webnovel

Bab 20. KEKUATAN BULAN PURNAMA

"Aku gak tahu, Ceu," kata Ceu Entin.

Mereka berbisik-bisik dengan sangat lirih, takut orang lain mendengar. Mereka menduga-duga dan berandai-andai. Dengan pikiran yang ketar-ketir saat menuju kampung, dengan kecemasan masing-masing dalam lubuk hati mereka.

Cempaka dibaringkan di amben, ibunya membersihkan rambut Cempaka dari sampah dedaunan yang menempel. Perempuan itu menangis melihat keadaan anaknya.

"Neng, kunaon atuh maneh teh (Neng, kamu kenapa)?" ujarnya sambil menyisir rambut anaknya yang panjang dengan jari. Dibetulkannya baju Cempaka yang robek-robek.

Ketika siuman Cempaka menangis keras, ibunya memeluknya. Ketika sudah reda ibunya lalu bertanya,"Ada apa sebenarnya ini, Neng?"

Cempaka ingin menjawab, tetapi yang keluar seperti tadi, hanya uuuhh ... aahh. Cempaka bisu. Ibunya yang sudah menghentikan tangisannya, menangis lagi dengan sedih. Anaknya tidak bisa berbicara sungguh pukulan berat untuk batinnya. Orang-orang yang melihat ramai berbisik-bisik.

"Cempaka seperti Sulastri, ya?" bisik salah satu tetangga kepada yang lainnya.

"Mungkin, Sulastri lebih parah, ia tidak sadar lagi akan dirinya, jiwanya seolah-olah kosong, tapi Cempaka cuma bisu doang, dia masih mengerti orang berbicara" jawab yang lain, juga sambil berbisik dan mengamati Cempaka.

"Pak Amir, bagaimana ini kejadiannya, bukankah tadi Pak Amir yang berada dekat Cempaka?" tanya warga.

Pak Amir kemudian menceritakan kejadian saat tadi keluar rumah, saat terdengar olehnya ada orang berlari. Dia ikuti, rupanya ada perempuan sedang dikejar laki-laki, dan mau dirusak kehormatannya. Kemudian Pak Amir mencoba untuk menolong, tapi orang tersebut melarikan diri saat mendengar bunyi kentongan.

"Begitu kan, Cempaka, kejadiannya?" tanya Pak Amir kepada gadis itu.

Cempaka mengangguk-angguk lalu sesekali menggeleng sambil tetap menangis, entah mengerti entah tidak apa yang diceritakan Pak Amir.

Warga akhirnya membubarkan diri, kecurigaan kepada Pak Amir sekali lagi tidak beralasan. Dalam hati warga, curiga itu tetap ada, tetapi belum cukup bukti untuk menuduh Pak Amir.

Kang Saep, salah satu yang ikut mencari Cempaka, rupanya memperhatikan Awang saat menemui Pak Amir.

"Yon, kamu lihat gak tadi waktu Awang menemui Pak Amir, matanya jernih seperti bukan habis tidur," kata Kang Saep kepada Doyon.

"Alah Akang, sudah pasti mereka lagi kelonan lah, dingin-dingin begini, apalagi usia segitu lagi demen-demennya," jawab Doyon sambil tertawa.

"Eh, ular ... ular," kata Doyon lagi sambil meloncat.

Tiba-tiba memang ada ular memotong jalan mereka. Ular itu dengan cepat melintas dan menghilang dibalik pohon.

"Setiap ada kejadian, mengapa selalu saja jalan kita dipotong ular, Kang?" tanya Doyon.

"Ini kan hutan, wajar banyak ular," jawab Kang Saep.

Doyon menyimpan keheranannya dalam hati. Kebetulan atau tidak sebenarnya, mengapa setiap ada kejadian selalu menemukan ular, kadang satu kadang juga sepasang.

Mereka akhirnya terdiam sampai di rumah masing-masing.

Hari menjelang subuh. Sambil terlentang di tempat tidur, Cempaka berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. "Mengapa aku tidak ingat apapun?" Batin Cempaka bertanya-tanya. Daya ingatnya melemah setelah berkali-kali pingsan.

Anehnya Cempaka masih ingat saat dirinya bermimpi, Wisaka pergi dengan perempuan lain. Setelah itu mengingat kejadian selanjutnya tetap seperti sesuatu yang terhalang kabut. Cempaka seperti melihat sosok laki-laki dalam pikirannya, tapi begitu jauhnya sehingga ditegaskan juga oleh konsentrasinya tetap tak terjangkau.

"Beruntung aku tidak seperti Sulastri dan Enok," bisiknya dalam hati.

Cempaka bergidik ngeri seandainya nasibnya sama seperti mereka. Kebisuan ini adalah sedikit keberuntungan atas musibah yang menimpanya. Kalau orang Sunda selalu seperti itu, selalu ada ungkapan untung, padahal sudah rugi, semua itu demi menghibur diri. Untung saja cuma bisu, kalau sampai diperkosa, apalagi hamil, entah bagaimana nasib dirinya.

Cempaka teringat dengan penolongnya. Teringat olehnya seseorang datang menggagalkan rencana bejat laki-laki itu. Selanjutnya ingatannya kabur lagi. Dia lupa kalau itu adalah Pak Amir. Menguras energi memeras ingatan membuat Cempaka tertidur.

Sementara Pak Amir sesampainya di rumah, dia juga tak habis pikir, mengapa orang yang mau memperkosa Cempaka itu lari ke arah rumah Awang.

"Apakah itu memang, Awang?" gumamnya. "Tapi buat apa? Ilmu juga tak seberapa kalau memang buat syarat ngelmu, biasanya ada ilmu tertentu yang mengharuskan pemiliknya mengadakan ritual tertentu, ya seperti harus dapat perawan sebulan sekali, atau minimal setahun sekali."

Pikirannya menerawang saat dulu dia menimba ilmu di perguruan Kyai Abdullah. Terngiang kembali ucapan gurunya.

"Sebagian orang ada yang mempergunakan waktu bulan purnama untuk meningkatkan ilmu yang ada dalam diri. Ada juga yang melakukan ritual khusus, ketika bulan purnama. Bulan memasuki fase yang sarat energi, fase penuh yang bermuatan aura positif untuk menambah potensi diri.

Bulan juga mempengaruhi tubuh manusia dan alam sekitar. Pernah kau lihat, air laut pasang pada waktu bulan purnama? Nelayan tidak mendapatkan ikan saat melaut di tengah terang bulan?

Begitu pula pada manusia, tubuh yang tujuh puluh persen terdiri dari air, akan terpengaruh oleh gravitasi bulan, mempengaruhi fisik, emosional dan seksual," kata Kyai Abdullah waktu itu.

"Bulan purnama." Pak Amir bergumam.

Apakah semalam bulan purnama? Dia bergerak cepat ke arah penanggalan jawa,

yang tersemat di dinding rumah gedeknya, jari kanannya menelusuri angka-angka yang berderet. Tampak dahinya mengernyit. Lelaki itu terduduk lesu, mukanya muram.

"Semalam memang saatnya bulan bersinar penuh, pantas manusia itu menginginkan Cempaka, untuk melampiaskan nafsunya yang naik seiring purnama, juga untuk menambah kekuatan dalam dirinya, tapi siapakah dia?" Pak Amir berbicara sendiri.

Pak Amir merenung lagi, mencoba mengingat kembali ucapan-ucapan gurunya dulu.

"Ada lagi, saat purnama ada semacam kepercayaan batas antara realita dan ghaib menjadi sangat tipis, sehingga mahluk ghaib bisa dengan mudah menyebrang ke alam manusia," jelas Kyai Abdullah.

Mengingat itu semua, Pak Amir mempunyai dua dugaan terhadap orang misterius itu.

"Orang yang sedang meningkatkan ilmunya dengan cara mendapatkan perawan, sedang bergerak mencari mangsa," Pak Amir berkata sendiri. "Ataukah mahluk ghaib yang menyebrang ke alam manusia karena hasrat seksualnya?"

Pak Amir meremas rambutnya dengan hati masygul. Berbagai spekulasi tercipta dengan waktu purnama. Mahluk jadi-jadian bisa berubah menjadi manusia jika bulan purnama. Kalau ternyata manusia itu mahluk jadi-jadian yang berubah setiap bulan purnama, maka kampung ini ada dalam bahaya besar.

Ini tidak bisa dibiarkan, kata Pak Amir dalam hatinya. Kampung ini akan berubah menjadi kampung bisu, atau lebih mengerikan lagi menjadi kampung mati. Kaum muda hanya akan menjadi generasi yang ... aahh, Pak Amir tak berani melanjutkan terawangannya tentang kampung ini. Kampung yang sedang menjadi incaran mahluk misterius jahanam.

"Wisaka, mengapa tidak ada kabar juga itu anak, apakah dia sudah sampai atau belum?" Pak Amir bertanya kepada dirinya sendiri.

Tiba-tiba Pak Amir teringat dengan Wisaka, kecemasan merayapi hatinya. Takut kejadian seperti dulu saat Awang dan Barshi mencari gurunya tapi tidak sampai, kembali mengusik hatinya.

"Apakah aku harus menyusulnya," gumam Pak Amir.