webnovel

17. Tidak Bisa Menangani Ini

Mata Alina perlahan terbuka. Padahal sudah beberapa jam yang lalu Alina memperoleh kesadarannya. Namun karena gagal mengontrol rasa syok beratnya akan kejadian tadi, Alina pun memilih untuk memejamkan mata dan tidur— berharap dapat menenangkan diri.

Alina menatap langit-langit, situasi dimana ia terjebak hampir mati di dalam lift kembali terngiang di benaknya.

Terjebak dalam ruang persegi yang gelap. Rasanya seperti ia baru saja bangun dari mimpi buruk yang panjang. Menghela nafas berat, Alina

mengelus dadanya pelan, menenangkan diri.

Rasa sesak dan tercekik dalam ruang sempit itu, masih membekas dan yang paling Alina benci, kenangan buruk masa lalunya kembali datang menghantuinya— berkat kejadian sialan itu!

"Aku harus mandi untuk membuang semua kesialan ini!" Alina sontak bangun dari baringan, menggeser selimut kesamping dan menurunkan kedua kakinya ke lantai. Tanpa sengaja tatapannya jatuh pada sebuah paper bag yang ada di atas nakas. Ada post-it bewarna kuning yang tertempel di paper beg itu yang bertuliskan....

*Maafkan aku!*

Alina mengambil paper bag itu dan melihat isinya yang ternyata sebuah gamis polos bewarna marun. Dari serat kainnya, Alina tau bahan gamis itu berkualitas tinggi dan yang pastinya...

"Bermerek dan sangat boros, apa pria itu yang membelinya?"

Alina mencabut post-it yang tertempel di paper bag dan merenunginya beberapa saat, "Maaf untuk apa ini...?"

Ceklek! Suara pintu terbuka. Alina segera mengalihkan perhatiannya. Retinanya terus menangkap siluet pria jangkung berjas putih, dengan langkah kakinya yang panjang perlahan melangkah masuk kedalam.

'Tidak!' Batin Alina, tenggorokannya tertegun kala menatap gerakan sepasang kaki pria itu ketika melangkah...

'Aku baru sadar kalau dia memiliki kaki panjang yang...'

Menawan!

Ya..bukan langkah kakinya yang panjang. Tapi Zayyad berkaki panjang dan itu sungguh membuat Alina terkesima.

"Kau sudah sadar?"

"Em!" Alina mengangguk pelan. Matanya terus menatap ke lantai, berpaling dari sepasang kaki Zayyad yang berhasil mencuri perhatiannya beberapa saat lalu.

"Maaf untuk kejadian hari ini" Zayyad berdiri beberapa langkah jauh dari kasur tempat Alina berbaring— menjaga jarak.

"Kata mu hanya selama menyeduh secangkir kopi?" Alina masih mengingat jelas untaian kalimat itu. Kalimat yang menjadi harapan terakhirnya di detik ujung tanduk kehidupan.

"Perkiraan ku salah, maafkan aku!" Zayyad terdengar menyesal.

"Lain kali jangan membeli ku gamis" Alina meletakkan paper bag yang dipegangnya di atas nakas dan berdiri, ia tampak tidak berniat melanjutkan topik mengenai insiden buruk itu.

"Gamis ku sudah terlalu banyak!"

Itu karena Maya selalu menghadiahkan Alina sebuah gamis di setiap ulang tahunnya. Padahal Maya jelas tau kalau Alina tidak menyukainya. Tapi Maya masih saja bersikeras menghadiahkan Alina pakaian terusan panjang. Karena Maya suka setiap kali melihat Alina tampil anggun dalam balutan gamis panjang.

"Untuk situasi darurat ini, aku hanya memikirkan apa yang bisa kau kenakan. Lain kali aku akan membelikan sesuai yang kau inginkan" Terang Zayyad.

"Tidak perlu! Aku masih mampu memenuhi kebutuhan ku sendiri" Alina terdengar acuh tak acuh.

Zayyad melirik ke pundak Alina, menemukan cairan asam itu sudah mengering, "Jika kau ingin bersih-bersih, kau bisa menggunakan itu.." Zayyad menunjuk ke salah satu pintu yang merupakan kamar mandi kecil pribadinya. Biasanya Zayyad menggunakannya jika menginap di perusahaan.

Setelah mengatakannya, Zayyad terus pergi keluar.

"Situasi darurat?" Gumam Alina tak begitu paham dan yang membuat Alina semakin bertambah bingung...

'Bersih-bersih?'

Alina terdiam beberapa saat, lalu memutuskan pergi ke kamar mandi.

Kamar mandi itu meski kecil tapi ada bathtub didalamnya. Lengkap dengan shower, peralatan mandi serta gantungan handuk.

"Sepertinya perusahaan adalah rumah keduanya" Tukas Alina sambil menyentuh handuk putih yang tergantung. Karena Alina ingin merilekskan diri, ia pun memilih untuk berendam di air.

"Sangat bagus! Ada fasilitas untuk air hangat" Ujar Alina senang, itu cukup membantu merilekskan tubuh dan pikirannya.

Alina pun mulai mengisi air di bathtub. Melihat sebotol sabun aromaterapi, Alina pun menuangkan beberapa tetes kedalam air. Aroma lavender yang menenangkan pun menyeruak memenuhi ruangan, "Pria yang tau memanjakan diri dengan baik!" Tukas Alina seraya meletakkan kembali botol sabun itu ditempat nya.

Mengendus-endus aroma lavender yang menyeruak di udara, Alina berkomentar, "Aroma mawar jauh lebih baik"

Ketika Alina hendak menanggalkan pakaiannya, matanya tanpa sengaja melihat sebuah lingkaran kuning yang seperti bekas noda di pundak kanannya, "Apa ini?"

Alina menurunkan hidungnya dan mencium, "Bau asam!"

Sesaat Alina tercenung. Otaknya perlahan mulai memproses...

-Paper bag-

-Gamis-

-Maafkan aku!-

-Situasi darurat-

"Hah..." Alina menghela nafas berat.

"Hah..haha.." Setelah menggabungkan semua potongan puzzle itu, Alina tidak tau harus tertawa atau menangis.

Apakah ini ulah pria itu?

___

"Tenang saja, kakek tidak perlu khawatir! Beritahu neneknya Alina kalau cucunya baik-baik saja..."

"Aku sudah pesan bubur ayam untuknya, sepertinya kami akan makan malam disini. Setelah itu kami akan kembali ke vila"

"Iya, aku akan segera beli ponsel baru. Mungkin kakek ingin menghadiahkan satu untuk ku?"

"Tidak mau ya tidak masalah! Aku tau kau menabung cukup banyak uang untuk ku"

"Hahaaa"

"Kalau begitu aku tutup dulu"

Panggilan berakhir, Zayyad meletakkan telpon itu ditempatnya. Baru saja kakeknya menghubunginya lewat telepon perusahaan menanyakan kabar Alina. Kakeknya sekarang berada di vila untuk menenangkan Erina yang saat ini sangat mengkhawatirkan Alina setelah mendengar berita kejadian terjebaknya mereka di lift yang ternyata sudah tersiar di televisi.

"Hah.." Zayyad mendesah panjang. Zayyad sungguh tidak mengira insiden lift itu sampai muncul di televisi.

Tok..tok..

"Masuk!"

"Pak ini pesanan anda!"

Bakri melangkah masuk. Meletakkan dua kotak makanan dan satu kotak ponsel baru diatas meja.

"Terimakasih, maaf sudah merepotkan mu!" Ini sudah larut malam, tapi Bakri masih harus bekerja dan Zayyad tidak enak untuk itu.

"Tidak sama sekali pak!" Bakri tersenyum tulus.

"Kalau begitu saya pamit pulang pak!"

"Em! Hati-hati di jalan"

"Baik pak! terimakasih"

Setelah Bakri pergi. Zayyad melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat, "Sudah hampir sejam, apa ia sudah selesai?"

Zayyad pun pergi membuka bilik kecilnya. Melihat tidak ada siapapun di sana, "Belum selesai, apakah wanita biasanya mandi selama itu?"

Untuk memastikan, Zayyad pun melangkah masuk kedalam. Berdiri di depan kamar mandi, Zayyad mengetuk, "Ini sudah malam, jangan terlalu lama di dalam. Jika sudah selesai, segera keluar. Aku sudah menyiapkan bubur ayam untuk mu. Itu masih hangat"

Hening. Tidak ada respon apapun.

Tok..tok..

"Alina kau dengar aku?"

Sama sekali tidak ada jawaban.

Tok..tok..

"Katakan 'em' saja jika kau malas menjawab"

Sunyi.

"Alina?"

Tanpa memikirkan apapun lagi, Zayyad segera membuka pintu kamar mandi. Ketika Zayyad hendak melangkah masuk kedalam, detak jantungnya terus melaju cepat. Kedua lututnya bergetar, Zayyad ragu untuk masuk.

"Hah..hah..hah.."

Suara seseorang yang kesulitan bernafas pun terdengar jelas.

"A-apa yang harus kulakukan?" Sangat sulit melawan ketakutannya. Tapi jika terus berdiri di sini, bagaimana dengan wanita itu? "Aku tidak mungkin membiarkannya begitu saja, kan?"

Zayyad menarik nafas panjang dan menghelanya perlahan. Mengumpulkan seluruh keberaniannya, Zayyad perlahan melangkah masuk kedalam. Jantungnya berdetak kencang, keringat dingin sudah memenuhi pelipisnya. Ini adalah situasi yang sangat sulit. Dimana Zayyad harus masuk kedalam kamar mandi dengan seorang wanita di dalamnya.

"Argh.." Zayyad menekan perutnya yang terasa sakit. Ini selalu terjadi dikala ketakutannya yang berlebih dan tak terkontrol.

"Hah..hah..hah..."

"Ayo, selangkah lagi!" Zayyad mengambil langkah berat, melangkah lebih dekat. Detik itu Zayyad melihat seorang wanita yang sedang berendam di air. Busa dan uap memenuhi bathtub. Aroma lavender merasuki penciumannya.

Menekan rasa nyeri di perutnya, Zayyad perlahan mengulurkan tangannya ke bawah, "Alina..."

"Hah...hah..hah.."

"Alina kau baik-baik saja?"

"Alina, kau— aku akan segera panggil dokter..." Zayyad yang panik, gelagapan tidak tau harus melakukan apa.

Zayyad ragu untuk pergi, meninggalkan Alina begitu saja. Tapi di sisi lain, Zayyad tak kuasa melakukan apapun. Terlebih lagi menggendong Alina dan membawanya keluar.

Ia tidak akan memiliki keberuntungan yang kedua kalinya bukan?

"Hah..hah..hah" Alina semakin tampak kesulitan bernafas.

Zayyad dengan penderitaan menahan rasa sakit diperutnya, semakin panik, "Alina bertahan lah sebentar saja! Aku akan segera memanggil bantuan"

Zayyad berbalik dan hendak pergi.

Hanya saja langkah kakinya terhenti, 'Tidak, aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja!'

Zayyad memutuskan untuk melawan rasa takutnya, perlahan mengulurkan tangannya untuk menyentuh Alina. Tapi ketika tangannya menyentuh kulit Alina yang halus. Seketika dadanya terasa sesak. Zayyad sudah merasa nyeri di perut dan kesulitan bernafas, jika seperti ini terus yang terburuk ia akan—

Aku tidak bisa menangani ini!

Bruk!

___