webnovel

Bab. 32. Keputusan.

Arini mengirimiku Foto kemesraan dirinya dengan Ridho ke Ponsel. Mendadak sakit hati menjalar di hati. Keinginan berpisah menguat dari hatiku. Ayah juga mendukung aku berpisah dengan Ridho.

Lebih baik mundur, dari pernikahan yang tak sehat ini.

Drrtt..

Nama Ayah mertua terpampang di layar ponsel. Mengeser tombol hijau.

"Haloo, Assalamualaikum Ayah," sapaku ramah.

"Walaikum salam nak," Jawab Ayah mertuaku.

"Kamu udah pulang kerja, Rania?" tanya Ayah mertuaku.

"Udah Ayah, baru saja sampai. ini mau mandi,"

"Ooh, ya udah mandi dulu. Terus ke rumah Ayah ya, di sini juga ada Ayahmu. Kami sedang bicarakan masalahmu."

"Baik, Ayah. Setelah mandi aku ke rumah Ayah."

"Iya nak. Ayah tunggu."

Aku benggong sejenak, ada apa mereka berkumpul? Apa Ada hubungannya denganku?

Aku gegas ke kamar mandi, menguyur tubuhku di bawah shower. Ritual mandi lakukan secepat kilat. Menganti baju. memakai pakaian santai saja. Kaos lengan panjang dan kulot. Tak lupa hijab warna senada menutupi kepalaku. Sudah hampir sebulan aku berhijab. Walau belum secara syari,i. Tapi hindari memakai pakaian ketat.

Bercermin sebentar memastikan penampilanku. Merasa rapi, gegas mengambil kunci motor. Melajukan ke rumah Ayah mertuaku. Rumah Ayah mertuaku cukup jauh. memakan waktu 45 menit. Akhirnya sampai juga di rumah mertuaku. Mobil Avanza silver terparkir di halaman, itu mobil Ayah.

Juga sandal milik Ayah, tergeletak pasrah di depan pintu. Tegang menyelimuti seluruh tubuhku. Penasaran mengelitik hati. Hembuskan napas agar rilex.

"Assalamualaikum," sapaku sambil mengetok pintu.

"Walaikum salam," jawab mereka kompak. Aku masuk dan menyalami tangan mereka berdua.

"Duduklah Rania, ada masalah yang harus di bicarakan," ujar Ayah mertuaku menatapku lurus. Seperti ada masalah besar yang ingin ia di bicarakan.

"Kami sudah tau kalau Ridho menikah lagi, apa kamu ingin melanjutkan pernikahan ini atau pilih bercerai? Keputusan semua ada di tanganmu. Ayah harap kamu mempertimbangkan baik- baik. Seandainya kamu memilih pisah dari Ridho. Ayah masih menganggap kamu anakku," ucap Ayah mertua panjang lebar.

Deg!"

Ayah tau dari mana?

Hatiku gerimis. Ingin sekali menumpahkan air mata. Terharu. Mereka sangat menyayangiku. Bahkan tak membela anaknya yang salah.

Mereka berdua melihat ke arahku bersamaan. Ingin tau keputusanku. Jujur dalam hati, aku sangat menyayangi kedua orang tua Ridho. Menganggap mereka sudah seperti orang tua sendiri. Sejak awal Ridho tak pernah mencintaiku. Ia bahkan terang- terangan masih mencintai kekasihnya. Membuatku merasa di sisihkan. Aku berusaha sabar selama setahun ini. Menutupi aib Ridho menikahi kekasihnya. Walau saat ini sikapnya membaik, tapi yang mengesalkan adalah sikap Arini. Puncaknya kejadian kemarin yang viral di jagad media sosial. Rasanya ingin mengalah dari pernikahan ini.

Aku bertekad mengakhiri pernikahan ini.

"Aku memilih bercerai Ayah, maaf," ucapku menunduk. Ada raut kesedihan di raut wajah Ayah mertuaku tapi bisa menerima, sedang Ayahku bernapas lega.

Aku menunduk. Tak tega melihat raut wajah Ayah mertuaku. Aku tau ia sedih.

"Nggak usah minta maaf Rania, kamu berhak bahagia," ucap Ayah mertua mengelus pundakku.

"Tapi Ridho tak mau menceraikanmu,

Nanti Ayah yang akan mengajukannya di pengadilan agama. Kamu siapkan berkas- berkasnya ya, buku nikah juga."

"Iya Ayah."

Serasa beban di pundakku luntur. Aku akan bebas. Teriak dalam hati. Aku ingin membuka hati dan bahagia. Ingin ada seseorang yang menerimaku apa adanya. Semoga di pertemukan ya Allah. batinku.

"Ayah dukung keputusanmu Rania," ucap Ayahku. Kini tak ada yang aku khawatirkan. Kedua laki- laki hebat ini sudah mendukung berpisah dengan Ridho. Dulu saat ingin bercerai, ku tahan demi kesehatan Ayah mertuaku yang menderita penyakit jantung. Tapi sekarang Ayah mertuaku sudah tau anaknya menikah lagi. Tapi darimana dia tau? Entahlah.

"Ayah, aku pulang dulu, ini sudah sore," pamitku. Mencium kedua tangan mereka takzim. Tapi Ayah belum ingin pulang, ia masih ngobrol. Ada beberapa yang masih ingin di bahas. Aku juga ingin membeli lauk untuk makan malam, Sepulang kerja langsung kesini perutku keroncongan, di rumah mbok Yem tak boleh memasak, aku ingin makan sate Ayam.

Di warung sate, seseorang yang tak ingin aku temui berada di sini. Tak sengaja bertemu Ridho dan Arini. Arini mengaitkan jemarinya di tangan Ridho. Saat Ridho melihatku, ia melepaskan tangan Arini. Beranjak dan menyapaku.

"Kamu mau beli sate juga Rania?" tanya Ridho menatapku lurus.

"Iya," jawabku singkat.

"Ngapain sih mas perhatian sama dia?" Arini tak suka kalau Ridho beri sedikit perhatian padaku.

"Arini, tolong jangan pancing keributan di sini, ingat kata dokter kamu nggak boleh stres, kasihan anak kita." Ridho mengingatkan Arini. Aku pura- pura tak dengar. Malu kalau harus ribut di sini. Pertengkaran kemaren masuk viral membuatku trauma, jaman sekarang setiap ada pertengkaran masuk jagad sosmed dan viral. Untungnya kepala Bank tempatku bekerja hanya beri peringatan. Kejadian ini tak boleh terjadi lagi. Aku sangat malu dengan kejadian itu.

Arini langsung terdiam, tapi ia menatapku tajam. Tak ku pedulikan tatapan dia. Lebih baik pesan sate Ayam dua porsi. Saat mereka selesai dapat satenya. Ridho beranjak dan membayarkan juga untukku.

"Mas, sama pesenan mbak ini dua porsi ya." Ridho menunjukku.

"Nggak usah mas, aku bayar sendiri aja," tolakku halus.

"Sekalian Rania, jangan menolak," Ridho tersenyum manis padaku. Tapi serasa hambar melihat senyuman itu. Apalagi ada Arini di sisinya.

"Ya makasih," ucapku singkat.

"Eeh, kalau di kasih wajahnya itu yang manis jangan jutek gitu! Cantik- cantik ko jutek!"

Arini menatapku tajam. Kalau nggak banyak orang aku labrak dia. Mulutnya seperti nggak pernah sekolahin aja dia. Padahal lulusan Sarjana

Tapi minim akhlak.

"Arini udah, Masuk mobil sekarang!" suruh Ridho tegas. Aku mengulum senyum mendengar perintah Ridho.

Melihat aku tersenyum Arini mendelik sewot.

"Apa, Puas kamu!" bentak Arini. Aku mengalihkan pandangan rasanya pingin tertawa terbahak- bahak. Tapi ku tahan.

Arini masuk mobil di ikuti Ridho. Semenit kemudian mobil itu hilang dari pandangan.

"Itu tadi siapa mbak," tanya Ibu paruh baya yang duduk di sebelahku. ia empati padaku.

"Eng itu temen SMA saya dulu, Bu." ucapku berbohong. Tak mungkin aku mengatakan kalau Arini itu istri kedua suamiku. Bisa malu aku di ketawain orang yang ada di sini.

" Ooh, ko sombong sekali sih mbak. Yang sabar ya mbak,"

"Iya Bu, aku sabar banget," ucapku sambil mengelus dada.

"Nanti orang seperti itu pasti kena karmanya sendiri Liat aja! " Ibu itu terus mengoceh menghujat sikap Arini tadi.

Merasa terharu Ibu paruh baya berempati padaku. Sedikit melonggarkan emosiku. Akhirnya pesanan sateku udah matang. Aku pamit pada Ibu yang ada di sebelah. Ia tersenyum lebar padaku. Tak lupa beri nasehat. Ku Terima selama nasehat itu baik untukku.

Sampai di rumah, aku makan bareng sama Mbok Yem. Setelah nggak ada Arini di rumah ini. mbok Yem sangat senang, wajahnya ceria. Kami berdua makan sate Ayam dengan penuh kenikmatan.

Bersambung.