webnovel

Belajar di Perpustakaan Dunia Lain

Tempat ini seperti surga dengan segalanya yang tersedia, namun di luar istana adalah neraka yang menunggu. Sejak aku hampir mati ketika keluar mengambil barang waktu itu, aku belum berani menginjakkan kakiku lagi keluar dari istana ini.

Pagi sudah menampakkan sinarnya, seperti biasa aku melakukan peregangan setelah bangun lalu beranjak mandi dan berganti pakaian, Tirta memberikan banyak sesuatu padaku, termasuk pakaian. Tak kusangka ia juga memiliki pakaian seperti di duniaku, sejak saat aku menyelamatkannya. Ia memberikanku cukup banyak pelayanan seperti halnya hotel bintang lima.

Entah, meski aku sudah disini berminggu-minggu namun aku masih heran tempat ini seperti layaknya mimpi. Sesaat setelah selesai membersihkan diri, aku langsung ke ruangan dapur. Mengambil beberapa makanan yang sudah ia siapkan, ia bangun lebih awal dariku. Aku belum pernah menerima kebaikan sampai seperti ini, kecuali saat orangtuaku mengasuhku.

Kegiatanku setelahnya adalah olahraga, di waktu seperti ini terkadang aku juga bertemu Tirta yang sedang berjalan-jalan memastikan tempat ini aman. Setelah olahraga aku mulai membersihkan bangunan dari debu menghabiskan waktu selama beberapa jam. Setelah itu aku kembali istirahat di siang hari. Merebahkan kembali tubuh di kasur, beberapa tempat yang belum kukunjungi adalah perpustakaan istana. Sore nanti aku mungkin akan kesana. Untuk pengajaran yang akan dilakukan Tirta padaku, adalah waktu malam. Jadinya aku memiliki banyak hal yang bisa kulakukan saat ini.

***

Ruangan yang nampak luas berbentuk seperti kubah yang melingkar, berjejer berbagai buku yang pasti dengan disiplin ilmu yang cukup beragam, ku amati sekelilingnya. Dan mengambil salah satu buku, tidak dapat dibaca, aku tak mengerti tulisannya, aku terus mengamati buku lainnya. Beragam, namun bahasanya juga, sejauh mata memandang belum ada satupun tulisan dan bahasa yang ku mengerti. Padahal niatku di perpustakaan ini mencari beberapa informasi soal dunia ini. Tapi tak ada satupun yang ku mengerti, beberapa minggu ini aku hanya merencanakan sesuatu dan fokus melatih tubuhku saja, karena Tirta juga sedang berlatih di ruang bawah tanah yang lain untuk mengasah kekuatan yang baru saja ia peroleh waktu di dunia itu. Jadinya kami hanya lebih sering bertemu malam hari saja.

Aku tak ingin mengganggunya terlalu sering, jadi aku perlu mengorek informasinya sendiri disini. Nampaknya beradaptasi di lingkungan yang berbeda memang sangat sulit, meski orang yang hanya kau ajak bicara seorang saja.

"Tirta? Sedang apa kau disini?" tiba-tiba aku mendapatinya ternyata ia sedang duduk membaca buku di sudut ruang.

"Oh, Mikka. Sedang membaca buku."

"Bukannya kau sedang latihan?" tanyaku heran.

Tanpa menoleh ia berkata bahwa latihannya sudah selesai, ia masih fokus memperhatikan tulisan buku yang cukup tebal sesekali menyingkap rambutnya. Ia mempersilahkan aku duduk di hadapannya.

"Sedang membaca apa?"

"Kau tertarik?"

"Ya, tapi aku tidak bisa membaca."

"Aku akan mengajarimu jika kau mau?"

Aku hanya mengangguk. Ia kemudian menyuruhku menunggu sebentar, sesaat kemudian ia kembali dengan beberapa tumpukkan buku, dan menaruhnya di meja.

"Hei hei ... Apa sebanyak itu yang harus kupelajari?"

"Aku yakin kau pasti tertarik, lagipula aku sekarang tidak sibuk, jadi aku bisa berlama-lama denganmu."

Ia kembali duduk di hadapanku dengan wajah sumringahnya, sifatnya sekarang yang cukup antusias itu bagiku terlalu silau.

"Ngomong-ngomong, kulihat seluruh tulisannya banyak yang berbeda, apa kau mempelajari semuanya?"

Dari yang telah aku amati belum ada satupun bahasa dan tulisan yang aku kenal. Kalau dari ukurannya besar perpustakaan ini 10 kali lebih besar dari perpustakaan nasional di duniaku, meski perpustakaan nasional di kotaku cukup besar. Jika aku membaca seluruh buku di tempat ini, mungkin butuh beberapa puluh tahun untuk menyelesaikannya.

"Bukannya aku sudah bilang kemarin soal bagaimana aku mendapatkan pengetahuan dari dunia lain?"

"Ah, iya. Aku hampir lupa soal itu."

Dari simbol di dunia reruntuhan yang ia cari sebelumnya, bisa dikatakan itu mirip seperti menginstall aplikasi. Dengan kekuatan seperti itu, Tirta dapat mengakses kekuatan peradaban dari dunia tersebut dari masa lalu hingga masa depan. Tapi, aku belum tahu sejauh mana batasnya. Ia mengambil salah satu buku di tumpukkan paling atas.

"Jangan khawatir, aku akan mengajarimu pelan-pelan."

"Bagaimana dengan kekuatan astral yang ingin kau ajarkan padaku kemarin?"

"Tentu saja aku akan mengajarkannya, begini-begini aku pernah menjadi guru yang hebat. Setiap materi yang kuajarkan padamu, pasti akan berguna suatu hari nanti," ucapnya dengan penuh kebanggaan sembari mengangkat tangan ke dadanya.

"Aku terkejut seorang putri sepertimu pernah menjadi guru."

"Ya, sebelum tempat ini benar-benar sepi, aku pernah mengajari sesuatu kepada masyarakat sekitar, mau dengar ceritaku?"

"Boleh saja."

Pada akhirnya ia kemudian bercerita soal bagaimana kehidupannya sebelum terjadi bencana yang membuatnya melawan para iblis, cerita berfokus ketika ia mengajari anak-anak yang masuk istana untuk ia ajari membaca dan menulis. Sesekali ia menceritakan murid yang menonjol, seperti yang jenius atau terlalu bodoh untuk diajari. Ia pun ketika di tengah-tengah bercerita kadang mempraktekkan bagaimana ia mengajari anak-anak itu. Ya, secara tidak langsung Tirta juga mengajariku menulis dan membaca di sela-sela bercerita. Sepertinya ia bercerita sebagai bentuk metode pembelajaran juga untukku.

Meskipun sebenarnya aku juga dapat belajar secara langsung tanpa harus diajari dengan menggunakan metode cerita tapi hal seperti ini bagus juga, dimana terjadi komunikasi dua arah yang setidaknya aku bisa sedikit mengerti sifat dan keseharian hidupnya.

"Mereka pasti bahagia punya guru sepertimu."

"Aku harap juga begitu, karena mereka tak berumur sepanjang diriku."

Aku mengerti maksudnya, penyerangan waktu itu membantai banyak rasnya. Hingga hanya menyisakan dirinya, itu pastilah menyakitkan, terlebih lagi para iblis juga melakukan penyiksaan, perbudakan, dan pembunuhan secara brutal.

"Satu hal yang kuingat, ada salah satu muridku yang bertahan selama beberapa puluh tahun bersamaku, dia terpilih sebagai seorang pahlawan."

"Si murid jenius?"

"Bukan, tapi dia adalah murid yang paling menyendiri dan terkadang diejek oleh teman-temannya."

Tirta berkata dia adalah murid yang paling jenius yang sebenarnya lebih suka menyembunyikan kemampuannya karena tidak percaya diri. Sempat menjadi pelindung bagi kerajaan disaat gempuran iblis semakin gencar namun pada akhirnya ia gugur karena tak mampu melawan para iblis yang semakin kuat.

"Kau tahu, aku sampai menangis berhari-hari karena itu."

"Aku bisa membayangkannya."

Melihat ekspresinya sekarang itu seperti bukan kenyataan, tapi lamban laun memang perasaan sedih akan memudar. Kurasa Tirta adalah seseorang yang cukup tegar dalam menjalani kehidupannya.

"Bagaimana dengan kehidupan di duniamu?"

"Tunggu, jadi aku juga harus bercerita?"

"Kalau itu terserah dirimu."

"Baiklah, aku akan bercerita."

Meskipun ini adalah cerita yang membosankan. Aku bercerita padanya bahwa aku merupakan seorang pegawai kantoran yang baru saja di pecat dari perusahaan. Itu disebabkan karena kesalahanku sendiri yang tidak peka dengan keadaan sekitar, ada orang kurang menyukaiku, sehingga saat ada sedikit kesalahan mereka kemudian mengusirku.

"Kenapa kau tidak bilang tidak ketika tidak bisa?"

"Tentu saja karena setiap pekerjaan seseorang dituntut harus profesional."

Ia menyebut tentang aku menerima permintaan dari senior, meski aku menerimanya, namun aku gagal menjalankan soal yang dimintai bantuan itu.

"Ya, aku mengerti, tapi ketika kamu telah gagal, itu sama saja tidak profesional."

"Jika aku menolaknya, itu juga sama saja nasibnya bukan?"

Memang ketika mengingatnya kembali, aku seperti dihadapkan oleh dua hal, dimana ketika maju aku seperti di ceburkan ke lautan, namun ketika mundur aku akan terkena ranjau.

"Berarti tempat tersebut tidak cocok untukmu."

"Kau benar, tapi mencari pekerjaan juga tidak semudah itu."

Namun, pada akhirnya aku kena pecat juga oleh perusahaan.

"Jadi itu alasanmu enggan ke duniamu lagi?"

"Bukan begitu, aku hanya merasa mengalami kejenuhan."

"Oh, apakah kalau sudah bosan, kau juga akan pergi darisini?"

"Bukan begitu, aku ..."

Sejujurnya aku memiliki ketertarikan dengannya dan dengan dunianya. Ini bagai kesempatan sekali seumur hidup, aku tak ingin melewatkannya begitu saja. Seolah aku menemukan apa yang kucari selama ini.

"Aku mengerti, kau tak perlu memberikan alasan terlalu jauh. Aku akan menerimamu, selama kamu memiliki sebuah tekad disini."

Tirta tersenyum ke arahku. Senyuman yang begitu tulus, yang tak dapat kutemukan di siapapun yang pernah kutemui sebelumnya.

"Kenapa?"

"Em, bukan apa-apa."