"Apaan sih, sakit tau!!"
"Kau datang." bu Clarissa menyapa tuan Arjun.
"Ibu." tuan Arjun ingin ibunya bersalaman. Namun dengan sengaja beliau tolak karena masih merasa kesal.
"Enggak perlu lah salaman segala. Memangnya kamu masih menganggap aku ini sebagai ibumu." bu Clarissa memalingkan wajahnya.
"Kita bicara di luar saja bu. Dona harus istirahat."
Tidak menjawab, namun bu Clarissa melangkah keluar terlebih dahulu. Tuan Arjun Saputra dan David mengikuti saja dari belakang.
Mereka bertiga duduk di perpustakaan pribadi tuan Arjun Saputra. Dengan menikmati sajian teh hangat dan camilan manis di meja.
"Ibu kecewa padamu Arjun." bu Clarissa membuka percakapan.
"Arjun bisa jelaskan kok bu."
"Jelaskan apa? Kamu lihat, lukanya di sekujur tubuh Arjun. Apa yang kamu lakukan padanya?"
"Arjun hanya melakukan persis seperti yang dia lakukan pada Dinda bu."
"Dinda lagi?"
"Ya, Arjun sangat mencintai wanita itu."
"Cintamu itu buta Arjun. Sampai-sampai dengan tega kamu memperlakukan Dona sekejam itu."
"Dia telah melakukan kejahatan bu. Dinda yang jadi korbannya."
"Memangnya apa yang gadis lembut sepertinya perbuat?"
"Ibu tanya saja pada David. Dia juga tau semuanya. Iya kan David?" tuan Arjun kearah David yang tengah sibuk dengan ponselnya.
"Hah? Apa?" David pura-pura tidak mengerti.
"Apakah yang di bilang kakakmu itu benar? Tentang Dona yang melukai Dinda?" tanya bu Clarissa.
"Hemmmm bukankah sebelumnya sudah David beritahu kan tadi di dalam. Ibu saja yang nggak percaya."
"Tapi Dona...."
"Sudahlah bu, aku melakukan ini juga agar dia tidak mengulangi kesalahan ini. Jika memang ibu khawatir padanya, bawa saja dia bersama ibu."
"Arjun kau tidak bisa bicara seperti itu. Dia juga istrimu."
"Awalnya Arjun hanya ingin menolongnya saja bu, tetapi ibu yang memaksa Arjun untuk menikahinya."
"Dona adalah gadis yang baik Arjun. Ibunya sudah meninggal, dia sendiri penyakitan. Itu tentu tidak tega jika harus membiarkan dia hidup sendiri."
"Dona juga kan yang menghasut agar ibu memaksa Arjun menikahinya."
"Enggak ada yang menghasut. Bagi ibu, kami yang pantas menjaganya. Lihat dia begitu menyedihkan bukan?"
"Itu hanya penglihatan ibu saja. Bahkan sebenarnya dia tidak butuh bantuan ku untuk menjaganya. Ibu lupa Dona orang seperti apa? Dia itu cerdas, bukan wanita lemah yang mengharapkan belas kasih. Tanpa bantuan ku pun dia akan tetap hidup dengan baik bu."
"Arjun!! Lalu bagaimana Dona sekarang. Kondisi begitu mengkhawatirkan."
"Dia akan baik-baik saja. Ibu tidak perlu khawatir."
Tuan Arjun Saputra gegas meninggalkan ibunya. Baginya penjelasannya kali ini di rasa sudah cukup. Ibunya masih terus menganggap Dona tidak sepenuhnya salah. Namun bukan berarti tuan Arjun Saputra akan tetap menerimanya dengan tangan terbuka.
Baginya, siapapun yang berusaha menyakiti Dinda. Maka harus mendapatkan ganjaran yang setimpal darinya.
---
Tidak ada yang tau, di saat bu Clarissa datang berkunjung ke kediamannya. Dinda telah di kirim tuan Arjun pergi. Di izinkan menemani Bella untuk bertanding mengikuti kompetisi melukis yang di ikutinya.
Dinda juga mengajak Daniar sebagaimana janji yang harus ia tepati.
"Wah, sudah lama sekali ya. Akhirnya aku bisa melihat jalanan yang begitu ramai." kata Daniar antusias.
"Lunas ya janjiku. Pada mbak Bella juga."
Bella yang duduk di sebelah supir tersenyum mendengarnya. Dia tampak bahagia sembari menggenggam erat koper berisi peralatan melukisnya.
"Aku senang sekali, setidaknya hari ini, aku menjadi Bella yang biasanya."
"Semangat ya mbak melukisnya."
"Thanks ya Dinda."
"Nanti Dinda tunggu di luar ya. Biar nggak ganggu konsentrasi mbak."
Bella mengangguk sembari tersenyum manis. Dinda merasa binar di matanya mengisyaratkan jika dia benar-benar merasa bahagia hari ini. Dengan jepitan pita di rambutnya, Bella yang sangat cantik di banding hari biasanya.
Bella berjalan dengan sangat hati-hati, menyerahkan formulir pendaftaran kemudian duduk di kursi tunggu.
Matanya terlihat mencari-cari keberadaan seseorang yang sangat ingin ia jumpai.
Kompetisi sebentar lagi di mulai. Bella sedikit kecewa, karena kali ini dia tidak muncul untuk berkompetisi seperti tahun-tahun sebelumnya.
Harapan Bella untuk bertemu dengannya sirna. Bahkan saat ia melukis pun, rasa semangat yang ada pada diri Bella musnah.
"Kenapa dia seperti orang yang sedang kebingungan?" tanya Daniar pada Dinda yang menonton dari kejauhan.
"Entahlah, tadi pagi dia sangat antusias sekali untuk datang. Tapi kenapa sekarang jadi lesu begitu?"
"Apa ada sesuatu?"
Dinda menggeleng tidak mengerti. Raut wajah Bella yang gelisah membuatnya juga turut merasa cemas.
Dinda berlari ke arah Bella ketika kompetisinya usai.
"Mbak bagaimana?"
"Oke kok." jawab Bella singkat.
Walau Dinda ada di hadapannya persis, namun kedua mata Bella masih terus mencari-cari sesuatu yang tidak ada di sekitar sana.
"Mbak Bella mencari seseorang ya?" tanya Dinda.
Bella menatap Dinda, menarik tangannya dan mengajaknya duduk bersama.
"Ada apa mbak? Kenapa mbak Bella murung begitu?"
"Mungkin ini adalah kompetisi ku yang terakhir Dinda." kata Bella dengan sedih.
"Kenapa? Lukisan mbak Bella bagus loh. Sayang tau."
"Ini sudah menjadi keputusan mbak."
Matanya yang mengembun mengisyaratkan telah terjadi gejolak di hatinya.
Dinda menggenggam tangan Bella "Ceritakan saja pada Dinda. Mungkin nanti Dinda bisa membantu."
Bella menyambut niat baik Dinda, tersenyum dengan mengandung arti yang misterius.
"Dinda maukah kamu membantu mbak Bella sekali lagi?"
"Apa itu mbak? Katakan saja."
Bella sepertinya ragu untuk mengatakan apa yang membuat pikirannya begitu kacau.
Sampai tiba-tiba...
"Bella...." panggil seseorang.
Dinda dan Bella menoleh bersamaan. Ada seorang pria berdiri tidak jauh dari tempat duduk mereka. Dengan membawa sebuket bunga mawar merah yang cantik.
"Siapa itu mbak?" Dinda penasaran.
Bella tidak menjawab, bergegas dan menghampiri pria itu.
"Dinda itu siapa?" tanya Daniar yang sedari tadi berdiri di samping Dinda.
"Aku juga nggak tau."
"Dia bawa bunga, apa dia kekasih gelap nyonya Bella."
"Husssstttt jangan sembarangan berbicara."
Namun yang tidak terduga terjadi, Bella yang menghampiri pria itu langsung memeluknya dengan sangat erat. Menangis sesenggukan di pelukan pria itu.
Dinda dan Daniar tentu saja kaget. Tercengang dengan pemandangan yang seharusnya tidak pernah terjadi itu.
"Apa ini? Kenapa mbak Bella memeluknya?"
Entah mengapa Dinda merasa di bohongi kali ini.
"Apakah dia ingin datang ke sini bukan hanya sekedar untuk berkompetisi? Yang sebenarnya yang jadi niatnya adalah untuk menemui pria itu?" gumam Dinda.
"Kenapa kamu baru datang? Aku mencarimu dari pagi." tanya Bella.
"Maafkan aku. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku dulu baru bisa datang kemari."
Bella masih terus menangis, ia tidak tau harus berkata apa lagi untuk meluapkan emosinya.
"Mbak? Apa maksudnya ini?" Dinda datang menyela.
"Dinda, mbak bisa jelaskan."
"Dia siapa? Kenapa mbak Bella memeluknya?"
"Dia Ega." Bella memperkenalkan pria di sampingnya.
"Dia kekasih gelap mbak Bella?"
"Dinda, maafkan aku. Karena sudah melibatkan mu untuk hal yang tidak etis ini."
"Mbak berhutang penjelasan padaku."
Bella mengusap air matanya "Baik, apapun Dinda. Mbak Bella akan menceritakan semuanya. Tapi bisakah kamu membiarkan beragamanya sebentar?"
Dinda menghela nafas "Baiklah, aku akan menunggu mbak Bella di dalam mobil."
"Thanks ya Dinda."
"It's okay."
Dinda menatap pria bernama Ega itu sebentar, mencoba menghafal setiap bentuk tubuhnya kemudian pergi dari hadapan mereka.