Mata yang masih memancarkan cahaya kepolosan, tetapi tubuhnya telah terbujur kaku, tak lagi menyimpan kehangatan hidup. Mia, bayi kecil yang begitu dicintainya, kini terbaring tanpa gerak di hadapannya. Beberapa luka kecil menghiasi tubuh mungilnya, meninggalkan bekas yang menyakitkan di hati Emma.
Tangisan EMma pecah histeris, menciptakan suara-suara yang mengguncangkan ruangan. Dia memeluk erat tubuh kecil yang terbaring di ranjang, mencoba merasakan kehangatan yang telah hilang.
Elio melangkah mendekati Emma dengan langkah ragu namun penuh kehangatan. Matanya terasa berat menyaksikan Emma yang terhuyung-huyung di samping ranjang mayat Petrus dan Mia. Dia meraih bahu Emma dengan lembut, merasakan getaran kepedihan yang sama memenuhi dirinya.
Tanpa sepatah kata pun, Elio hanya menggenggam erat bahu Emma sebagai tanda kebersamaan dan dukungan. Dia membiarkan Emma menangis, menyerap setiap rintihan kesedihan yang keluar dari bibirnya, sementara air mata juga turun dari matanya sendiri.
Elio, ikut terhanyut dalam kesedihan yang mendalam, tiba-tiba teringat akan keberadaan istrinya, Vera. Kekhawatirannya yang mendalam seketika muncul di wajahnya, matanya mencari jawaban atas nasib Vera di tengah kegelapan yang menyelimuti ruang itu.
"Dokter, di mana Vera?"
Tanya Elio dengan suara gemetar, seraya berusaha menahan rasa cemas yang melanda hatinya.
Dokter itu terdiam sejenak, terlihat terbebani oleh tanggung jawab untuk memberikan jawaban yang sebenarnya. Namun, melihat ekspresi keputusasaan yang melingkupi wajah Elio, dia akhirnya menyetujui untuk mengungkapkan keberadaan Vera.
"Ikuti saya, pak!"
Elio mengangguk dengan tegas. Dia merasa tak sabar ingin mengetahui dimana Vera berada, meskipun membayangkan kondisinya membuatnya semakin cemas.
Dengan hati yang berdebar-debar, Elio mengikuti arah Dokter dan segera bergegas meninggalkan ruang mayat menuju ruang perawatan intensif.
"Aku yakin kamu akan baik-baik saya, Vera."
Bisik Elio dalam hati, seraya berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Sementara itu, Emma yang masih terhanyut dalam kesedihan yang mendalam, dibiarkan sendirian di ruang mayat. Dia duduk di samping ranjang, memandangi wajah suami dan bayinya yang terbaring tak bernyawa dengan tatapan penuh kehilangan.
Dua perawat tetap berada di sisi Emma untuk menjaganya, siap memberikan dukungan dan kenyamanan pada saat-saat yang sulit ini. Hanya suara helaan napas dan rintihan sedih yang memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang penuh dengan kepedihan dan duka yang mendalam.
***
Elio diantar oleh Dokter memasuki ruangan yang hening, dihiasi oleh cahaya redup dan peralatan medis yang tersusun dengan rapi di sekelilingnya. Elio menghirup aroma steril yang menyengat saat memasuki ruangan yang sunyi. Cahaya redup memperjelas bayangan-bayangan di dinding putih.
"Ini kamar istri anda, Pak. Harap bersiap untuk melihat kondisinya."
Dokter berbicara dengan suara lembut, tetapi kata-katanya terdengar samar di tengah keheningan yang menyayat hati.
Setelah beberapa langkah, dia sampai di sisi ranjang tempat istrinya terbaring. Mata Elio terasa berat saat melihat Vera terbaring di atas ranjang putih. Wajahnya yang pucat, tubuhnya yang dikelilingi oleh alat-alat medis, membuatnya tampak lebih rapuh dari biasanya. Elio menahan napasnya, terpaku oleh pemandangan yang menghancurkan hatinya.
"Bu Vera mengalami luka parah dan sedang dalam kondisi kritis. Kami melakukan yang terbaik untuknya, tetapi..."
Dokter memberi Elio penjelasan singkat tentang kondisi Vera, tetapi kata-katanya bagai jauh dari telinga Elio yang terlalu terfokus pada sosok yang terbaring di hadapannya.
"Vera... Oh, Tuhan... Vera... Sayangku..."
Hatinya berdenyut cepat, tangannya gemetar saat dia mendekati ranjang itu.
Suara isak tangisnya pecah, terputus-putus oleh getaran emosional yang mengguncang dirinya. Dia meraih tangan Vera yang terbaring lemah dengan gemetar.
"Maafkan aku, sayang. Aku di sini bersamamu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu."
Suara isak tangisnya menyayat hati di dalam ruangan yang sunyi, menciptakan aura keputusasaan yang menggelayuti Elio.
"Vera, aku mohon jangan tinggalkan aku. Seperti aku yang tak pernah meninggalkanmu."
Elio berharap akan melihat tanda-tanda kesadaran kecil di wajah Vera yang kini tak berdaya, tetapi satu-satunya jawaban yang dia terima hanyalah keheningan yang menyiksa.
Dokter menganggukkan kepala dengan penuh pengertian, meninggalkan Elio sendirian bersama Vera dalam keheningan ruangan yang sunyi.
Ruangan itu terasa sunyi, hanya terdengar isakan Elio yang tak tertahankan. Dia duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Vera yang terbaring lemah, mencoba menenangkan dirinya sendiri meskipun hatinya hancur berkeping-keping.
"Vera... sayangku... Apakah kamu mendengarku di sini? Aku di sini, bersamamu. Tolong, bangunlah!"
Suara Elio terdengar gemetar dan penuh dengan rasa putus asa.
Dia melanjutkan, menceritakan kenangan-kenangan indah yang mereka bagikan bersama, dalam harapan bahwa suaranya dapat di dengar oleh Vera."Kau ingat tidak, saat kita baru pertama kali bertemu? Saat itu kita sama-sama belum saling mencintai. Saat itu, kau mengejekku dan mengatakan kalau aku cuma kutu buku, dan aku membalas ejekkanmu dengan mengatakan kamu si pendek."
Elio melanjutkan,
"Hampir setiap hari kita saling ejek jika bertemu. Bahkan aku pernah akan di hajar oleh Ayahmu karena terlalu sering menghinamu. Tapi siapa sangka jika sehari kita tak bertemu dan tak saling ejek, kita malah merasa saling kehilangan. Kita malah merasa hari itu ada yang kurang jika kita tidak saling menatap."
Namun, Vera tetap terbaring dalam keadaan tak berdaya, wajahnya pucat tanpa tanda-tanda kehidupan. Keheningan yang menyayat hati memenuhi ruangan, mengingatkan Elio pada kehilangan yang tak terbayangkan yang sedang dia hadapi. Dalam kesendirian dan kepedihannya, dia merasa hancur oleh ketidakberdayaan yang menyelimuti dirinya.
***
Hampir satu jam berlalu, dalam ruangan yang sunyi, Elio masih duduk di samping ranjang Vera, menggenggam erat tangan istrinya yang terbaring lemah. Tangisannya tidak pernah berhenti, mengalir sebagai ekspresi dari perasaan kesedihan yang mendalam.
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dengan lembut, dan masuklah Dokter yang tadi mengantarnya ke ruangan ini, wajahnya terlihat serius dengan sedikit cahaya kekhawatiran yang terpancar dari matanya.
"Maaf, Pak Elio. Anda harus kembali kekamar anda dulu untuk diperiksa kondisi anda. saya perlu memeriksa kondisi Anda sekarang."
Elio menoleh dengan pandangan lelah, menatap dokter dengan mata yang masih berkaca-kaca."Maaf, Dokter. Saya tidak apa-apa.
Tak ada yang buruk dari kondisi saya. Saya ingin tetap bersama Vera. Saya tidak bisa meninggalkannya."
Dokter menghela nafas, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk meyakinkan Elio.
"Saya mengerti, Pak Elio. Namun, Anda juga harus memperhatikan kesehatan Anda sendiri. Kami perlu memastikan bahwa Anda tidak mengalami luka serius yang mungkin belum terdeteksi."
Elio menggelengkan kepala,"
Luka dan cedera saya tidak terlalu parah, Dokter. Saya masih kuat. Saya ingin tetap di sini bersama istriku."
Dokter menghela nafas dalam-dalam, berusaha mencari cara untuk membujuk Elio."Begini, Pak. Bagaimana jika kami memeriksa Anda terlebih dahulu? Jika semuanya baik-baik saja, Anda bisa kembali ke sini dan menemani istri anda."
Elio mengangguk setuju meskipun dengan ragu.
"Baiklah, Dokter. Saya akan mengikuti Anda."
Dengan berat hati, Elio meninggalkan Vera di ruangan itu, meninggalkan secercah harapan bahwa suatu hari nanti dia akan bangun dari tidurnya dan membalas pelukan dan cinta yang tak henti-hentinya.