Mata yang begitu tajam dan bersinar di kegelapan. Seperti bernafsu sekali ingin memangsa Wisaka. Perlahan-lahan kuku-kukunya memanjang dan meruncing. Ia menggeliat seperti cacing kepanasan.
"Gerrrh."
Onet yang sedang merem-merem ayam, mendengar bunyi geraman halus dari balik bilik gubuk, ia terbangun. Matanya menatap tajam ke arah ruang dalam yang terhalang bilik. Mencoba mengintip tapi tak membuat gerakan.
Tiba-tiba Onet meloncat ke arah Wisaka sambil berisik. Tentu saja Wisaka kaget dan terbangun. Ia menyeringai ke arah Wisaka sambil dagunya mengarah ke dalam gubuk. Pemuda itu mengikuti dengan pandangan. Suasana hening, hanya suara binatang malam yang terdengar.
"Tidak ada apa-apa, Onet, ayo tidur lagi," kata Wisaka.
Onet memandang bilik di depannya, seolah-olah ada sesuatu yang mengintai di sana. Wisaka yang masih mengantuk mengusap kepala Onet menenangkan. Onet meloncat ke tiang gubuk.
Wisaka kembali tertidur dengan pulas. Pemuda itu mendengkur karena kelelahan. Dari balik bilik, cahaya dari mata yang bersinar berpendar, mengawasi Wisaka menunggu waktu beraksi. Ada yang harus dilakukan untuk mencapai keinginannya.
Perlahan-lahan pintu terbuka, manusia yang sebagian tubuhnya telah berubah binatang melompat ke arah Wisaka. Wisaka yang sesungguh pura-pura tertidur, berguling ke samping, dia berhasil menghindari serangan.
Wisaka cepat berdiri, lalu melompat ke tanah, memperkokoh kuda-kuda. Onet kembali terbangun, dia mengkeret di tiang, tanpa berani mengeluarkan suara. Mahluk itu mengaum halus, memandang tajam Wisaka. Wisaka berusaha mengenali mahkluk itu.
"Sari, kaukah itu?" tanya Wisaka memastikan.
"Iya, Kakang, aku Sari. Aku harus menyedot darahmu sedikit, agar engkau menjadi bangsa kami juga. Kamu bisa menikahiku," jawab Sari dengan suara sengau dan sedikit menggeram.
"Jadi kau siluman harimau, Sari, bukan manusia?" Wisaka masih bertanya.
"Iya, Kakang, aku ingin menikah denganmu," jawab Sari.
"Tidak! Manusia tidak menikah dengan siluman, kau carilah pasangan di antara bangsamu sendiri, jangan ganggu manusia!" jawab Wisaka tegas.
Sari sepertinya marah mendengar jawaban Wisaka, diaa bersiap menyerang. Wisaka bersikap waspada. Sari melompat ke arahnya dan mengarahkan cakarannya ke leher Wisaka.
"Grrrhhh ... grrrhhh."
Sari kalap kemudian menggeram. Wisaka yang sudah bersiap menerima serangan, menghindar dengan cepat, Sari hanya mendapatkan tempat kosong. Sari mengaum keras. Tampaklah sosok aslinya, seekor harimau betina yang masih muda.
Harimau itu memandang tajam ke arah Wisaka, sepertinya ia masih mengincar nadi di leher pemuda itu. Wisaka maklum akan hal itu. Makanya pemuda itu berusaha melindungi lehernya agar tidak robek.
Harimau betina itu melompat sekali lagi, dengan kuku-kuku runcing yang siap menancap. Wisaka menghindar ke samping, tapi tak urung cakaran harimau itu mengenai lehernya sedikit, tapi tidak sampai mengucurkan darah.
Harimau itu semakin marah, ia berjalan mengelilingi Wisaka, seperti mengukur kemampuan dan mencari kelemahannya. Wisaka yang terkena cakaran semakin waspada. Dia merasakan sedikit perih di lehernya, lalu mengusapnya dengan sedikit air liur.
Wisaka mengambil tasbih pemberian Pak Amir, digenggamnya erat sambil membaca doa-doa.
"Laa haula Walla quwwata illa billah."
Harimau itu semakin garang, dengan kaki depan yang penuh kekuatan, ia menubruk Wisaka. Wisaka terjatuh di tanah. Harimau itu menindihnya dan akan menggigit leher Wisaka.
"Sialan kau, harimau jadi-jadian!"
Wisaka memukulkan tasbih kayu itu, mengenai punggung harimau betina itu. Tanpa disangka harimau itu mengaum dengan keras, kemudian melepaskan Wisaka yang tengah digumulinya. Wisaka cepat bangkit, kemudian memutar-mutar tasbih itu sambil membaca doa sapu jagat tadi, kemudian dengan cepat melemparkannya ke arah harimau tersebut.
"Menyingkirkan dari badanku!" teriak Wisaka.
Lemparan telak mengenai kaki kanan depan, harimau mengaum kesakitan. Ia menjauh dari Wisaka dengan kaki yang terpincang-pincang. Dengan cepat kembali tasbih itu diambil Wisaka.
"Ayo, masih mau melawan!" seru Wisaka.
Tiba-tiba harimau itu menjelma kembali menjadi Sari, ia terduduk sambil memegangi kakinya yang memar menghitam. Seolah-olah minta belas kasih Wisaka. Ia memandang Wisaka dengan nanar, tahu ini pasti tipu dayanya agar datang menolong Sari.
"Tolong, Kang ... tolong." Sari meratap sambil menangis.
Wisaka kembali membentak,"Pergi atau kembali tasbihku aku hantamkan!"
Sari akhirnya pergi dengan langkah terseok-seok. Aneh, gubuk pun ikut menghilang hingga yang tersisa hanya rimbunan pepohonan. Onet melompat ke tanah, ia bukan lagi berada di tiang gubuk, tapi di cabang sebuah pohon. Dengan berisik ia menunjuk bekas gubuk tersebut.
"Biarlah, Onet, kita bisa tidur di sini, ayo!" ajak Wisaka sambil memanjat pohon.
Onet melompat mengikuti Wisaka, mencari tempat ternyaman di sebuah dahan yang bercabang. Mereka kemudian tertidur dengan pulas.
Cericit kicauan burung membangunkan Wisaka, sinar matahari mulai nampak di ufuk timur. Sinarnya berkelip di antara pekatnya dedaunan. Embun bersinar bagaikan permata. Binatang-binatang hutan mulai berkeliaran, keluar dari sarangnya.
Wisaka heran ketika mendapati Onet tak ada di sampingnya, dia meliarkan pandangan ke sekeliling. Mencoba memanggil-manggil, namun tiada jawaban. Onet menghilang.
Wisaka cemas dengan kehilangan Onet, pemuda itu turun dari pohon lalu berkeliling mencari dan memanggil-manggil Onet. Dia khawatir sekali Sari membinasakan Onet. Walaupun baru sehari bersama, namun hati Wisaka dan Onet sudah terpaut.
"Uk uk uk uk, ek ek ek ek."
Tengah Wisaka sibuk melihat ke atas pohon, tiba-tiba Onet muncul dengan beberapa buah pisang di tangannya. Rupanya ia habis mencari makanan. Onet paham kalau majikannya perlu makanan untuk melanjutkan perjalanan.
"Onet, kamu membuatku khawatir, darimana sih kamu?" tanya Wisaka pura-pura marah.
"Eak ... ngik ... ngik," Onet menjawab sambil menyeringai. Ia mengangsurkan pisang di tangannya.
Wisaka menerima pisang tersebut dan memakannya, selesai makan kembali melanjutkan perjalanan. Sekian lama berjalan, semakin masuk ke dalam hutan yang lebat. Hari semakin siang, kali ini mereka menyusuri sungai. Wisaka dan Onet mandi sambil bermain air.
Tiba-tiba Wisaka terpeleset, lalu terbawa arus sungai yang tiba-tiba deras. Onet berhasil menyelamatkan diri, ia mondar-mandir di pinggir sungai dengan gelisah. Wisaka tak juga muncul ke permukaan sungai. Onet dengan sedih duduk di pohon dekat sungai. Ia terus menunggu sampai sore hari menjelang.
"Uk uk uk ek ek ek, eak eak eak!" Onet berteriak-teriak.
**
Wisaka nampak terlelap, dia tidur di amben. Tuan rumah sibuk menyambut kedatangannya. Mereka menyediakan makanan dan minuman. Sepasang suami-istri itu begitu senang dengan kedatangan Wisaka.
Wisaka yang tampan, rencananya akan mereka jodohkan dengan anak perempuan mereka yang sudah cukup umur untuk menikah. Mereka tak sabar menunggu Wisaka bangun. Ada rencana besar dalam benak mereka.
Malam menjelang Wisaka bangun, pemuda itu merasa badannya sakit semua. Terheran-heran melihat sekeliling. Tidak dilihatnya Onet berada di dekatnya. Dia heran mengapa tidur di atas amben dalam sebuah kamar. Rumah siapakah ini?
Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi benaknya. Saat akan bangkit dari tempat tidur, rasa sakit di kakinya membuatnya mengaduh. Suaranya membawa tuan rumah masuk ke kamarnya.
"Jangan banyak bergerak dulu, anak muda!" suruh seorang bapak kepada Wisaka. "Kamu aku temukan hampir tenggelam, dan aku menyelamatkanmu," sambungnya.
"Aku haturkan terima kasih, Pak," kata Wisaka.
"Jangan sungkan, anggap saja rumah sendiri," ujar Bapak pemilik rumah.
"Bolehkah aku bertanya, Pak?"
"Tanya saja, anak muda."
"Dimanakah ini?"