webnovel

Makan Malam

"Aghh, sakit!" teraikku ketika Bella menempelkan perban pada lukaku.

"Diam, bagaimana kalau ada diantara mereka yang tahu kehadiran kita."

Sembari aku diobati, kulihat pertarungan Lina cukup mengejutkan bagiku, kelincahan mereka berdua saat bertarung sungguh hebat, berbeda ketika orang itu melawanku tadi sebelumnya. Lina menggunakan benang dan rantai untuk membatasi orang itu, lalu melakukan tembakan beberapa kali. Beberapa saat Bella sudah selesai mengobatiku.

"Kita harus membantunya," ucapku pada Bella.

"Lebih baik kabur saja, beberapa bom sudah ditempatkan di kastil ini. Mereka sudah tamat."

Beberapa saat timbul suara dentuman yang amat besar suara itu tak lain dari Lina yang menembak peluru yang berbeda menimbulkan ledakan pada lawanku sebelumnya, ia berhasil mengalahkannya. Tak kusangka akan secepat itu.

"Ayo pergi!" Teriak Lina disusul ledakan-ledakan yang menghancurkan kastil ini.

**

Tak seperti yang kuduga sebelumnya, ternyata pertempurannya terjadi cukup cepat. Kelompok kami yang terdiri dari 30 orang sekarang hanya sisa 10 orang, tapi kabar baiknya kami berhasil melewati pertempuran itu, secara otomatis kami mendapatkan akumulasi poin untuk naik ke wilayah kasta yang lebih baik. Untunglah aku tidak membunuh seorangpun dalam pertempuran ini. Dalam membunuh, aku tak memiliki pengalaman membunuh manusia, jadi aku tak yakin apakah aku sanggup meski sudah dilatih oleh Tirta sebelumnya. Aku sanggup untuk melukai mereka, tapi bukan berarti membunuhnya juga, tapi jika itu terpaksa mungkin aku bisa melakukannya.

Beberapa hari kemudian kami dipindahtempatkan ke tingkat kota yang lebih dalam, jadi kami meninggalkan penginapan kami sebelumnya, suasana di kota ini berbeda dengan kota sebelumnya dimana kami harus bersiaga setiap waktu. Ada banyak sekali perbedaan dimana tempat ini lebih tertata dan terbilang cukup aman. Hanya saja di beberapa tempat orang-orang terlihat sangat bekerja keras, seperti halnya duniaku dulu dimana orang-orang bekerja kantoran yang hampir 12 jam mengerjakan cukup banyak hal.

Sekarang kami ditempatkan dalam bangunan dimana lawan sebelumnya kalah, gampangnya ini bisa lebih disebut sebagai bertukar nasib. Hanya saja beberapa dari kami butuh pembiasaan ekstra setelah kami naik tingkatan.

Kehidupan di tempat ini makanannya cukup terjamin, jadi aku tidak akan lagi melihat kanibalisme atau kericuhan di beberapa tempat hanya karena berebut makanan. Soal chip yang berada dalam tubuh, Morio sudah melakukan manipulasi data terkait hal itu, jadi tanpa chip pun aku masih tetap bisa melakukan aktivitas harian dan menerima layanan di negara ini walaupun aku tak memiliki chip. Tapi entah kenapa, rasanya terlalu berjalan mulus.

**

"Lina, apa aku bisa ketingkat selanjutnya dengan cepat?"

"Bukankah kita baru saja naik tingkat."

Hari ini aku makan malam dengan Lina di sebuah restoran, sebenarnya aku tak mau melakukan ini, tapi rasa-rasanya hanya dia yang dapat kukorek informasinya saat ini. Karena dia yang mengetahui jati diriku kalau aku bukanlah Vall. Kalau aku bertanya yang lain bisa mencurigakan karena beberapa kali aku pernah ditanya soal sesuatu yang tak kumengerti, dan ketika aku bertanya sesuatu Vall malah sebenarnya mengetahuinya, jadi ketika mereka menanyaiku lagi aku hanya bisa beralasan lupa. Mengaku menjadi orang lain itu memang merepotkan.

"Ya, aku ingin segera naik ke atas."

"Padahal asal-usulmu pun tidak jelas darimana, kalau begitu sekarang aku tanya terlebih dahulu, apa tujuanmu di tempat ini. Jujur saja aku tidak menemukan suatu implan mekanik dalam tubuhmu. Siapa juga kau sebenarnya?"

Aku memang tak bisa menutupinya, terlebih lagi Lina memiliki mata untuk mendeteksi material yang ada dalam tubuh. Ia memodifikasi matanya untuk dapat menilai sesuatu agar memudahkannya dalam bertarung. Hal ini baru kuketahui selama beberapa hari ini.

"Sebenarnya …"

Aku bercerita soal diriku yang dari dunia lain dan mencari simbol yang terlihat pada benteng menara negara ini. Aku sudah menceritakannya panjang lebar, namun kemudian ia tertawa terbahak-bahak, jelas karena pengakuanku itu ia mungkin tak percaya begitu saja.

"Aku percaya."

"Ha?"

"Kenapa? Apa aku harus bilang bahwa kamu adalah mata-mata pemerintah yang diutus untuk membuatku gila sehingga aku kemudian mengamuk dan mereka bisa dengan mudah mengeksekusiku?"

"Tidak juga, kenapa kau mempercayai cerita gilaku?"

Sekarang kurasa malah aku yang terkejut gara-gara ia percaya begitu saja, rasanya pikiranku menjadi penuh dengan kecurigaan gara-gara ini. Tapi gaya bicaranya tetap masih santai saja, seolah mungkin kalau besok kiamat ia akan tetap santai.

"Bukan begitu juga, aku hanya kesal dengan dunia ini. Dalam beberapa waktu, terkadang aku berharap dunia ini hancur saja, atau seluruh kehidupan ini lenyap."

"Kenapa begitu?"

Nampaknya ia punya sisi yang sangat gelap, mungkin karena kerasnya dunia ini membuatnya tak lagi memiliki harapan lebih dan hanya sisa-sisa keputusasaan yang menyertainya. Memang terkadang orang-orang yang terlihat normal dan baik-baik saja bisa jadi yang mengalami masalah mental atau sosial paling berat daripada yang mengeluh setiap saat, itu yang kulihat dari diri Lina saat ini.

"Dulu, aku ikut serta dalam penciptaan sistem di negara ini."

Sebuah hal yang tidak pernah kuduga sebelumnya, yang menjadikanku memiliki banyak pertanyaan padanya sekarang. Entah apa yang membuatnya sampai turun hingga kasta terendah.

"Kenapa kau memberitahuku soal ini?"

"Seseorang pernah bilang padaku, sesuatu yang ganjil yang tak pernah kau temui sebelumnya, bisa jadi itu memberi jalan tersendiri ketika terjadi kebuntuan."

*****