian tahu bahwa malam ini adalah pesta Vwertoui, bukan? Apa kamu sudah menyiapkan pakaianmu?" tanya sang ibu kepada Freislor. Dari kejauhan, Kreysa turun ke bawah sembari membaca buku.
"Tentu saja belum, Bu. Ibu tahu kalo Kakak itu orang yang pelupa, bukan? Dia tidak akan mengingat apapun jika itu tidak penting baginya," balas Kreysa sembari tersenyum dan duduk di salah satu kursi.
"Ah, Ibu hampir lupa soal itu. Kakakmu itu memang parah, ya," ucap sang ibu sembari tersenyum. Freislor menggaruk kepalanya dan tertawa lirih ketika adik dan ibunya membicarakan kelemahannya. Selang beberapa saat kemudian, Freislor telah siap dengan minuman yang hendak ia suguhkan kepada sang ibu dan adiknya. Mereka akhirnya makan bersama di pagi hari. Di sela-sela makan, Freislor bertanya kepada sang ibu.
"Oh iya, Bu. Itu sudah jelas sih, kenapa Ibu mempertanyakan hal yang sama sepanjang waktu? Aku bosan mendengarnya, Bu. Ibu dan Adik mengatakannya selama seratus hari berturut-turut, loh. Aku bisa tahu karena aku menghitungnya di saat itu."
"Heum, yah. Karena Ibu dan Adikmu hanya ingin memastikan agar kamu merubah kebiasaan burukmu itu. Tapi, Ibu rasa itu tidak akan mungkin terjadi. Karena kamu sendiri nggak ada niatan buat ngerubah itu. Hahaha," jawab sang ibu sembari tertawa lirih.
"Yah, kalo pun berubah kayanya butuh waktu yang lebih lama lagi, Bu. Aku nggak bisa ngerubah itu dalam hitungan bulan. Bisa tahunan," kata Freislor. Adik semata wayangnya dan ibunya hanya bisa tersenyum dan tertawa. Setelah mereka makan, Kreysa bergegas pergi ke luar ruangan dengan tas ranselnya. Sedangkan Freislor berpamitan kepada ibunya, dan langsung bergegas untuk kembali bekerja.
"Heum, aku penasaran apa yang terjadi nanti," ucapnya dengan suara lirih. Gadis itu menaiki sepeda pancal kesayangannya. Di sana, mereka biasa menyebutnya dengan "Jouchi." Jo adalah nama pembuat dari sepeda pancal terkemuka di kotanya. Sedangkan "uchi" sebagai lambang dari benda yang bisa bergerak dan bermanfaat untuk kehidupan mereka. Namun, sepeda pancal yang ia miliki berbentuk sama dengan sepeda pancal zaman dahulu. Desainnya sangat sederhana. Namun, sepeda itu adalah yang terbaik. Setelah Freislor pergi, keadaan rumah menjadi sangat sepi.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang, Ibu? Aku takut Freislor dan Kreysa terlalu mengenang masa lalu mereka, itu tidak akan baik," ucapnya pada sebuah foto yang berada di samping jendela ruang tamu. Dilihatnya, seorang wanita paruh baya dengan pakaian batik berwarna biru. Wajahnya tersenyum manis, indah, dan menawan. Beliau memegangi sebuah pedang. Foto itu seketika bergerak, ke kanan dan ke kiri.
"Apa yang terjadi?" tanya sang ibu dengan wajah ragu dan cemas. Jemarinya mencoba untuk memegangi foto yang terpajang di sana. Namun, foto itu bergerak menjauhi sang ibu. Gerakannya sangat cepat, melintas ke sudut kiri, sudut kanan, dan seketika, tergeletak dengan tajam dan menukik. Sebelum akhirnya jatuh dan retak di hadapannya.
"Oh tidak, apa yang terjadi denganmu, Ibu? Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanyanya sembari membungkam kedua mulutnya. Wanita itu segera merapikan foto dan menyapunya. Dengan hati-hati, ia menaruh foto Nenek Freislor dan Kreysa di sebuah laci.
"Aku harus pergi sekarang, semoga anak-anak bisa mengurus diri mereka sendiri nanti," batinnya. Wanita itu pergi dengan berat hati. Sebelum pergi, ia menulis surat dengan pena hitam di selembar daun pick, yang mana merupakan salah satu daun berwarna kuning kehijauan. Ada lambang burung bangau di sana. Kertas itu berbentuk oval dengan lengkungan di bagian pinggir. Di sudut sisinya, terdapat sebuah pita.