webnovel

Tampan dan Mempesona

Sarajevo, Bosnia, 2020

Sebuah pesawat bergerak turun. Tak lama, pesawat itu berhasil landing dengan mulus di bandar udara internasional Sarajevo. Seluruh penumpangnya bergerak turun, menginjakkan kaki mereka pada bandara yang cukup lengang di penghujung musim panas.

Berada di kelas bisnis, Safan menjadi penumpang terakhir yang bersiap untuk turun. Dia menghindari untuk turun pertama karena itu artinya ada potensi bagi dirinya untuk bersenggolan dengan penumpang lain. Safan tidak suka itu: tersentuh oleh manusia. Maka seperti yang selalu dilakukannya, dia akan menunggu sampai hanya dirinyalah yang masih duduk di seat-nya.

'Ayo cepatlah kalian turun, wahai manusia!', Safan menggerutu dalam diam.

Masih ada empat penumpang lain di sana, tipe-tipe penumpang yang bergerak bak kukang. Safan dapat mengetahui jumlah mereka tanpa harus melihatnya. Dia dapat merasakan aura yang terpancar dari masing-masing manusia serta dari bau tubuh mereka.

Itu merupakan fiturnya sebagai predator klasmen tertinggi. Fitur yang sebenarnya kurang berfaedah. Boro-boro memakan manusia, merasakan auranya saja sudah menghilangkan nafsu makannya sampai ke bawah titik nadir. Apalagi bila ditambah dengan bau tubuh mereka. Tak jarang Safan malah ingin muntah sendiri. Seperti sekarang, di mana dua dari manusia itu yang baunya seperti mereka baru saja keluar dari dalam kubur setelah terurai.

'Aku yang seharusnya masuk kubur dan membusuk tapi malah mereka yang masih hidup yang berbau seperti itu', pikir Safan.

Safan lalu mengeluarkan parfum kecil yang diberikan oleh maskapai. Dengan gerakan yang elegan dia mulai menyemprot parfum tersebut ke sekeliling wajahnya. Kemudian dengan memejamkan mata dia menghirup dalam-dalam aroma musim semi dari parfum itu yang menggantikan bau busuk yang barusan diciumnya.

'Begini lebih baik', batinnya puas.

Setelah beberapa menit bertahan dalam posisinya itu, akhirnya Safan mendapatkan gilirannya untuk turun. Dia merapikan ujung kemejanya yang sedikit kusut sebelum beranjak dari kursinya.

"Sampai jumpa, Tuan. Semoga hari Anda menyenangkan," ucap seorang pramugari yang berdiri di samping pintu pesawat saat Safan melewatinya.

Safan membalasnya dengan sebuah anggukan tipis dan seulas senyum. Gestur lazim yang dilakukan orang-orang namun dampaknya jadi berlebihan bila Safan yang melakukannya. Pramugari itu seketika tersenyum sangat lebar kepadanya, wajahnya berubah menjadi sangat sumringah, dan matanya dengan pupil yang melebar menatap berbinar-binar kepada Safan. Wanita itu sedang terbang di antara awan merah jambu sekarang.

Terhipnotis, pramugari itu bahkan masih menatap lekat pada punggung Safan meski dia sudah berjalan semakin jauh. Merasakannya, Safan sedikit menelengkan kepalanya ke kiri dengan tangan kanannya yang menyentuh tengkuknya. Karena tatapan perempuan itu, punggungnya kini seperti ditempeli oleh sesuatu.

Tentu saja dia merasa risih. Safan takkan pernah terbiasa meskipun hal serupa sudah terjadi padanya sebanyak ribuan bahkan ratusan ribu kali. Seharusnya dia diam saja tadi. Kenapa pula dia begitu ceroboh mengulas senyum seolah saat ini dirinya masih manusia.

'Sungguh merepotkan', Safan menggerutu.

Sihir yang mengungkung pramugari itu tentu saja tak bisa lepas dengan sendirinya. Harus Safan yang melakukannya. Akhirnya dia terpaksa menggunakan sedikit kekuatannya untuk itu.

Safan menggesekkan ujung ibu jarinya dengan ujung jari telunjuknya. Sesuatu pun jatuh dari atas dan menimpa kepala si pramugari. Tak lama, terdengar suara teriakan dari si pramugari diikuti oleh suara panik rekan-rekannya yang berusaha untuk membantunya.

Bibir Safan berkedut mendengarnya. Dia tidak melakukan sesuatu yang dapat membahayakan nyawa perempuan itu. Sebaliknya, dia baru saja melakukan sesuatu yang menggelikan yang takkan terlintas dalam pikiran siapapun dapat terjadi di kabin pesawat.

Safan hanya menjatuhkan seekor kecoak tadi. Serangga yang ditakuti oleh sebagian besar wanita itu pun berhasil mengembalikan si pramugari dalam kesadarannya. Kini sepasang mata telah tanggal dari punggungnya. Tersisa berpasang-pasang mata lagi yang bisa kapan saja menempel di punggungnya bila Safan tak berhati-hati dengan gesturnya.

Tidak ada senyum. Tidak ada keramahan. Safan tak punya waktu untuk berurusan dengan seluruh perempuan yang tengah memandang terpukau padanya saat ini.

Seperti yang selama ini selalu dilakukannya, Safan mengabaikannya. Dia lewat begitu saja seolah hanya ada dirinya di tempat itu. Yang lain hanya debu-debu kosmik yang berterbangan di sekitarnya.

Inilah salah satu fitur vampir lainnya yang menurutnya tidak berfaedah lagi menyusahkan. Di saat dia harus menyembunyikan identitasnya sebagai vampir, di waktu yang bersamaan pesonanya justru menarik perhatian orang-orang terhadapnya. Setelah menjadi vampir Safan secara mengejutkan berubah menjadi bercahaya bagi siapapun yang melihatnya. Pesonanya melintasi 7 benua dengan efeknya yang lebih kuat terhadap perempuan dan ehm, gay.

Bukannya sewaktu masih manusia dia tidak menarik. Waktu itu pun dia tampan. Ditambah oleh seragam yang dikenakannya, pesonanya jadi naik berkali lipat. Namun semua masih dalam batas wajar. Paling hanya tetangga depan rumahnya -- seorang perawan tua -- yang berusaha untuk mengikutinya ke sana kemari. Yah meskipun sampai saat ini tetangganya itu masih tetap saja melakukannya, dalam bentuk arwah tapi.

Mendekati pos imigrasi, Safan menekan earbuds di telinga kanannya. Sebuah panggilan masuk ke ponselnya yang telah aktif.

"Aku masih dalam perjalanan. 20 menit lagi sampai," suara seorang pria.

"20 menit. Lebih dari itu, kau dipecat," Safan memperingatkan dengan suara datar.

"Oh, astaga! Dia mulai lagi dengan ancamannya!," pria di seberang menggerutu akan sikap Safan seolah pria itu tengah berbicara dengan orang lain.

"Aku sudah sangat dermawan padamu, Muris," Safan mengingatkan.

"Baiklah, baiklah, Bos! Aku akan ngebut sampai terbang sekarang!" Muris menyerah.

Sambungan terputus setelahnya. Safan masih bersikap datar meski dia tidak menyukai keterlambatan dan ketidakdisiplinan -- kehidupannya sebagai seorang tentara masih terbawa sampai sekarang. Dan Muris -- teman sekaligus bawahannya itu -- masih saja terlambat sekalipun sudah mengetahuinya.

Nampaknya Muris tahu bila Safan hanya menggertak saja. Bagaimanapun Safan takkan bisa memecat pria itu. Bukan karena prestasinya atau semacamnya tetapi Safan butuh Muris untuk sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain Muris.

Berbicara mengenai Muris, pria itu adalah Muris ke 102 yang ditemui Safan sejak tahun 1937 -- sejak Safan menjadi vampir, lebih tepatnya. Muris yang terakhir dikenalnya sebelum itu adalah letting sekaligus sahabatnya. Perang Dunia II yang meletus 2 tahun kemudian pada 1939 membuat Muris lettingnya harus gugur. Begitu pula dengan keluarga Safan dan beberapa orang yang dikenalnya. Sisanya, mereka yang mampu bertahan melewati perang meninggal karena sakit atau karena konflik yang terjadi di Bosnia setelahnya.

Safan masih mengingat semua itu seperti baru saja terjadi. Dia ingat bagaimana dirinya dari kejauhan melihat kubu pertahanan Muris dijatuhi bom. Dia ingat bagaimana keluarga intinya harus berakhir di pengungsian dan akhirnya terjebak di antara berondongan peluru. Dia ingat bagaimana anyirnya bau darah tercampur dengan bau gosong sisa pertempuran. Namun dari semuanya, yang paling diingatnya adalah dirinya yang tak mampu menyelematkan mereka sekalipun dengan wujudnya sebagai vampir.

Kekuatannya tidak berguna ketika dia membutuhkannya. Menyedihkan memang. Tetapi Safan tak merasakan apapun selain dingin dalam jiwanya saat menyaksikan bagaimana orang-orang terdekatnya meninggal.

Safan sudah kehilangan kemampuannya untuk merasa sejak detik pertama menjadi vampir. Apakah mungkin seharusnya dia bersyukur? Bila dia harus melewati semua itu sebagai seorang manusia, sudah pasti Safan takkan mampu menanggungnya. Dia akan mati karena gila. Entahlah. Yang pasti, hidup dalam kekosongan jiwa dan terjebak dalam keabadian waktu pun bukan sesuatu yang menyenangkan.

"Safan Nišić," petugas imigrasi menyebutkan namanya. Pria itu memperhatikan Safan dengan seksama. Mencocokkan profil dirinya dengan foto yang tertempel pada passportnya yang kini berada dalam genggaman pria itu.

"Saya, Pak," Safan merespon dengan balik menatap si petugas.

Setelah dirasa tak ada masalah, petugas itu meloloskan Safan. "Selamat datang di rumah," katanya sembari mengembalikan passport milik Safan.

"Terima kasih, Pak."

Safan pun melenggang melewati pos imigrasi. Kini, setelah selama setahun berada di luar negeri, Safan secara resmi sudah kembali lagi ke Bosnia. Tidak peduli ke manapun dia mengembara selama 83 tahun ini, dia harus tetap kembali ke negaranya menjelang akhir musim panas. Tepatnya, kembali ke Mostar sebagai titik awal di mana semua itu terjadi.