webnovel

Dia Mengetahuinya

Sore hari aku kembali bersama Tirta setelah cukup lama tidak berbincang di tempat ini, di sebuah taman menghadap matahari terbenam. Dengan kekuatannya ia berhasil memperbaiki kerusakan yang terjadi di sekitar. Penyerangan telah usai, namun itu hanya sementara.

"Ngomong-ngomong kenapa kau menyuruh mereka untuk bekerja sama denganmu?" tanyaku pada Tirta, tentunya ia memiliki tujuan tertentu. Aku lihat rambutnya yang pernah kupotong sekarang sudah tak terlihat, entah berapa tahun dunia yang ia singgahi sebelumnya. Sehingga membuat rambutnya menjuntai sampai di bawah pinggulnya.

"Lebih banyak pasukan lebih baik bukan?"

"Belum tentu juga."

"Apa kau meragukan kepemimpinanku?"

"Tidak juga."

"Lagipula kehidupan mereka mungkin takkan sama seperti sebelumnya."

"Bagaimana kau tahu Tirta?"

Masih banyak hal yang belum kuketahui tentangnya, seperti sampai mana batas pengetahuannya itu. Aku dengar ketika Tirta menyuruh mereka untuk mengikutinya, mereka dijanjikan akan diberikan hadiah untuk berkunjung kembali ke dunianya agar mereka tahu keadaan dunia mereka sebenarnya.

"Naluri seorang pimpinan," jawabnya sembari tersenyum ke arahku. Dia cukup percaya diri sekali. Terkadang hal tersebut membuatku sedikit gerogi ketika mencoba untuk mendekatinya. "Lagipula, seseorang yang berpengalaman terkadang mampu membaca banyak hal, pikiran, termasuk alur hidup orang lain," lanjutnya.

"Jangan-jangan pil waktu itu kau berikan untuk mengetahui isi pikiranku juga?"

"Tentu."

"Eh, jadi soal mimpi aku menyatakan jatuh cinta padamu, itu juga dirimu sendiri?!"

"Eh?"

"Eh?"

Aku keceplosan, jadi perkataan awal Tirta itu sebagai pancingan. Padahal aku tak ingin membahasnya, rasanya memalukan, padahal belum tentu dia tahu soal sesuatu yang aku bahas di dalam mimpi.

"Hemm ... Begitu ya?"

"Apa maksudmu, itu hanya mimpi."

Tenang-tenang, aku mencoba menenangkan diriku, karena biasanya semakin manusia menyangkal, maka kejujurannya akan semakin terlihat.

"Tapi mukamu yang malu-malu itu tak memperlihatkan bahwa hal itu sekadar mimpi."

Benar sekali sepertinya, sebenarnya aku tak ingin perasaan ini mencuat begitu saja tanpa persiapan yang pas, aku butuh rencana. Ya, rencana untuk mengelak dari semua ini. Agar aku dapat mengungkapkannya disaat yang tepat.

"Emm, begini, kadang dalam mimpi orang suka tidak sadar kan?!"

"Hooo, jadi kau suka padaku?"

"Hei dengarkan aku, kau tidak paham maksudku kan?!"

Aku mencoba untuk tidak panik, tapi pikiranku serasa semakin blank semakin ku coba mengelaknya, semakin besar perasaan yang meluap, ibarat bendungan yang sudah tak mampu menahan air.

"Tentu saja aku paham," dia malah tertawa dan tersenyum.

"Kalau begitu aku akan-"

Terdengar pengecut, jadi aku mencoba pergi ke tempat lain untuk melakukan pekerjaan lain namun Tirta langsung sigap memegang tanganku.

"Tunggu, kita belum selesai bicara kan?"

"Baiklah-baiklah, aku memang suka padamu. Kau puas!"

"Nah begitu dong, kau bisa jujur juga."

Ia memaksaku mengaku dan kembali duduk, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang, aku seperti anak kecil yang dipermainkan oleh orang dewasa. Tapi kalau melihat dari umurku dan umurnya itu memang benar, aku terlalu muda untuk mencintai seorang gadis yang umurnya bahkan lebih tua dari kakekku. Aku memang memiliki kecenderungan terkadang tidak cukup percaya diri dengan orang yang lebih berpengalaman dari pada diriku.

"Memangnya tadi malam kau mimpi seperti apa?"

**

Setelahnya aku menceritakan beberapa hal dan situasi yang terjadi waktu itu. Aku akan jujur saja, agar membuat perasaanku sedikit lebih tenang walaupun sebenarnya sebenarnya pikiranku masih serasa diacak-acak oleh perasaan ini.

"Begitu ya, kupikir mimpimu akan sedikit lebih liar."

"Aku tak ingin tuan putri sepertimu mengatakan hal-hal semacam itu."

"Memangnya setelah kau menikahi tuan putri apa yang ingin kau lakukan, memajangnya di museum?"

"Tidak seperti itu juga."

Baiklah, setidaknya ia belum melakukan penolakan, sepertinya ini masih menjadi medan perang bagiku. Agar tak terlalu memalukan, aku perlu memilih jawaban kata yang bagus.

"Jadi apa yang kamu suka dariku?"

Lagi-lagi dia melontarkan pertanyaan yang sulit, dilihat dari tipe gadis seperti dia. Sepertinya Tirta memiliki pemikiran yang cukup realistis jadi aku harus menjelaskan secara detail bagian yang kusuka.

"Ya ... seperti kecantikanmu, pemikiran yang luas."

"Hmmm ..."

"Hei jangan tersenyum seperti itu, itu membuatku gugup."

"Baiklah lanjutkan-lanjutkan."

"Ya, begitulah, kau baik hati, apalagi kau seorang bangsawan yang berpengalaman dan sangat hebat, Yaampun, aku seperti orang bodoh!"

Sepertinya harga diriku akan jatuh setelah ini, aku sudah siap menerima penolakan apapun. Lagipula aku memang tak pandai dalam menjalin hubungan asmara.

"Tenanglah Mikka, tidak ada yang memarahimu kok."

"Jadi bagaimana menurutmu?"

"Bagaimana menurutku? menurutku itu sudah bagus kok."

"Jadi?"

"Bukan berarti aku menerimamu."

"Sudah pasti begitu ya."

Sudah pasti ini mustahil, perbedaanku dengannya sudah seperti langit dan bumi. Aku hanya secara tak sengaja bertemu dengannya, itu saja.

"Bukan berarti aku juga menolakmu."

"Eh?"

"Tentunya meski ini sulit, aku tetap menghargai perjuanganmu. Jadi jika kau ingin aku menyukaimu, pastikan kau bisa menjadi pasangan yang ideal untukku."

Maksudnya jika perasaanku benar-benar nyata, ia menyuruhku untuk sedikit memperjuangkannya. Hal itu memang lebih realistis.

"Umumnya jika ayahku masih ada, mungkin kau akan di eksekusi."

"Kenapa begitu ..."

"Itu hanya perumpamaan, sejak awal seharusnya kau tak perlu menyembunyikan perasaanmu itu. Banyak orang diluar sana lebih banyak menyesal karena hal itu. Setidaknya kau masuk dalam perhitungan orang yang kamu sukai bukan?"

Apa yang dikatakan Tirta tidak ada salahnya, dulunya aku juga pernah menyembunyikan perasaanku pada seseorang padahal aku menyukainya. Ujungnya seseorang yang berani lebih dulu menikahinya.

"Berjuanglah untuk menggapai impianmu itu."

Baru kali ini aku merasa tersemangati, entah kenapa Tirta jadi terlihat bertambah cantiknya. Ia masih memberiku kesempatan.

"Memang sulit untuk tak tergoda oleh seorang putri bangsawan yang hebat ya. Ini bukan pertama kalinya bagiku."

"Jadi ada banyak yang menyukaimu?"

"Tentu saja."

"Lalu bagaimana dengan nasib mereka."

"Kurang lebih aku menjawabnya sepertimu. Tapi perjuangan mereka kebanyakan berakhir kandas."

Ungkapannya membuatku sedikit berputus asa, sudah kuduga ini tidak akan semudah seperti tuan putri yang dijemput oleh seorang pangeran yang tiba-tiba secara tak sengaja bertemu.

"Tapi, bukan berarti aku memanfaatkan mereka, atau memanfaatkan perasaanmu ya, tentu saja kau akan mendapatkan hasil dari perjuanganmu itu. Seperti, kepuasan batin ketika mengejar sesuatu."

"Entah kenapa perkataanmu membuatku putus asa."

"Haha, santai saja."

*****