webnovel

Bab 14. KITAB JATUH KE TANGAN PERAMPOK

"Kang!"

"Kang Wisaka, woii!" Faruq berteriak-teriak.

Setelah jauh dari gua, dia berhenti sejenak, berjongkok, tangan di atas lutut. Mengatur nafas yang tersengal-sengal.

"Kamu seperti dikejar setan, ada apa?" suara Wisaka mengagetkan Faruq.

"Ampun ... ampun ... ampun," katanya sambil menutup muka.

Wisaka tertawa melihat reaksi Faruq yang kocak. Faruq menutup muka dan posisi kaki seperti jalan di tempat, persis anak kecil yang lagi ngambek minta permen. Muka bulatnya sangat ketakutan.

"Hey, ini aku ... Wisaka, setan apa yang mengejarmu sampai kau begitu ketakutan, semalem kau bertarung dengan gagah, sekarang lari seperti diudag (dikejar) kuntilanak?" tanya Wisaka.

Faruq membuka matanya pelan-pelan. Onet mengelilinginya sambil menengadahkan mukanya, kemudian ia menyeringai ke arah Faruq seperti mengejek. Meloncat ke atas pohon, duduk sambil makan buah yang baru saja mereka dapatkan.

"Aku seperti mendengar suara, suara halus perempuan, ia berkata itu ikan buatmu, Kang, aku hanya mendengar suara tapi tidak melihat jirim (sosok)," kata Faruq dengan mimik lucu karena ketakutan.

"Sudahlah, itu Kakak iparmu," kata Wisaka.

Mereka menuju gua kembali, Faruq mengambil bawaan Wisaka. Beberapa umbi rambat dan buah-buahan cukup membuatnya kerepotan.

Setelah sarapan dan membersihkan diri di sungai mereka melanjutkan perjalanan. Faruq dan Onet yang gemar bercanda, kali ini membuat perjalanan tidak membosankan.

"Auooooo!"

Faruq meraih akar yang menjuntai, lalu bergelayut menirukan Tarzan. Berat badannya yang berlebih membuatnya melorot.

Bukk.

Bokongnya terempas ke tanah, ia menyeringai sambil memegangi pinggang.

"Aduuuh ... !" serunya tertahan.

Onet tak kurang heboh, ia melompat ke satu akar lalu berayun melewati Faruq seolah-olah mengejek, tangannya menyapu dan melambai ke arah Faruq sambil nyengir dan menguik. Wisaka hanya tergelak menyaksikannya.

Merasa ditantang oleh Onet, Faruq bangkit mencoba kembali meraih akar yang menjulur, menggelantung lagi. Kali ini dia sukses berayun, tapi saat berhenti kembali dia terempas.

Gedebuk.

Suara yang cukup keras membuat Wisaka kembali tertawa, menertawakan kekonyolan Faruq yang tidak mau terima kenyataan. Sudah gendut sok-sokan gelantungan seperti Tarzan yang berbadan atletis.

"Aku menyerah Onet ... aku menyerah," kata Faruq sambil melambaikan tangan. Persis acara TV yang kalau pesertanya tidak sanggup meneruskan tantangan.

Onet melompat ke atas pundak Faruq, minta digendong sebagai hadiah menang bergelantungan.

"Kamu manja, Onet, tentu saja aku tidak bisa melawanmu, tapi kalau taruhannya merayu wanita cantik, aku pasti menang," kata Faruq sambil menepuk-nepuk dadanya.

"Sudahlah, jangan bercanda saja, bisa kemalaman lagi di hutan ini. Perjalanan masih lama, jangan sampai kita terlambat menolong masyarakat," kata Wisaka.

Wisaka, Faruq dan Onet melanjutkan perjalanan tanpa banyak tingkah lagi. Kekhawatiran dengan mahluk jadi-jadian di kampung bikin ulah lagi menghantui mereka. Maka akan semakin banyak korban berjatuhan.

Korban yang mati sia-sia demi kelanggengan satu trah (keturunan) siluman. Walaupun berwujud manusia, tapi jiwanya adalah iblis. Bergentayangan berbaur hidup dengan manusia.

Hari menjelang siang, mereka duduk beristirahat di sebuah batu besar. Membuka bekal berupa ubi bakar dan buah pisang sisa tadi sarapan. Mereka menikmatinya sambil merasakan semilir angin yang berhembus pelan.

"Uk uk uk uk," tiba-tiba Onet mengeluarkan suara berisik sambil menunjuk rimbunan pepohonan.

Wisaka memperhatikan rimbunan itu, ada yang tak wajar memang. Daun-daun itu bergoyang bukan karena angin. Wisaka lebih menajamkan pandangannya, juga pendengarannya.

Terlihat olehnya sekumpulan orang bersembunyi. Wisaka memberi isyarat kepada Faruq agar bersikap waspada. Bukan tidak mungkin orang-orang itu sedang mengintip kelengahan mereka.

Faruq mengencangkan ikatan buntelan kitabnya. Kalau orang-orang itu ternyata mengintip mereka, pasti ada yang diincarnya, dan kitab itu satu-satunya yang pantas dicurigai menjadi incaran.

"Onet, kalau kepepet, kamu harus membawa lari kitab ini lagi nanti," kata Wisaka.

Seolah-olah mengerti, Onet mengangguk-angguk. Dia meloncat ke atas pohon. Wisaka dan Faruq bersikap seperti tidak tahu dengan kehadiran mereka, tetapi siaga dengan segala kemungkinan.

Wisaka mencoba ilmu pemberian Leli, dan dia bisa tahu kalau mereka memang merencanakan penyerangan.

Wisaka tiba-tiba berdiri seiring bunyi teriakan orang-orang itu.

"Serang!"

"Ciat ... ciat!"

Mereka datang dengan serentak, ada sekitar lima orang berdiri mengelilingi Wisaka dan Faruq. Mereka bersenjatakan golok. Ada sebagian yang menutupi wajahnya dengan kain sarung seperti ninja.

"Siapa kalian?!" bentak Wisaka.

"Tidak perlu tahu siapa kami, keparat, cepat berikan kitab itu!" jawab pemimpinnya tak kalah keras.

"Eh datang-datang langsung memaki, kalian menutup wajah? Apa kalian tidak percaya diri?" kata Faruq dengan sikap dibikin kemayu.

"Kebanyakan bacot! Terima seranganku!"

Mereka menyerang secara serentak, tiga orang mengelilingi Wisaka, dua orang lagi mengincar Faruq. Onet ikut gelisah mondar-mandir di atas pohon. Dia memperhatikan jalannya pertarungan, mencari kesempatan untuk membantu.

Wisaka terlihat kerepotan dengan serangan mereka bertiga, tapi ilmu yang diberikan Leli sedikit banyak membantu, pergerakannya menjadi ringan walau terdesak. Mereka kelihatan terlatih dengan ilmu silat yang lumayan tinggi.

Mendesak dengan golok terhunus membuat Wisaka yang tanpa senjata kewalahan. Onet yang melihat Wisaka hanya menghindari serangan golok dengan tangan kosong, punya inisiatif mencari kayu yang keras. Ia melemparkan kayu itu ke arah Wisaka.

Kayu yang dilemparkan Onet jatuh mengenainya golok perampok yang terhunus. Kayu itu memantul dan berputar menuju Wisaka. Dengan sedikit lompatan, Wisaka berhasil mengambil kayu tersebut.

"Terima kasih, Sobat!" teriak Wisaka kepada Onet.

Sementara Faruq berjibaku dengan kedua orang bersenjata. Dia bersenjatakan tongkat tempat buntelan kitabnya. Tongkat yang terbuat dari kayu kaboa, pohon kayu yang hanya terdapat di Hutan Sancang. Kayu yang dipercaya masyarakat bertuah karena masih ada hubungannya dengan Prabu Siliwangi dan Raden Kian Santang.

Di satu kesempatan, Onet yang bergelantungan dari satu pohon ke pohon lainnya, berhasil mengambil sarung penutup muka salah satu anggota komplotan penyerang.

"Monyet sialan, kembalikan sarungku!" teriaknya kalap.

Onet tidak perduli, ia melompat menuju ranting yang lebih tinggi, lalu menaruh sarung itu di sana.

"Rupanya kau, tidak ada kapoknya ya, harusnya semalam mayatmu sudah dibuang ke sungai, biar tidak bikin onar terus!" kata Faruq dengan suara keras, demi melihat wajah penyerangnya.

"Jangan banyak bacot, Gendut! hadapi seranganku!" katanya sambil menghujani serangan.

Buntelan yang Faruq sandang sedikit menyulitkan pergerakannya. Faruq tidak bebas melakukan perlawanan. Berniat memberikan kepada Onet, saat penyerang sedikit lengah, Faruq melemparkan buntelan ke arah Onet.

"Onet, tangkap!" teriak Faruq.

Onet yang memiliki kecerdasan seperti manusia, bersiap menyambut buntelan tersebut dari atas pohon. Belum sempat buntelan itu sampai sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Tanpa diprediksi sebelumnya, sesosok tubuh melayang dan menyambar buntelan tersebut.

"Ayo, pergi!" teriaknya. Kawanan perampok itu berhamburan mengikuti, melarikan diri beserta buntelan kitab.

"Hei, tunggu!" Wisaka berteriak sambil berlari menyusul mereka.

"Tungguuu ... tungggguu!" seru Faruq juga.