webnovel

pulang ke rumah

Sebuah rumah mewah yang selalu ramai oleh celotehan anak kecil, pagi ini juga mengalami hal yang sama seperti biasanya.

"Ayah ... cepat! Ini sudah siang nanti Nayla kesiangan," teriak anak kecil berusia sekitar tujuh tahun tersebut. Gadis kecil itu sejak tadi sudah bersiap untu pergi sekolah tapi masih menunggu ayahnya yang masih belum keluar kamar. Tak lama orang yang di maksud oleh gadis kecil tersebut datang dengan wajah masam.

"Ayah itu jangan cemberut pagi-pagi! Nanti rezekinya kabur karena takut lihat wajah Ayah!" ucap Nayla sambil terkikik geli menggoda papanya dan berhigh five ria bersama neneknya.

"Siapa yang bilang? Mana ada teori seperti itu," sungut ayahnya.

"Kata ibu guru cantik di sekolahnya Nayla, Yah." Dengan polosnya anak itu menjawab pertanyaan ayahnya, bahkan dengan cuek dia menggigit sandwich yang disediakan oleh neneknya.

"Terserah apa katamu!"

"Nenek ... Ayah marah," adu Nayla pada neneknya dengan bibir mengerucut lucu.

"Kalian ini kenapa tidak bisa akur? Padahal umur kalian sangat jauh berbeda," jawab nenek Nayla menengahi. Sementara objek yang di maksud malah bersikap acuh tak peduli, membuat nenek Nayla hanya mampu menggelengkan kepala.

Nayla bersenandung kecil menyanyikan lagu yang sedang trend di salah satu aplikasi, ayahnya yang sedang mengemudi hanya tersenyum melihat betapa anaknya sangat ceria.

"Nayla, nanti belajar yang rajin ya! Nurut sama bu guru dan inget pesan Ayah, mengerti!"

Nayla mengangguk patuh dengan petuah ayahnya, gadis kecil itu sudah sangat hafal apa yang di maksud ayahnya.

"Ayah, kemarin Nayla gak sengaja dengar nenek bahas jodoh-jodoh gitu Yah, terus nenek juga bilang bunda baru buat Nayla," adu gadis kecil tersebut pada ayahnya yang tengah fokus menyetir.

Ayah Nayla mengernyitkan dahi mendengar penuturan putrinya, sejak kapan ibunya punya pemikiran untuk menjodohkannya? Bahkan pembahasan itu sudah sejak lama mereka tutup rapat dan tak pernah ada yang berani mengangkat topik bunda untuk Nayla atau perjodohan lagi.

"Sudah, biarkan saja apa yang ingin nenek lakukan," ujarnya seraya mengelus lembut kepala putrinya.

Nayla mengangguk kecil tanpa bicara lagi, gadis itu serius memperhatikan jalan yang dilaluinya hingga tanpa terasa mobil yang ditumpanginya sudah sampai di tempat dia sekolah.

"Hati-hati Sayang! Nanti pulang sekolah Ayah jjemput ya, Nayla tidak boleh ikut orang sembarangan. Jika ada yang mengaku kenal Nayla tapi Nayla tidak kenal langsung lari saja ke pos satpam atau menghampiri bu guru ya!" petuah ayahnya yang sudah sangat Nayla hafal diluar kepala.

"Baik Ayah, Nayla mengerti," sahut gadis kecil tersebut sambil mencium tangan ayahnya. Setelah memastikan Nayla masuk laki-laki yang merupakan ayah Nayla tersebut melajukan mobilnya ke kantor.

***

Di rumah sakit Adelia sudah diperbolehkan pulang oleh dokter, Nathan begitu protektif pada istrinya mencoba memberikan yang terbaik menurutnya.

"Mas, aku bisa jalan sendiri, gak harus pakai kursi roda," ucap Adelia ketika melihat Nathan membawa kursi roda untuknya.

"Nurut aja oke!" sahut Nathan sambil membenarkan posisi kursi roda tersebut.

"Tapi Mas ...."

"Nurut atau aku gendong? Pilihannya hanya itu, aku tidak mau jika sampai istriku kelelahan." Nathan memotong ucapan istrinya.

Adelia hanya bisa pasrah saat Nathan membantunya duduk di kursi roda, daripada di gendong Nathan itu akan terlihat memalukan pikir Adelia. Salah satu perawat mengikuti mereka dari belakang, Nathan mendorong sendiri kursi roda istrinya. Setelah sampai di sisi mobil Nathan menyerahkan kursi roda tersebut pada perawat yang tadi mengikutinya, dan membantu Adelia masuk mobil.

"Sayang, kamu gak senang kalau bisa pulang cepat?" tanya Nathan sambil mengelus rambut Adelia ketika melihat istrinya termenung memandang gedung-gedung yang berlarian di jendela mobil.

Adelia menoleh ke arah suaminya, biar bagaimanapun mereka sudah saling memahami. Adelia tersenyum begitu manis saat Nathan mengelus rambutnya, perlakuan lembut Nathan membuat wanita itu jatuh cinta setiap hari pada suaminya.

"Aku senang Mas, aku sayang kamu!" sahut Adelia seraya memeluk lengan Nathan sambil merebahkan kepalanya di sana.

"Aku juga, jadi jangan banyak pikiran apalagi hal itu bisa membuatmu drop seperti kemarin, apapun yang kamu rasakan, kamu alami, ceritakan semuanya padaku! Aku tidak ingin menjadi suami bodoh yang tidak tahu apa-apa tentang apa yang terjadi pada istrinya. Jangan pernah mencoba menyembunyikan apapun dariku sekalipun itu ucapan menyakitkan dari ibu, mengerti!" ucap Nathan panjang lebar dengan pandangan fokus ke depan tapi tidak mendapatkan jawaban dari istrinya, tapi dapat laki-laki itu dengar suara nafas teratur serta dengkuran halus dari istrinya.

Nathan tersenyum melihat istrinya yang terlelap di lengannya, perlahan dan hati-hati Nathan memindahkan posisi Adelia agar istrinya itu bisa tidur dengan nyaman. Sebelum kembali fokus menyetir Nathan mengecup kening dan bibir Adelia singkat. Tiga puluh menit Nathan lalui di temani istrinya yang tertidur, mungkin efek obat atau memang Adelia masih merasa ngantuk, tidur wanita itu sama sekali tidak terganggu ketika Nathan membawanya masuk menuju kamar mereka. Nathan merebahkan tubuh istrinya dengan lembut, membiarkan wanita itu istirahat dengan cukup tanpa berniat membangunkan Adelia. Nathan bergegas menuju dapur untuk membuat makanan untuknya dan Adelia nanti ketika istrinya bangun, berkali-kali asisten rumah tangga melarang majikannya mengerjakan hal itu tapi Nathan tidak mendengarkannya.

"Biar saya saja Pak, Bapak pasti cape baru pulang dari rumah sakit. Lebih baik Bapak istirahat saja menemani Ibu, pekerjaan ini biar saya yang kerjakan."

Nathan tersenyum ke arah asisten rumah tangganya, "tak apa Bi, Nathan memang cape tapi semuanya Nathan lakukan demi istri tercinta," sahutnya tanpa melunturkan senyum.

"Semoga kehidupan Bapak dan ibu selalu bahagia, beruntung sekali ibu mempunyai suami sebaik Bapak yang begitu mencintai dan menyayanginya dengan tulus."

"Bibi salah, justru saya yang merasa beruntung memiliki istri seperti Adelia, dia tidak hanya cantik tapi dia juga wanita penyabar."

Asisten rumah tangganya hanya tersenyum sendiri mendengar penuturan tuannya, wanita baya tersebut membantu Nathan menata makanan yang sudah dimasaknya ke atas meja. Saat Nathan berbalik hendak menuju kamarnya di sana sudah ada Adelia yang berdiri dengan mata berkaca-kaca, perlahan Adelia berjalan dari ujung anak tangga menuju suaminya dengan pandangan kabur karena telaga bening yang mengumpul di kelopak matanya sudah siap tumpah. Setelah berdiri di hadapan suaminya Adelia langsung memeluk Nathan begitu erat, benar yang di katakan asisten rumah tangganya tadi, jika dirinya beruntung memiliki Nathan sebagai suaminya.

"Hey, Sayang kamu kenapa, hmm?" Nathan mengusap lembut punggung Adelia sambil membalas pelukan istrinya, bahkan sesekali mendaratkan kecupan di puncak kepala istrinya.

Adelia menggeleng kecil, dirinya hanya semakin mempererat pelukannya pada Nathan. "Terima kasih," lirihnya nyaris tak terdengar karena suaranya tenggelam dalam pelukan sang suami.

"Terima kasih untuk apa? Apa aku melakukan suatu kebaikan?" goda Nathan sambil mengelus punggung istrinya.

"Terima kasih karena sudah menjadi laki-laki baik dan menjadi suami yang begitu menyayangiku, aku sangat beruntung menjadi istrimu."

Nathan tidak menjawab ucapan istrinya dia hanya membalas pelukan Adelia dengan erat sambil sesekali mencium puncak kepala wanita yang sudah tiga tahun lebih menjadi istrinya tersebut. Laki-laki itu membawa Adelia ke meja makan karena sebentar lagi jadwal Adelia minum obat.

"Kita makan dulu ya, Sayang! Setelah itu minum obat supaya cepat pulih kembali." Adelia tidak membantah ucapan suaminya, dia menuruti apa yang diucapkan Nathan karena dirinya tahu jika hal itu demi kebaikannya sendiri.

Sikap Nathan dari dulu tidak pernah berubah, dirinya selalu menomor satukan Adelia dalam berbagai hal, bahkan saat makan tak pernah sekalipun mereka absen untuk saling menyuapi, faktanya cinta mereka semakin erat setelah menikah. Suap demi suap Adelia terima hingga makanannya habis tak bersisa, perlakuan manis Nathan membuat Adelia selalu bersyukur, bahkan tanpa terasa pipi wanita itu basah oleh air mata.

"Hei, sayang, kamu kenapa menangis? Sakitnya terasa lagi?" Adelia menggeleng dirinya semakin tertunduk dalam dan terisak sambil memeluk Nathan yang kini berdiri disampingnya.

"Lalu kenapa kamu menangis, hmm?"

"Aku hanya terharu atas segala perlakuan manismu padaku sejak kita berdua masih berpacaran hingga kini sudah menjalani pernikahan selama tiga tahun lebih, harus dengan apa aku menunjukkan rasa syukur ku, yang mendapatkan limpahan cinta darimu? Aku sungguh takut, takut jika suatu saat nanti kamu meninggalkanku entah itu kamu berpaling atau kamu meninggalkanku menghadap sang pencipta aku sungguh takut, Nathan! Aku tidak bisa membayangkan jika harus berpisah darimu, aku ... hiks ... hiks ... hiks ...."

"Maka dari itu jangan dibayangkan! Itu hanya akan membuatmu banyak fikiran, lebih baik sekarang kita jalani kehidupan kita tanpa perlu mendengar hal yang membuat kita sakit hati atau semacamnya, hmm." Nathan menangkup sisi wajah Adelia, pria itu menghapus lembut air mata yang menuruni lereng pipi istrinya.

Mereka berdua hanyut dalam suasana haru yang menyelimuti keduanya, mereka saling mencurahkan perasaan dan isi hati masing-masing di sore yang begitu indah tersebut.