webnovel

Jangan membuka pintu

Prolog Pada 700 tahun yang lalu, ada keluarga kecil, namun mereka hidup bahagia, sang ibu sudah tiada karena melahirkan si bungsu. Kemudian ada satu hal yang tidak pernah disangka-sangka. Karena kecerobohan itu, mengakibatkan semuanya tiada. Sebelum pergi ke hutan, sang ayah yang bekerja sebagai pemburu, berpesan kepada sang kakak dan adik yang bernama, Jaka dan Eko, agar tidak bermain hal yang berbahaya. Begitu ayah pergi, sang kakak, Jaka pergi ke kamar dan tidur. sang adik bosan di dalam rumah, berulang kali dia melihat ke luar jendela. Eko tidak bisa menahan rasa bosannya lagi. Jadi dia membangunkan kakaknya, Jaka. Jaka yang sedang tidur, menggeliat malas. Dan menyuruh Eko main sendiri. Dengan hati yang kesal, Eko pergi ke dapur. Eko menyadari ada batu api di dekat tungku untuk memasak. Dengan rasa penasaran, Eko meraih batu api itu kemudian mulai memainkannya. Api menyala secara mendadak di tangan Eko, karena kaget, Eko melemparkan batu api ke dalam tumpukan kayu kemudian dengan cepat api menyebar. Pintu belakang di dapur tidak bisa di buka lagi, karena tertutupi api. Eko lari ke kamar Jaka yang masih tidur. Dengan panik Eko menceritakan semua. Jaka dan Eko kemudian menghambur keluar. Ruangan itu sangat panas. Api menyebar tidak terkendali. Dan mulai memasuki ruang tamu. Joko juga Eko berusaha membuka pintu. Sayangnya tidak terbuka karena terkunci dari luar. Baru saat itulah Joko menyadari ayahlah yang mengunci dari luar agar Eko tidak main ke pinggir hutan tempat mereka tinggal. *** Dan kisah ini dimulai saat sepupuku, Melisa dan kelima temannya, bermain di rumahku. Aku tak tahu kalau Melisa dan kelima temannya akan merubahku seperti sekarang. Apa kau tahu? Terkadang rasa ingin tahu itu berbahaya. Begitu yang terjadi dengan Melisa dan kelima temannya. Mereka hanya sekedar ingin tahu tentang legenda tahu itu, tapi rasa penasaran itu malah membawa petaka.

Dianra · Kinh dị ma quái
Không đủ số lượng người đọc
16 Chs

bab 13

Sebelumnya, aku sudah menyiapkan kata yang paling pedas untuk menyadarkan sepupuku yang polos dan mudah ditipu ini.

Tapi sekarang, begitu aku melihat wajahnya yang merah, napasnya tersengal-sengal seperti itu, juga ada bekas luka bakar di tangan dan lengannya lantaran menahan panasnya pintu yang di dorong oleh mahluk itu dan berdarah karena berusaha keras memegang kaki ranjang yang terbuat dari besi agar Riko tidak terbawa mahluk itu...

Mendadak aku jadi tidak tega.

Terlebih ketika aku melihat bagian bawah celana pendeknya, ada memar berwarna hitam di atas mata kaki dia, seolah kulit Riko hangus gara-gara dicengkeram oleh mahluk itu yang terlihat jelas di pergelangan kakinya.

"Kamu mau bilang apa, Al?" tanya Riko.

Aku mendekati dia. Dan tanpa menyentuh dahinya, aku tahu, Riko sekarang demam.

"Sana pulang," kataku. "Jangan lewat pintu depan. Lewat pintu belakang saja."

Riko mengangguk.

"Kamu sendiri bagaimana?" tanya Riko kembali. "Enggak mungkin menunggu di luar rumah sampai orang tua kamu pulang kan?"

Riko sendiri dalam kondisi badan yang tidak enak. Dia bisa ambruk kapan saja.

Tapi, dia masih mencemaskan aku, orang yang sempat ingin mengomeli dengan ucapan yang paling pedas kepada Riko.

"Sudah sana pulang. Jangan main ke rumahku lagi," pintaku dengan nada tegas.

Riko menatapku dan tak menjawab. Jelas sekali Riko sedih, dan kecewa. Aku tahu ucapanku menyakiti hati saudaraku. Tapi...

Aku menatap bagian belakang rumah, samar-samar aku bisa mencium bau daging lama hangus yang memuakkan.

Sepertinya hidupku tidak akan tenang lagi.

***

Sesuai prediksi Riko, aku menunggu di depan rumah, dibalik bayang-bayang pepohonan.

Menunggu itu membosankan dan aku hampir tidak bisa menahannya. Handphone yang bisa membuatku menghabiskan waktu, sendal atau sepatu sebagai alas kaki untuk keluar rumah, misalnya jalan-jalan, semua benda yang kubutuhkan untuk membuang waktu menunggu ayah dan ibu pulang ada di dalam rumah.

Dan sekarang, aku takut masuk ke dalam. Jadi, hanya bisa menunggu di balik pepohonan seperti sekarang.

Ah, aku jadi teringat alasan kamar lamaku tidak ada teralis besi yang menghalangi di jendela itu.

Sebenarnya dulu di semua kamar yang ada di rumah, ayah selalu memberikan penyekat di jendela yang terbuat dari besi nan keras.

Penyebabnya tidak ada teralis besi di kamar lamaku adalah permintaan dari ibu Melisa sebelum pergi dari daerah ini, dan mungkin tidak akan kembali untuk selamanya.

Sebelum pergi meninggalkan daerah ini bersama suaminya karena kehilangan anak perempuan satu-satunya, ibu dari Melisa sempat berkeliling sekitar rumah ini beberapa kali, memperhatikan setiap sudut rumah.

"Dulu Melisa pernah mencoret tembok di sini kan?" tanya mamanya Melisa sembari mengelus sudut tembok yang cat sudah terkelupas. "Kemudian kamu marah karena tembok yang dicoret Melisa itu baru saja diganti cat."

"Iya," ibuku menyahut pelan.

Kemudian ibu dari Melisa tertawa pelan, namun mata beliau menjadi sendu, dan bening air matanya sudah terkumpul di pelupuk matanya.

"Gadis itu," desah ibu Melisa dan kembali berjalan, ibuku mengikuti beberapa langkah di belakangnya.

Membiarkan ibu Melisa bernostalgia, sebelum akhirnya melepas semua kenangan menyakitkan dari daerah ini dan pindah ke tempat baru.

Tiba-tiba ibu Melisa berhenti, dan menatap hampa ke jendela kamar lamaku yang terbuka lebar pada pagi hari.

Ketika itu, teralis besi masih ada di jendela kamar lama.

Ibu Melisa mengulurkan tangannya dan menyentuh tepi teralis tersebut. Air mata yang sempat tertahan langsung jatuh saat itu juga.

"Melisa, Melisa," rintih ibu dari Melisa dengan perasaan sedih yang teramat sangat.

Tangan beliau meremas kuat teralis besi itu, seakan ingin menghancurkannya, meremukkan penghalang tersebut karena telah menghalangi satu-satunya jalan untuk bertahan hidup anak tunggalnya.

Ibu dari Melisa menangis keras dan tetap memegangi teralis besi.

"Anakku, gadisku yang cantik, putriku tersayang," rintih ibu Melisa sendu. "Kenapa kamu jadi begini, nak?"

Aku memandangi dari kejauhan dan sayup-sayup mendengar suara dari beliau.

Melihat beliau sedih, aku jadi semakin merasa bersalah.

Kenapa saat kejadian itu aku berenang dengan Riko? Atau setidaknya, aku dengan tegas menolak Melisa bermain di rumah saat aku sendiri pergi. Kenapa aku tidak berpikir seperti itu?

Ingin sekali kupukul diri sendiri karena seceroboh itu.

Aku merasa segan untuk mendekati mamanya Melisa yang menangis sedih dan sedang ditenangkan oleh ibuku.

Diam-diam aku melirik ayah dan aku mendapati ayah juga merasakan hal yang sama.

Terlalu canggung rasanya menghibur wanita yang sedang menangis.

Setelah beberapa lama, akhirnya ibu dan mamanya Melisa kembali lagi ke ruang tamu.

Ayah dan aku memilih untuk tidak masuk ke dalam. Sebagai gantinya, kami duduk di kursi dekat teras.

Entah berapa lama, akhirnya ibu dari Melisa permisi pulang.

Dan arah pandang kami bertemu.

Gurat kesedihan di wajahnya, jelas tidak bisa ditutupi, tapi beliau berusaha tegar.

Mamanya Melisa tidak sehisteris seperti pertama kali menyadari bahwa Melisa telah menghilang dari dunia ini, mungkin untuk selamanya.

"Aldi," suara mama Melisa yang berada di depan pintu kayu rumah, memanggilku.

"Ya, Tan?"

"Apa kamu marah saat Tante berteriak ke kamu ketika Melisa menghilang?"

Ayah memberikan waktu kepada mamanya Melisa dan aku untuk berbicara.

Sebelum masuk ke ruang tamu, ayah tersenyum sopan sembari menganggukkan kepala terhadap mamanya Melisa.

Saat hanya kami berdua di teras, mamanya Melisa menunggu jawaban dariku.

"Tidak, Tante. Saya maklum."

Ibu Melisa tersenyum tanpa arti dan berjalan mendekatiku. Kami hanya terpisahkan satu langkah.

Baru kusadari betapa lelahnya wajah ibu Melisa seperti tidak tidur nyenyak selama beberapa malam, ada kerutan halus disekitar matanya dan terguncangnya jiwa beliau karena kehilangan satu-satunya putri tercinta.

"Kamu anak yang baik, Aldi," ujar ibu Melisa dan mengelus rambutku pelan. "Aku akan mendoakan kamu selalu selamat dan diberikan perlindungan oleh-Nya."

Itu percakapan terakhirku dengan ibu dari Melisa, dan ketika beliau berpamitan kepadaku, mamanya Melisa tidak menoleh lagi kebelakang.

Punggung beliau begitu kurus dan kecil, ringkih, seakan jika angin bertiup lebih kencang mama dari Melisa akan jatuh.

Saat selesai makan pada malam harinya, kami sekeluarga berkumpul di ruang TV dan mulai bercerita.

Sebenarnya, lebih sering ibu yang bersuara, ayah dan aku sebagai pendengar yang baik.

"Tadi sebelum istri Adikmu itu pamitan sama aku, dia punya permintaan. Aku jadi enggak enak nolaknya, tidak apa-apa kan?" kata ibu memulai percakapan.

"Memangnya, apa yang dia minta?" tanya ayah kalem. "Minta diantarin sampai tujuan?"

"Ih, Ayah," desis ibu sembari melotot. "Bercanda saja."

Ayah tertawa kecil.

"Serius lah, Yah. Aku sudah setuju ini."

"Ya apa permintaannya?" tanya ayah kembali.

"Mamanya Melisa meminta agar teralis kamar lama itu dibongkar sebelum dia pergi."

Bersambung...