Aurel sudah tidak tahan lagi.
"Maaf, Ma ... Pa ... Mas Vero, Aurel ijin ke kamar dulu." Wanita cantik itu lalu berdiri dan pergi meninggalkan Mertua beserta Suami.
Hatinya hancur. Kebahagiaan yang semula dapat dia rasakan sebentar, kini akan redup dan menghilang bagai ditelan bumi.
"Aurel! Aku belum selesai bicara! Kamu ini benar-benar tidak mempunyai sopan santun! Kalau ada yang lagi ngomong itu didengerin, bukan malah ditinggal kabur!" seru Melisa menahan kepergiaan Aurel.
Walaupun air matanya sudah bercucuran ditambah dengan dadanya yang terasa sesak. Demi tidak menimbulkan masalah dan berlaku kurang ajar, ia pun menghentikan langkah sambil menghela nafas berat.
"Ya Allah, tolong aku ... berilah kesabaran dan keikhlasan dalam menghadapi semua cobaan ini," batin Aurel kemudian jari-jemarinya mengusap pada air mata yang kian deras.
Aurel tidak ingin terlihat miris dan mengenaskan di depan Mertua yang begitu dia sayang dan hormati. Dia juga tidak ingin menunjukkan rasa kecewa terhadap Sang Suami.
Saat ini, dia hanya ingin bersikap apa yang biasanya dilakukan sebagai seorang Menantu.
"Maaf, Ma ... bukan maksud Aurel lancang dan tidak mempunyai sopan santun, hanya saja Aurel capek ingin istirahat," jawab Aurel setelah memastikan bahwa tidak ada lagi air mata yang bergulir, kemudian membalikkan badan untuk menatap Melisa.
"Jangan banyak alasan! Sekarang juga, aku ingin kamu membuatkan hidangan makan malam untuk kami! SEKARANG!!!" perintah Melisa.
Sudah sangat jelas, bahwa mulai detik ini, Aurel sudah diperlakukan sebagai seorang PEMBANTU dengan perlakuan yang tidak manusiawi.
Padahal jika Melisa mau bersikap baik pada Aurel, pasti Menantu cantik itu dengan senang hati melakukan apa-apa saja yang diperintahkan.
Sayangnya, karena kalimat itu terasa menyakitkan batin Aurel semakin teriris.
"Kenapa Mama memperlakukan aku tidak baik setelah mengetahui aku miskin? Benarkah sesungguhnya keluarga ini tidak menerimaku dengan ketulusan?" batin Aurel mencoba menerka keadaan.
"AUREL!!! Apa kamu TULI!!! Cepat ke dapur dan masak untuk kami!" teriak Melisa membuat konsentrasi Aurel buyar.
"Ba-baik, Ma ...." Aurel pun bergegas pergi dengan langkah tergopoh.
Dua laki-laki yang masih duduk di samping Melisa sama sekali tidak membela Aurel. Vero dan Abimanyu terlalu sibuk dengan ponsel dan alasan lain karena mereka tidak ada yang berani melawan Melisa.
Di rumah ini satu-satunya orang yang berkuasa adalah Melisa. Wanita terkuat yang begitu angkuh, galak, haus akan harta dan glamor.
Setelah Aurel enyah, bibir Melisa merekah. Hatinya sedikit puas bisa memberikan pelajaran pada Aurel. Sesungguhnya, Melisa sangat kecewa dan marah karena dirinya gagal menguasai harta kedua orang tua Aurel.
"Kalian ini kenapa dari tadi diam?" Pertanyaan itu ditujukan untuk anak dan juga suaminya.
"Terus Papa harus bilang apa? Mama dari tadi marah-marah terus. Papa ngeri sendiri," jawab Abimanyu sembari meletakkan ponsel.
"Vero juga takut. Mama jangan terlalu kasar sama Aurel. Kasihan, Ma ... nanti dia stres yang akan berakibat buruk pada kecantikannya," sahut Vero mulai menanggapi.
"Kalian ini! Tadi aja diam seribu bahasa! Sekarang, malah ngebelain Aurel! Aneh!"
Abimanyu dan Vero tidak lagi menanggapi omongan Melisa. Karena jika terus dijawab malah membuat masalah baru dan menimbulkan obrolan yang sangat panjang.
Di saat mereka bertiga duduk manis menunggu makanan datang, di dapur ada Aurel yang sedang sesenggukan sembari mengolah bahan masakan. Dia memasak sambil menangis. Begitu banyak beban yang sedang ia pikul.
"Ma ... Pa ... Aurel kangen sama kalian. Andai saja Tuhan memberi Aurel waktu sebentar lagi, pasti Aurel akan menunda menikah untuk menghabiskan waktu yang tersisa bersama kalian," gumamnya.
"Aurel! Cepetan! Kamu itu masak apa tidur! CEPAT!" teriak Melisa.
"I-iya, Ma ...." Buru-buru Aurel menyelesaikan masakannya tanpa mencicipi terlebih dahulu.
Setelah semuanya tersaji di atas meja, Melisa mulai mengambil sup yang memang ia pesan. Malam-malam memang cocok menyantap makanan yang hangat dan mantap.
Namun, baru satu suapan yang masuk di mulut Melisa, wanita galak itu lantas menyemburkan makanannya ke lantai.
Tidak hanya itu saja, dia juga melemparkan piring ke lantai hingga menimbulkan suara gaduh dan menumpahkan isi piring sampai tercecer.
"Kamu ini pengen aku mati, ya? Iya?!" seru Melisa dengan kedua mata membulat sempurna.
Aurel yang tidak tahu apa-apa tercengang dengan wajah bingung.
"Ma-maksud Mama apa?" jawab Aurel kemudian.
"Masih berani tanya, maksudnya apa! Ha?! Dasar Menantu tidak berguna!" hina Melisa.
Vero yang lama-lama iba dengan keadaan Istri yang sedari tadi dihina oleh Mamanya, ia pun mulai membela.
Sejujurnya Vero masih sangat mencintai Aurel, meskipun cintanya hanya sebatas paras dan tubuh yang sempurna.
"Ma, ada apalagi sih? Dari tadi marah-marah terus. Gak capek? Lagian masakan Aurel ada yang salah? Perasaan Istriku itu pinter masak," bela Vero.
Deg!
Mata Aurel yang hampir menjatuhkan air mata, menyorot ke arah Sang Suami. Dia terharu atas sikap berani yang ditunjukkan Vero.
"Alhamdulillah, Mas Vero mau membelaku juga," batin Aurel kemudian sembari memperlihatkan sedikit senyum yang mengembang.
"Aurel! Kamu ini dengar tidak! Apa sudah mulai gila?! Sudah tahu salah dan sedang aku marahin, bisa-bisanya malah senyum!"
Ternyata kebahagiaan yang hanya sebentar itu diketahui oleh Sang Mertua.
"Sekarang juga, kamu makan semua masakan ini!" gertak Melisa kemudian.
"Ta-tapi, Ma ... Aurel tidak mungkin menghabiskan semua makanan ini ... perut Aurel tidak sanggup."
"Oh, jadi sekarang kamu sudah berani melawanku!Baiklah jika memang kamu tidak mau menghabiskannya. Tapi, malam ini kamu tidur di luar!" Melisa mengancam sambil kedua tangannya menggebrak meja makan.
Karena penasaran dengan masakan Aurel yang katanya seperti racun, Abimanyu lalu mengambil sedikit kuah sup dan mencicipinya.
"Huek!" Abimanyu juga memuntahkan makanan tersebut.
"Mama dan Papa ini kenapa sih?" sahut Vero yang ikutan mencicipi.
"Astaga! Aurel ... ada apa denganmu? Apa yang dibilang Mama benar. Masakanmu seperti racun tikus." Kali ini Vero memberi penjelasan.
"Benarkah, Mas?" Aurel kemudian dengan antusias mencicipi seperti yang lain.
"Subhanallah ... kenapa asin sekali? Ini pasti gara-gara aku kebanyakan menangis. Apa jangan-jangan ada air mata yang mengalir dan masuk ke panci sup? Sungguh aku telah lalai," batin Aurel mengakui kesalahan.
"Maafin Aurel, Ma ... Pa ... Mas Vero, sepertinya Aurel terlalu banyak membubuhi garam."
Terpaksa wanita cantik itu berbohong. Tidak mungkin juga kalau dia mengatakan kalau masakannya telah terkontaminasi dengan air matanya.
"Aku tidak mau tahu, pilihan kamu hanya ada dua. Menghabiskan makanan ini atau tidur di luar!"
Melisa lantas berdiri dan meninggalkan Aurel yang kemudian disusul oleh Abimanyu.
"Maafin aku, Sayang. Aku tidak bisa membantu banyak. Kamu tahu sendiri bukan kalau aku ini takut sama Papa. Kamu baik-baik ya, aku tunggu di kamar untuk memadu kasih kembali," ucap Vero sebelum meninggalkan Aurel sendirian di ruang makan.
Tidak ingin tidur di luar rumah, Aurel pun dengan susah payah menghabiskan sup sepanci.
***
Bersambung.