webnovel

Bagian satu

Kau mencintai ku tanpa aku pinta, dan kini kau ingin aku bertanggung jawab untuk setiap luka? jangan bercanda!

-F

***

Aku meneliti kembali penampilanku di depan cermin, hari ini ada rapat penting di perusahaan tempatku bekerja. Dan seperti biasa, sebagai sekretaris bos besar aku harus bisa menyeimbangi penampilan sempurna bosku, Reno Adiyaksa.

Setelah memastikan puas dengan penampilanku, aku meraih kunci mobil dan tasku di atas ranjang. Semoga saja jalanan tidak terlalu macet.

Tiga puluh menit ku habiskan untuk mengendara dan tiba di kantor tepat pukul 7.30 WIB.

Aku menghela nafas beberapa kali sebelum melangkahkan kaki memasuki lobi perusahaan.

Jelas saja lobi masih sepi. Mengingat jam masuk kantor pukul 8.00 WIB.

"Eh, Mbak Ajeng, pagi banget udah ngantor."

Sapaan dari satpam perusahaan yang kebetulan keluar dari lift membuatku tersenyum dan mengangguk kecil.

"Biasalah, Mang, bos."

Mang Jajang yang cukup sering menyapaku itu tersenyum maklum sambil berucap semangat. Aku hanya membalas dengan anggukan dan memasuki lift.

Selagi menunggu lift tiba di lantai 20, aku memainkan ponselku. Mengirim pesan pada Anggia, sahabatku sekaligus sekretaris kedua bos besar.

Jika tugasku memegang data-data eksternal, maka Anggia yang berperan sebagai pemegang data-data internal perusahaan.

Pintu lift terbuka setelah bunyi dentingan. Aku melangkahkan kaki menuju mejaku yang tepat berada di depan ruangan Reno Adiyaksa.

Setelah meletakkan tasku di laci meja kerja, aku membawa beberapa file yang semalam sudah aku cek kembali memasuki ruangan Reno.

"Selamat pagi." Ucapku saat aku membuka pintu dan Reno sudah duduk di singgasananya dengan ponsel menyala di atas meja.

"Iya, Ma, nanti Reno usahakan pulang cepat."

Oh, ternyata di sedang menelpon dengan ibunya. Aku meletakkan map yang ku bawa ke atas mejanya. Kemudian berlalu setelah mengangguk sopan. Namun belum sempat mencapai pintu ruangannya, lenganku ditahan membuatku menoleh. Aku bertanya melalui tatapan mataku, namun Reno hanya diam menatap lurus padaku.

"Bawa Ajeng sekalian, ada yang mau Mama omongin sama dia. Penting."

Aku menghela nafas saat namaku mulai di bawa-bawa dalam pembicaraan anak dan ibu itu.

"Kenapa?" Tanyaku saat Reno sudah memutuskan sambungan telepon.

"Mama mau ketemu kamu. Dan saya..."

"Pak, saya sudah bilang kalau saya gak bisa terima lamaran bapak. Saya gak mau di cap pelakor."

"Ajeng, dengerin saya. Sejak kapan kamu peduli sama omongan orang? Bukannya selama ini kamu selalu nutup telinga setiap orang bilang kamu beginilah, begitulah, dan..."

"Itu beda kasus, Pak. Karena apa yang selama ini mereka omongin hanya gosip, bukan kenyataan sebenarnya."

"Bahkan kamu gak mempertimbangkan sedikit pun perasaan saya?"

Ini yang membuatku serba salah. Aku tau posisi ku terjebak. Aku benar-benar bodoh. Harusnya aku tidak membiarkan Reno menyentuhku. Aku tidak tau kalau terjebak dengannya akan serumit ini.

"Bapak udah punya Bu Lita. Dan kalian saling mencintai. Apalagi yang kurang? Saya yakin perasaan bapak untuk saya hanya terbawa suasana semata. Mungkin besok, lusa atau beberapa waktu ke depan perasaan bapak hilang tak berbekas."

Reno memandangku dengan sorot mata yang sulit ku artikan. Reno memang tidak lagi bisa dikatakan muda. Usia kami terpaut cukup jauh. Aku yang tahun ini menginjak usia 25 tahun, sedangkan Reno 35 tahun. Perbedaan umur 10 tahun bukanlah sesuatu yang salah sebenarnya. Hanya saja statusnya tidak mendukung sama sekali. Reno sudah punya istri. Dan aku sudah punya Oji, kekasihku.

"Permisi, Pak."

Aku berjalan mendekati pintu, terkunci. Sial. Selalu begini.

Aku berbalik kembali menghadap Reno. Tampangnya masih sama, tak terbaca.

"Kenapa?" Tanyanya. Aku mendengkus kesal. Kenapa? Apa dia becanda?

"Buka pintunya."

Reno berbalik dan kembali berjalan menuju kursi kebesarannya. Duduk dengan tenang disana dan mengabaikan ku.

"Mas,"

Semoga saja kali ini dia bisa luluh.

"Kamu gak akan kemana-mana sebelum mengiyakan permintaan saya."

Aku benar-benar kesal luar biasa. Masih ada spesies manusia pemaksa seperti Reno Adiyaksa? Kalau iya tolong segera di musnahkan. Karena tidak baik bagi kesehatan jiwa dan raga seseorang. Aku misalnya.

"Mas, jangan mempersulit keadaan."

"Apanya yang sulit, Ajeng Larasati? Saya meminta kamu untuk menjadi istri saya..."

"Istri kedua." Ujarku memotong ucapannya.

Reno menghela nafas sambil mengusap kasar wajahnya.

"Saya mencintai kamu. Apa itu gak cukup?"

Aku bergeming di tempatku. Sambil menunduk aku mencoba menguatkan hati untuk bicara sesuatu hal yang mungkin saja akan ku sesali.

"Saya tidak mencintai kamu, Mas."

Sial. Dadaku sesak. Ku dengar suara benda terbanting ke lantai. Aku menutup mata karena takut untuk melihat reaksinya. Aku sering sekali membuatnya marah, tetapi dalam konteks pekerjaan. Bukan perasaan seperti saat ini.

"Aaaaaaa!"

Aku terpekik kaget saat tubuhku melayang dalam gendongannya. Reno benar-benar gila.

"Kamu mau apa, Mas?!"

Reno terus berjalan menuju kamar pribadinya. Sial. Aku benar-benar menyesal.

"Hukuman setimpal menantimu."

***

Aku baru dibebaskan oleh Reno setelah jam makan siang usai. Sialan. Aku benar-benar lelah dan lemas. Meski aku sudah makan siang sebelum keluar dari ruangannya tadi tapi tetap saja aku lelah. Reno benar-benar menguras tenagaku.

Aku kembali ke mejaku setelah sebelumnya membenahi penampilanku di toilet khusus sekretaris di ujung koridor lantai 20.

"Gi, are you okay?"

Anggia tersentak kala aku memegang pundaknya. Dengan refleks Anggia menghapus aliran di pipinya. Pasti ada sesuatu hal yang dia pikirkan sehingga tidak mendengar langkah kakiku mendekat.

"Oh, ya. I'm fine." Anggia tersenyum melihat ke arahku.

"Dari mana?" tanyanya.

Aku menghempaskan bokongku di kursi sebelahnya. "Gue bener-bener butuh liburan, Gi. Otak gue sumpek liat bos besar tiap hari. Mana makin hot lagi. Kan gue jadi pingin di halalin. Sayangnya udah ada istri. Sial!"

Anggia tertawa sambil menepuk pundakku. "Jangan liburan dong. Entar tugas malah numpuk ke gue."

Aku mendelik sinis, "lo mah gitu. Gak dukung niat move on gue."

Temanku itu mencibir. "Move on? Gimana mau move on kalo lo setiap waktu ah uh ah uh di dalam sana."

Aku terbahak. "Sialan." Desisku yang disambut tawa renyah dari bibirnya.

"Gimana rapat tadi?" Tanyaku seolah tersadar bahwa aku dan Reno tidak menghadiri rapat penting pagi tadi.

"Aman. Gak usah sok khawatir gitu deh. Gue bisa handle selagi kalian sibuk produksi."

Fak!

Aku menatapnya menyipit dan itu semakin membuatnya semangat untuk menggodaku.

Andai kehidupan tidak semunafik ini. Aku mungkin sudah mengiyakan permintaan Reno. Tapi bagaimana dengan Oji? Meskipun Oji tidak pernah membahas kemana hubungan kami akan dilanjutkan, tapi aku yakin Oji serius denganku. Aku memang mencintai Oji, dulu, sebelum Reno berhasil memporak-porandakan hatiku. Bahkan aku benar-benar tidak habis pikir bagaimana bisa memberikan sesuatu berharga padanya. Padahal dengan Oji aku selalu menjaga jarak aman.

Reno Adiyaksa sungguh berbahaya. Tapi aku mencintainya. Oh, Tuhan! Berdosakah aku mencintai suami orang?

***