webnovel

JADI YANG MANA?

tak semuanya dapat digapai begitupun cinta. ada kalanya perasaan yang membodohi semua manusia itu bisa menyatuh dan berlanjut kejenjang pernikahan namun tidak semua orang bisa beruntung dan menyatu lalu menyandang status suami istri. yang manakah engkau wahai makluk berotak cerdas, adakah rasa bodoh itu juga merayapi tubuh dan otakmu?

andee_Rosalia · Lịch sử
Không đủ số lượng người đọc
5 Chs

01

Hai namaku Nurliah. aku adalah anak ke 3 dari 3 bersaudara. keluargaku hancur sedari awal tapi aku tak pernah tahu jika kehancuran keluargaku juga akan menurun pada kehidupanku.

sedari aku kecil mama selalu menggajarkan jangan merebut milik orang lain, tapi sepertinya pelajaran itu tidak di terapkan semua orang buktinya bapak yang sudah bersatus suami sekaligus bapak dari 4 anak tetap saja jadi incaran plakor tak bermoral.

pada intinya barang rongsokan saja masih ada yang punggut apa lagi barang baru yang khualitasnya bermutu!

dulu ketika bapak ketahuan selingkuh dan bodohnya mama masih bertahan, aku jelas menggajukan protes padahal kala itu aku masih berusia 12 tahun tapi ternyata mulut nistaku sudah  nampak jelas kala itu.

derita yang bapak berikan kian terasa tiap harinya, mama kadang sering bertengkar dengan bapak didepan mataku. terkadang kala bapak marah, bapak akan membentak dengan kata kasar seperti (sundala (anak haram) setan, dan sundala,), itu sih tak seberapa jika dibandingkan kala mama di pukuli oleh bapak.

aku sebagai anak tentu tak terima namun bisa berbuat apa kala itu selain menanggis keras dan memanggil-manggil mama terus-menerus.

mama sudah beberapa kali dianiaya oleh bapak tapi dengan bodohnya mama memafkan dan membiarkannya saja dan besoknya kami semua akan bersikap seolah-olah kekerasan itu tidak pernah terjadi dirumah kami.

jika sudah demikian sebenarnya siapa yang salah? kami kah yang bodoh membiarkannya dan memaafkannya? ataukah salah bapak yang sedari awal tidak punya rasa bersalah dan tak berotak lagi?

aku masih sangat kecil kala itu tapi sudah sangat tahu suasana buruk akan kelakuan suami seperti bapak itu. jika ada anggapan cinta pertama anak perempuan adalah bapaknya maka kataku adalah lelaki brengksek pertama yang ku kenal adalah bapakku.

tak ada lagi kasih sayang yang hadir di rumah kami, yang ada cuman air  mata, pertengkaran dan rasa sakit ditubuh juga hati yang kian hari, kian bertambah sepersekian detiknya.

sekali lagi aku bertanya-tanya, jika sudah demikian siapa yang salah akan takdir ini? sungguh takdir membuat kami diambang rasa mati namun masih bernyawa. apakah semua ini salah mama yang salah memilih lelaki, salah bapakkah yang tidak tahu tugas, tanggung jawab serta atitut yang baik sebagai suami, salah allah yang memberi cobaan atau memang sedari awal salah mama yang hadir didunia yang penuh dengan kesalahan ini?.

Broken home rasanya sudah mendarah daging pada namaku kini walau pada kenyataannya mama, bapakku masih berstatus suami istri.

aku malah mengharapkan perpisahan itu, mungkin perpisahan adalah cara terbaik keluar dari malasah ini namun mama tidak  melakukannya.  kala aku mengatakan aksi protesku tapi dengab santainya mama berkata

"jadilah wanita terhormat lia, mama tidak bodoh tapi mama hanya memberikan bapakmu 2 kemungkinan"

"kemungkinan terus tersakiti?" tanyaku berang dan tidak setuju dengan perkataan mama.

"mama tahu keputusan mama ini seperti orang bodoh lia" ujar mama gamang dan menatap kedepan seolah menggulas kenangan pahitnya kembali.

"yang lia lihat mama malah lebih dari orang gila" ujarku merusak suasana.

"mulutnu terlalu tajam untuk anak perempuan lia, kurangi itu karena tidak semua orang bisa terima apa yang kamu katakan" nasehat mama dengan lembut namun itu tidak bisa menggalihkan pikiran dan kemarahanku.

dengan masih kesal aku berkata "kita sedang membicarakan kebodohan mama, mulut lia urusan lain"

"iya mama tahu tapi kalo lia tidak berubah bukan teguran lagi yang lia dapat tapi doti-doti (ilmu magic serupa (santet, dan teluh)) lia" tegur mama masih lembut bahkan tangannya kini sudah merapikan anak rambutku.

"mama apa tidak bisa membuka mata dengan benar, membuka mulut dan membiarkan otak yang bekerja bukan hati lalu pergi dari bapak saja biar kita tidak sama-sama menderita?"

"terus kemungkinan apa yang mama tunggu? semakin disakiti?" tebakku dengan nada ketus.

"kemungkinan yang pertama, bapakmu akan sadar dan meninggalkan wanita itu atau kita meninggalkan bapakmu dan bapakmu akan dibayang-bayanggi penyesalan seumur hidupnya" ujar mama dengan suara lirih diakhir kalimat.

"dan sampai kapan kemungkinan yang mama anggap baik itu datang?" tanyaku mencemoh.

"akan datang lia, akan datang insya allah"

"mama seperti sudah sangat yakin mama itu berarti buat bapak sampai bapak bisa menyesal"

"mungkin kamu benar tapi mama tahu sependosa apa pun mama, allah selalu menyayangi umatnya" kata mama dengan nada gamang.

"mama terlalu banyak berharap, yakin banget mama akan melihat penyesalan bapak itu, iya kalo kematian lebih dulu datang ke bapak dan bapak tidak kunjung menyesal bagaimana?"

"husst jangan meragukan kuasa allah lia, allah tidak tidur dan allah maha tahu" tegur mama.

"ini pelajaran untuk lia. wanita diciptakan begitu sempurna oleh allah, begitu banyak surah, ayat yang menyatakan wanita begitu mulia. jadi jika tidak di bumi mungkin di surga  allah akan mengganti semuanya lebih baik" kata mama lembut lalu pergi meninggalkan aku begitu saja.

entah apa maksud mama mengatakan itu, tapi baik aku dan ketiga saudaraku kini sangat kesal pada bapak yang sangat lemah karena hawa nafsu.

setiap harinya rumah duka milik bapakku berhasil mengguras derai air mata mama walau begitu mama masih kokoh mempertahankan rumah duka itu hingga sampai saat ini.

tapi kisah masa laluku belum selesai karena yang ingin kuceritakan sebenarnya bukan tentang aku, tapi tentang dia dan keluarganya.

saat ini usiaku masih 11 tahun dan kini aku memiliki tetangga baru. rumah sebelah rumahku sudah lama kosong namun sekarang ditempati oleh mereka, mereka yang ku maksud hanyalah seorang ayah dan anak tanpa seorang wanita yang disebut ibu.  

Nama lelaki dewasa itu Om Hafiz sedangkan anaknya bernama muhammad abizali hafiz. bagaimana aku tahu ya karena usianya sepantaran denganku dan kami satu kelas tentunya.

katanya mereka berasal dari kota J. mereka memang hanya tinggal berdua tapi yang datang ke rumah mereka itu banyak, katanya itu keluarga dari mendiang Ibu habib.

salah satu alasan mereka tinggal dan menetap di Makassar karena ingin dekat dengan kuburan ibu Habib, selain itu Habib memiliki banyak sepupu laki-laki dan hanya satu sepupu perempuan itu pun masih balita saat ini.

keluarga habib itu sangat baik, aku beberapa kali bertemu mereka saking baiknya aku sering di rawat gratis oleh Bibinya Habib yang bernama tante Diba bahkan aku diberi uang oleh pamannya Habib yang bernama Om Adi. ya Habib memang berasal dari keluarga yang sangat mampu menurutku.

Hidup Habib itu sangat beruntung. Habib punya Ayah yang baik, keluarga yang banyak, sangat menyayangginya, keluarga yang berkecukupan, menggerti agama dan dermawan walaupun minus seorang ibu sih tapikan banyak kok orang yang bersedia menggantikan sosok ibunya. hidup tanpa ibu, Abi menjadi sosok yang pendiam bahkan layaknya orang gagu, hanya menjawab jika ditanya tapi sekali marah waoww.

lelaki seusiaku itu, jika di sekolah dipanggil Abi sedangkan jika rumah akan di panggil Habib. Nama Habib itu katanya diberikan  oleh Uminya jadi dia lebih senang di panggil Habib, walau begitu dia tak menggisinkan sembarang orang memanggilinya Habib, termasuk aku, jadi biar ku kenalkan dia sebagai abi.

hanya ayah dan keluarganyalah yang boleh memanggilnya dengan sapaan Habib, walaupun kami dekat tetap saja tidak boleh togh dekat yang kukatakan itu persi aku doang sedangkan menurutnya aku hanya sebuah parasait nakal yang sialnya tinggal begitu dekat dengannya dan jahatnya dia mengatakan jika aku tidak bisa dikategorikan sebagai teman karena dia membenciku bahkan sangat-sangat membenciku.

selain itu arti dari namanya adalah "kesayangan" jadi dia serasa menjadi gay jika anak lelaki yang memanggilnya lalu jika wanita dia merasa seperti lelaki murahan. anehkan? memang.

Abi alias Habib itu pintarnya kelewatan saking kelewatannya kecerdasan otaknya pandai merangkai kata untuk melukai dan membuat orang menanggis meraung-raung, itu karena mulut nyinyirnya yang setajam beling gays. lukanya memang tidak dalam tapi tetap aja sakit hingga bernanah.

pernah ad kejadian kala itu habib sedang mengajariku dan bodohnya aku malah berbasa basi tentang ibunya. aku menanyakan tentang ibu bahkan mengasihi dia yang tidak bisa merasakan cinta kasih oleh ibu tapi tanpa kata dia pergi meninggalkan aku begitu saja.

"HABIB" teriakku

"HABIB"

"HABIB"

"HABIB" Panggilku berulang-ulang kali tapi tetap saja diacuhkan olehnya. jarak kami tidak terlalu jauh sih sebenarnya dan aku sudah berteriak-teriak tapi ternyata masih saja tak di acuhkan olehnya, hingga dengan suara yang sama kerasnya dia akhirnya ia menjawab dan betkata

"DIAM" bentaknya dengan suara lebih keras dari teriakanku.

"Habib..." renggekku dengan suara manja

"Tidak mendapatkan kasih sayang ibu itu musibah tapi ketemu wanita gila seperti kamu itu bencana alam" katanya dengan desisan bahkan wajah dingin yang kala itu pertama kali kulihat.

"Habib" masih dengan wajah melas dan suara manja.

"gunanya kau tinggal di bumi apakah?" ujarnya sadis dengan bersedakap lalu menatapku intens

"menurutmu mi saja deh" ujarku takut memandang abi.

"menurutku tidak karena cantik tidak, tapi gobloknya melampau i wiro sableng iya" katanya

"egh yang kau bilang itu JAHAT nah"

"DON'T CARE" ucapnya dengan suara keras menunjukkan jika dirinya benar-benar tidak memiliki rasa simpati padaku.

"Habib" ujarku sekali lagi tidak tapi tidak dihiraukan

"...."

"HABIB" teriakku dengan keras. apa lagi ketika dirinya beranjak dan benar-benar meninggalkanku maka menaggis penuh dramalah aku.

FLASHBACK ON

"habib"

"..."

"abi"

"..."

"kau ndak bisa bicarakah?"

"...."

"ayo main" ajakku dengan gembira layaknya anak kecil

"..." tak ada suara ataupun tanggapan dari abi.

"abi" panggilku sekali lagi.

"..."

"ighh abi, kenapa ko pergi? mau kemana nah?" tanyaku dengan teriakan.

"..."

"abi mendengar ji itukah?" jeritku padanya yang mulai semakin menjauh

"...." abi tak kunjung menjawab perkataanku hingga dirinya masuk kembali dalam rumahnya  begitu saja.

jangankan untuk menyapa atau membalas perkataanku menatapku saja tidak kok. tapi diteras rumah itu masih ada om Hafiz jadi dengan lugu aku berkata

"om, anaknya om bisu na?" kataku pada om Hafiz dengan lugunya

"hehhe tidak, alhamdulilah abi sehat dan normal lia" jelas om hafis padaku dengan cara yang lembut

"kenapa pade tidak bicara i dari tadi? (terus kenapa dia tidak bicara dari tadi?)" tanyaku menuntut.

"habib memang sedari dulu begitu" jelas om Hafiz.

"pepe?" ucapku dengan polos.

"pepe itu apa?" tanya om hafiz binggung

"tidak bisa bicara?" jawabku.

"hehehe, bukan lia. habib itu tidak suka berbicara"

"jadi kalo ada maunya bagaimana caranya bilang? (kalo abi mau sesuatu dia gimana ngomongnya?)"

"abi ngomong seperti biasanya lia" ujarnya lembut

"tapi kenapa tadi saya ajak bicara i ndak menyahut i? (kenapa saat saya ajak bicara dia diam saja?)"

"hehe abi memang tidak berbicara dengan sembarang orang" jelas om hafiz sekali lagi.

"kenapa?" tanyaku kian menuntut kepada om Hafiz.

"mmm bagaimana ya biar lia menggerti?" kata om hafiz sembari mensejajarkan dirinya denganku. lalu kini om hafiz berjongkok dan tidak lupa menatap tepat di bola mataku. om Hafiz sempat berpikir lama, sadar aku menunggu om hafiz lalu berkata

"habib ngak pernah punya teman, jadi habib ngak tahu caranya berteman"

"kan lia mau jadi temannya habib, kalo habib juga mau jadi teman lia, habib harus bicara dulu?" tanyaku masih dengan kepolosan atau mungkin lebih tepat kukatakan kebodohan.

"lia kenapa mau jadi teman Habib?"

"tidak tahu" jawabku dengan senyuman manis dan yakin membuat om hafiz tidak menggerti sama seperti aku yang tidak tahu jawabannya.

"kok bisa?" tanyanya

"mmm abi pintar, mmm abi juga satu sekolahan sama lia, jadi kalo kita kesekolah kan bisa sama-sama pergi" kataku masih dengan yakin sambil menggingat-ingat hal yang bisa ku jadikan alasan.

"Habib kalo disekolah bagaimana?" tanya om Hafiz lagi.

"mmm abi kayak tokkek. diam terus didekat tembok" jawabku dengan jujur dan sedikit mendesis takut jika om hafiz marah anaknya kusebut tokek.

tapi ternyata ketakutanku tak terjadi  karena om hafiz malah tersenyum lalu mengusap kepalaku dengn lembut lalu akhirnya berkata "habib nakal ngak sama lia?"

"iya, kasar mulutnya abi" jawabku jujur

"kasar kayak gimana?"

"selalu i bilang kalo lia bodoh, calleda, jelek sama bau juga" aduku.

"terus lia gimana?" tanya om hafiz.

"hehehe" ujarku dengan cenggengesan

"lia ngak marah dibilangin gitu?"

"ndak ji"

"lia ngak sakit hati?"

"..." aku tak menjawab malah melilih menggeleng.

"kenapa?" ujar om hafiz dengan kening yang berkerut.

"iya, karena temanku yang lain juga begitu na bilang(karena tidak cuma  abi yang bilang seperti itu)" jelasku

"lia yakin masih mau temanan dengan Habib?"

"iya"

"ngak takut dibilangin yang jelek-jelek sama habib?"

"ngak" jawabku santai karena perasaanku meyakinkan jika tidak ada yang perlu ti khawatirkan dari abi selama abi tak menggunakan kekerasan untuk menghempaskan aku jauh-jauh darinya.

"yakin?" tanya om hafiz seakan tidak percaya dengan perkataanku.

"mmm" jawabku mulai ragu.

"lia, kalo habib nakal lia ngapain?" tanya om hafiz tampa henti

"lia pukulin" jawabku dengan cenggiran rasa bersalah

"habib mukul juga?" tanya om hafis dengan wajah serius.

"iya" jawabku jujur

"habib pukulnya sakit ngak?"

"iya" jawabku lagi

"lia pukul lagi?"

"ngak"

"kenapa"

"menangis kag (aku udah keburu nanggis jadi ngak sempat ngelawan lagi)"

"jadi?"

"tapi kalo datang mi ibu guru dimarahi abi, baru minta maaf mi abi sama saya (kalo aku nanggis, guru akan datang lalu abi akan ditegur lalu di perintah minta maaf ke aku"

"lia maafin?" tanya om hafiz seakan tidak ada habisnya.

"iya"

"kenapa?"

"kata mama allah maha memaafkan jadi tidak maafkan berarti temannya setan" jawabku lugu

"..." mendengar itu senyum om hafiz semakin lebar. dipindahkannya aku kepangkuannya lalu kami bersitatap intens. om hafiz sempat menggelus rambutku dengan sayang lalu berkata

"lia anak yang baik, lia harus jadi teman habib terus ya?" pesan om hafiz sambil memegang kedua bahuku, matanya yang tajam bahkan lebih intens menatapku seakan memaksa.

"iya" jawabku akhirnya walau sedikit ragu.

"lia sayang ngak sama abi?" tanya om hafiz aneh.

"tidak"

"kenapa?"

"kata mama ngak boleh sayang-sayang sama laki-laki, abi kan laki-laki jadi lia ndak boleh sayang"

"kenapa?"

"mama bilang ndak boleh" jawabku dengan tegas.

"mama dan kamu emang gak sayang sama bapak?"

"..." aku tak menjawab tapi menggeleng dengan ragu-ragu

"kenapa?"

"kata mama, bapak sudah banyak yang sayang jadi sayang sama bapak percuma"

"...." kali ini giliran om hafiz yang bungkam. om hafiz sekarang bukannya tersenyum bahagia melainkan senyum paksa yang jelas berbeda dari sebelumnya.

om Hafiz masih memangku juga menggelus rambutku dengan lembut lalu berkata

"lia mau janji dengan om ngak?" pintanya lembut.

"apa om?" jawabku.

"biar bagaimana pun kondisi habib nanti lia harus selalu ada untuk abi ya?"

"iya" kataku begitu saja.

"lia janji?" tanya om hafiz serius

"iya janji" ujarku. om hafiz lalu memintaku berjanji ala anak kelingking.

"kalo lia ngak nepatin janji hukumannya apa?"

"mmm lia mmm"

"lia bakal?"

"mm tapi om bakal tetap sayang lia kan?"

"katanya ngak boleh sayang-sayangan ma cowok, om kan juga cowok"

"iya, kata mama, boleh disayang cowok tapi ngak lia yang ngak boleh sayang kembali i itu cowok"

"jadi?"

"tetap jiki beliinka baju baru sama makanan yang enak ga? (tapi om bakalan tetap beliin lia makanan yang enak?)"

"...." bukannya menjawab om hafiz malah terbahak begitu keras hingga abi yang entah tadinya dimana kini melihat interaksiku bersama om hafis yang terlihat layaknya seorang ayah dan anak.

wajah abi semakin kusam melihatku dan kalah itu pula siksaan dari abi semakin bertingkat sesuai pendidikan dan usia kami.

FLASBACK OFF

itu adalah sepercik kenangan ketika aku mendapatkan gelar sebagai teman abi yang direstui, sekaligus gelar musuh sekaligus saingan abadi abi.

dulu tanpa pikir panjang aku akan menggiyakan namun yang tidak kutahu begitu banyak konsekuensi dari ucapan "iya".

dulu aku hanya akan melawan dan bertahan menghadapi mulut sadis abi yang kadang buat seluruh tubuh kehilangan semangat juang namun kini rasa cemburu dan ingin menyerah saja.

segala ucapanku pada om Hafiz itu nyatanya tak bisa kulakukan, pada saat ini semakin aku menolak maka perasaan itu muncul dan berakal hingga kendali.