webnovel

Melamar

"Kamu serius akan menikahiku?" tanya Marsya di sela-sela perjalanan.

"Aku serius," kataku mantap. Sesekali aku melirik kaca spion.

Ada senyum yang mengembang di wajah Marsya.

"Kalau begitu, antarkan aku dulu."

"Ke mana?"

"Terus saja."

"Baik." Aku mengikuti arah yang dituju Marsya. Sampai akhirnya tepat di sebuah kawasan perumahan elite, Marsya memintaku menghentikan mobil.

Beberapa saat kami hanya diam. Aku tidak tahu mengapa Marsya mengajakku ke tempat ini. Kuperhatikan Marsya tengah mengamati rumah mewah yang berada di sisi kiri jalan. Tak berapa lama, mobil sedan hitam mengilap keluar dari rumah berpagar besi keemasan tersebut.

"Menunduk!" Marsya menundukkan tubuhnya sambil menekan punggungku supaya ikut menunduk, tetapi malah kepalaku terbentur dasbor.

"Aww," jeritku sembari mengusap-usap kening.

Marsya meringis, lalu meminta maaf.

"Ada apa, Sya. Kenapa kita menunduk?"

"Itu tadi mobil papaku."

"Apa? Jadi itu rumahmu?" Aku menunjuk ke arah rumah mewah itu.

Ternyata benar dugaanku selama ini bahwa Marsya bukan perempuan sembarangan. Dia anak orang kaya. Namun, kenapa dia meninggalkan rumah, bahkan hendak mengakhiri hidupnya?

"Ya." Marsya mendengus.

Sepertinya ada sesuatu yang Marsya sembunyikan dariku. Aku bisa melihat ekspresinya ketika dia menjawab pertanyaanku.

"Kalau itu rumahmu, kenapa kita tetap di sini? Apa kamu tidak mau memperkenalkanku kepada keluargamu?" Aku hendak keluar dari mobil, tetapi tiba-tiba Marsya menghalangi.

"Jangan sekarang. Untuk saat ini, aku tidak mau balik ke rumah. Aku belum siap menemui keluargaku."

"Ada masalah dengan keluargamu?"

Marsya menjawab dengan anggukan. Haru dan pilu. Tebakanku mungkin benar bahwa ada sesuatu yang Marsya sembunyikan.

"Ceritanya panjang," katanya sembari menundukkan kepalanya. Ada genangan bening di sudut matanya.

Aku mengangkat dagu Marsya dengan lembut. Menatap hangat wajahnya yang sendu. Kuberikan dia senyum sebagai bukti kalau aku ada untuknya. Namun, genangan di sudut matanya meleleh. Kuusap dengan jemariku. Lembut. "Kamu tidak sendiri sekarang. Aku akan selalu ada untukmu."

"Kalau aku cerita, apa kamu mau berjanji tidak akan marah?" Marsya mengajukan persyaratan.

Kuangkat dua jari. "Janji."

"Aku kabur dari rumah," kata Marsya. Pandangannya kemudian menerobos ke masa lalunya.

***

"Tapi aku cinta dia, Pa."

"Apa dengan modal cinta kamu akan bahagia? Dia itu orang miskin. Dia hanya memanfaatkanmu."

"Papa salah menilainya. Kalau Papa mengenalnya, pasti Papa akan berubah pikiran."

"Pokoknya Papa tidak setuju kamu berhubungan dengan Andre. Papa sudah menjodohkan kamu dengan anak teman relasi Papa. Suka atau tidak suka kamu harus menikah dengan dia. Titik!"

"Pa, aku ini sudah dewasa. Biarkan aku menentukan jalan hidupku sendiri."

"Jangan membantah. Papa tidak suka dibantah! Sekarang masuk ke kamar. Mulai hari ini kamu tidak boleh ke mana-mana."

"Papa egois." Air mata Marya berderai.

"Ma, bawa Marsya ke kamarnya. Jangan biarkan dia keluar dari rumah," perintah Papa Marsya kepada istrinya.

Bu Sucipto hanya bisa pasrah melihat anak dan suaminya bertengkar. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tahu tabiat suaminya. Sekali dia memberi perintah maka harus dilaksanakan.

"Sudahlah, Nak. Kamu jangan membantah. Ayo, Nak, masuk ke kamar," kata Bu Sucipto pelan sembari menuntun anaknya ke kamar.

"Papa jahat. Apa harta lebih penting daripada kebahagiaan anaknya?" ujar Marsya ketika sudah berada di dalam kamar. Air matanya meleleh lagi. Kemudian, dia merebahkan tubuhnya dengan posisi tengkurap sambil memeluk guling.

Bu Sucipto dengan sabar membelai rambut anaknya. Dia tahu apa yang dirasakan Marsya. Hanya, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Di satu sisi, Pak Sucipto adalah suaminya. Tidak mungkin dia melawan suami apalagi suaminya itu berwatak keras dan tidak suka dibantah. Di sisi lain, Marsya adalah anaknya, dia tidak mau anaknya menderita.

"Apa yang dilakukan Papa itu semua demi kebaikanmu, Nak." Bu Sucipto mencoba meredam gejolak emosi anaknya.

"Kebaikan macam apa, Ma? Apakah dengan mengorbankan kebahagiaanku?" bantah Marsya sambil membalikkan badannya.

Bu Sucipto menghela napas. Suami dan anak sama saja. Sama-sama keras kepala.

"Kamu yang sabar. Kamu harus mengerti. Papa melakukan semua itu karena Papa menyayangimu. Papa tidak mau anaknya hidup menderita." Mama memberikan pengertian.

Marsya terdiam merenungi kata-kata mamanya.

Sejak kecil, Marsya hidup serba berkecukupan tanpa kekurangan apa pun. Apa yang diminta Marsya, selalu dituruti. Pak Sucipto tidak mau anaknya hidup susah. Sebab itu, yang berhak mendampingi anaknya kelak harus sederajat dengan keluarganya.

Marsya adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakaknya semua laki-laki dan sudah menikah. Kakak pertama tinggal di Amerika. Sementara itu, kakak keduanya mengikuti jejak orang tuanya menjadi anggota TNI.

Keluarga Marsya memang sangat keras. Pak Sucipto adalah seorang mantan pejabat tinggi di angkatan kelautan. Di samping itu, beliau juga mewarisi bisnis keluarga. Sebagai mantan pemimpin anggota angkatan kelautan yang sekaligus pengusaha, beliau dikenal tegas dan disiplin dalam mendidik anak-anaknya. Tak heran jika Pak Sucipto bersikap seperti itu. Baginya, apa pun yang dilakukannya, demi kebaikan keluarga. Tak terkecuali Marsya. Beliau sangat protektif terhadap anak perempuan satu-satunya itu. Ke mana pun Marsya pergi selalu mendapatkan pengawalan.

Keadaan yang seperti itu justru membuat Marsya terkekang. Kebebasannya direnggut. Kadang dia merasa iri dengan teman-temannya. Mereka bisa berkumpul bersama tanpa ada yang mengawasi, sedangkan dirinya tidak bisa sebebas mereka dalam bergaul. Hingga suatu ketika Marsya bertemu dengan Andre. Mereka kemudian menjalin hubungan. Sayangnya, Pak Sucipto tidak mengizinkan Marsya berhubungan dengan Andre.

Malam itu Andre nekat mendatangi Marsya di kamarnya. Penjagaan yang cukup ketat membuat Andre berhati-hati sekali dalam menyelinap ke kamar Marsya yang berada di lantai dua. Dengan mengendap-endap, dia berhasil mengelabui penjaga yang berada di depan pintu rumah.

"Sya, buka pintunya. Ini aku, Andre," kata Andre dengan suara pelan sambil mengetuk kaca jendela kamar Marsya.

Marsya yang saat itu masih belum tidur samar-samar mendengar suara dari luar kamar.

"Marsya, buka pintunya. Ini aku, Andre." Sekali lagi Andre mengulang kata-katanya.

"Sepertinya itu suara Andre," gumam Marsya sembari bangkit dari tempat tidur, lalu menuju jendela. Marsya menarik tirai jendela ke samping dan benar ada Andre di balkon.

"Mengapa kamu kemari? Nanti kalau ketahuan Papa bagaimana?" ujar Marsya sembari membukakan jendela kamar lebar-lebar dan mempersilakan Andre masuk.

"Ikutlah denganku, kita kawin lari," ujar Andre sembari meremas jemari kekasihnya.

"Apa kamu sudah gila?" kata Marsya dengan suara yang cukup lantang dan langsung dibekap oleh Andre.

"Jangan keras-keras ngomongnya. Kalau sampai orang tuamu mendengar bagaimana?" bisik Andre, lalu melepaskan tangannya dari mulut Marsya.

"Bagaimana dengan Papa? Kalau sampai Papa tahu kamu membawaku kabur dari rumah, kamu bisa dibunuh!"

"Aku tidak peduli. Aku rela melakukan apa saja demi kamu," kata Andre menyakinkan.

Mata Marsya berkaca-kaca mendengarnya. "Lalu kamu mau mengajakku ke mana?"

"Ke rumah orang tuaku di Jember."