webnovel

Heaven's Mandate Wedding

“And, you know? Aku menyukainya sejak awal bertemu. Namanya Liu He Lin. Manager yang baru di restoran Ketih’s Jr. Ini kartu namanya.” “Tionghoa?” Emanuel sebal, langsung menepis kartu nama itu. “Yang benar saja! Itu bukan seleraku!” “Tapi dia baik!” “Semua perempuan yang kau temui juga, kau bilang baik, ma. Tidak-tidak! I’m sorry. Aku capek!” “El… Sekali ini saja! Demi mama!” “Pa…” Aku kembali memeluknya. “Papa… Tega banget sih, ninggalin aku di dunia!” “Karena tugasku sudah selesai, sayang. Kini. Kau telah menemukan orang yang mencintaimu melebihi aku mencintaimu…” “Kata siapa, pa!” “Percayalah kepadaku, Lin! Emanuel tidak akan pernah mengecewakanmu! Jadi tolong jaga perasaan dia, jika kau ingin bahagia! Jangan pernah coba-coba kau mengkhianati dia! Atau kau akan celaka!” Liu He Lin: Nasib buruk, aku bertemu dengannya. Playboy kelas kakap itu. Kalau saja bukan karena balas budi, orang tuaku pasti tidak akan sudi melerakan putri semata wayangnya untuk menikah denganmu. Dasar bedebah! Emanuel Pradipto: Gadis lugu itu. Mau bersanding dengan gue di pelaminan? Yang benar saja! Kalau bukan berkat orang tua gue, mana mungkin gue sudi berkenalan dengan loe. And, our story is begin. Hidup dalam sebuah pernikahan tanpa ikatan cinta, bertahan hidup bersama, berkat kemunafikan. Namun. Hingga pada akhirnya. Aku merenung. Sejauh manakah kita akan terus bertahan dalam ego masing-masing, dalam sebuah pernikahan kontrak omong kosong ini? Dapatkan kita merelakan satu sama lain, pada saatnya tiba perpisahan? Atau. Haruskah aku memperjuangkanmu sekali lagi, bukan hanya demi baktiku kepada orang tua kita? Tapi demi aku dan kau?

Yuni_Christine · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
15 Chs

Finally, We Found You

Sukabumi terkenal Situ dan Curug-curugnya yang menawan. Dan aku ingin sekali menikmati suasana alam di sini. Salah satunya adalah wisata Situ Gunung dan Curug Bibijilan. Ini. Indah sekali. Tenang. Damai. Telepon tiba-tiba berdering. Dari ncim.

"Ya, halo ncim! Ada apa?"

"Kau di mana?"

"Aku di Sukabumi…"

"Ngapain?"

"Nanti aku ceritakan jika sudah beres semuanya…"

"Beres apa, sayang?"

"Pereceraianku dengan Emanuel."

"Baiklah. Sepertinya aku harus menyusul. Karena kau harus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi! Dari A sampai Z!"

"Jangan, ncim. Jangan khawatirkan aku!"

"Ya sudah, kalau begitu kembalilah ke Semarang!"

"Tidak sekarang, ncim. Aku tidak ingin bertemu dengan Emanuel untuk sementara waktu."

"Lin!" Ncim tersentak. Lalu loudspeaker. Agar Emanuel dan Adhira bisa leluasa mendengarnya. "Kau menangis?"

"Aku… Aku bukan perempuan yang baik untuk El, ncim. Aku mengkhianatinya…"

"Maksudmu?"

"Aku selingkuh dengan Cello…"

"Cello? David Cello maksudmu? Teman sekolah kau yang dulu?"

"Tapi… Aku sudah putus dengan Cello… Aku bersalah, ncim…"

"Lalu kenapa kau mau pisah dengan Emanuel?"

"Karena aku salah, tidak becus menjaga suamiku…"

Lin. Emanuel kembali berlinang. Itu tandanya kau mencintaiku, Lin.

"Sekarang posisi kau di Sukabumi mana?"

"Curug Bibijilan."

"Menginap di mana?"

"Hotel Bibijilan, ncim."

Gue pun langsung menyusun rencana untuk bertemu dengan Helin sekarang juga. "Terima kasih, ncim! Aku harus pergi sekarang!"

***

Adhira tidak ikut campur lagi. Begitu juga dengan Brandon dan Bryn. Beliau yang menyuruh. Agar Emanuel saja yang berjuang sendirian. Untuk menemui Helin agar kembali ke dalam pelukannya. Dengan caranya sendiri. "Good luck, El sayang!"

***

Puas rasanya self healing di sini. Setidaknya, aku bisa refreshing dari kepenatan kehidupanku setelah bertemu Emanuel Pradipto dan atas kepergian Liu Da Lan. Kini, Helin sebatang kara. Namun. Aku. Tak harus terlarut ke dalam lubang kesedihan lebih mendalam. Berkat pemandangan indah di sini. Aku seolah menyatu dengan alam.

"Lin!"

Sepertinya aku hampir gila. Sudah tak waras, telah berhalusinasi mendengar suara yang kurindukan akhir-akhir ini. Tidak. Seharusnya. Air mata ini, tidak lagi membendung. Begitu juga perasaanku yang kembali tak kenal arah.

"Liu He Lin!"

Suara itu semakin dekat. Aku menoleh. Pria itu, kini ada dihadapanku. Mustahil. "El… Bagaimana bisa kau ada di sini?"

"Ncim…"

"Ish!"

Aku kesal, kenapa sih dia nggak ada romantisnya sama sekali? Datang-datang, bukannya memelukku. Tapi malah bertingkah menyebalkan seperti ini. Hei, Lin! Ingat, fokus! Kau harus fokus dengan tujuanmu jauh-jauh datang ke sini.

El. Apa yang kau lakukan! Tidak perlu kau bersujud dihadapanku seperti itu. "Maafkan aku, telah membuatmu sedih, Lin… Malam itu aku kesal setengah mati. Karena aku tahu hubunganmu dengan David Cello di belakangku. Aku tak bisa mengotrol emosiku, Lin…"

Aku tidak peduli dengan segala alasannya. Aku benar-benar kesal. "Aku sudah mengajukan perceraian kita…"

"Aku keberatan."

"Kau bisa mencari perempuan yang lebih baik dariku!"

Emanuel mendelik. "Really! Sound good!" Pria itu lalu mengutak-atik ponselnya. Seolah menelepon seseorang. "Halo! Sayang!"

PLAK!

"Loe tuh ya, emang brengsek! Nggak pernah memikirkan perasaan gue!"

"Perasaan apa, Lin?"

"Gue sayang Loe! Cello!"

"Sayangnya, dia sudah mendekam di penjara…"

"Apa maksud loe!"

"Jika kau sayang dengan cinta pertamamu yang lebih keparat dari yang kau kira itu, silahkan! Temui dia di balik jeruji besi!"

"Cello…"

Helin tampak kehilangan arah. Dia langsung pergi, dengan pikiran kosong. Gue memeluknya dari belakang, mendekapnya erat. "Jangan pergi lagi, Lin! Kumohon…"

"Cello…"

"Aku tahu permasalahanmu dengan David Cello! Aku tahu kalian sudah putus! Maka dia nekad melakukan apapun itu untuk memisahkan kita berdua, Lin… Tapi tidak kali ini! Aku tak akan membiarkanmu pergi lagi…"

Aku sudah berupaya untuk tersenyum sambil menata kembali kehidupan baruku setelah ini. Apapun yang itu terjadi. Tapi tidak, aku kini rapuh. Di dalam pelukan Emanuel. Aku sesegukan.

"Liu He Lin! Putriku!"

***

Adhira Batari dan Edward Pradipto datang. Tidak mungkin. Bukankah Edward begitu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga sulit sekali meluangkan waktu? Tapi kini, mereka hadir bersama. Dengan siapa pria paruh baya itu? Riyadi Helu? Sambil merengkuh seorang wanita cantik yang setia mendampinginya, mustahil. Itu, Liu He Na.

"Anakku…" Liu He Na memelukku. Rasanya. Rindu ini. Begitu meluap. "Sayang…"

"Ma…"

"Maafkan aku, sayang!"

"Aku yang seharusnya minta maaf, Lin…"

"Om!"

Salah Riyadi yang sudah mengerahkan berbagai cara untuk menikahi He Na. Termasuk menghapus masa lalunya di dunia bisnis. Dengan berganti nama menjadi Sandara Helu. Dan ketika mengetahui kabar pernikahan Emanuel Pradipto dengan Liu He Lin dari jauh, Riyadi disamping He Na, berhenti untuk bersaing secara ketat seperti sedia kala. Sehingga perusahaan properti Pradipto berkembang melesat seperti jet.

"Benarkah itu?"

"He Na orang yang baik dan sangat pintar mengatur strategi bisnis. Dia juga pintar memasak dan mengurus rumah tangga. Termasuk mengurus buah hati kami. Leon dan Andy."

"Halo, tante! Halo, om!"

"Hai…"

Anak itu masih kecil. Kira-kira sudah berusia empat dan enam tahun. Keduanya sangat menggemaskan. Juga sopan.

"Mereka mirip sekali denganmu, Lin. Gampang sekali di urus dan sangat pintar!"

Aku terharu. Perkiraanku salah selama ini. He Na tak sejahat yang kupikirkan sebelumnya. Ternyata. Bercerai dengan Da Lan dan menikah lagi dengan Christoper Riyadi Helu adalah salah satu ambisi pria paruh baya itu. Itulah sebabnya, kami datang ke sini. Karena aku tidak ingin, perceraian itu terjadi antara kau dan Emanuel, Lin. Agar nasib kau tidak seburuk lubuk hatiku yang sangat mencintai Liu Da Lan.

Kini, He Na hanya bisa menyesal tidak bisa bertemu dengan orang yang dicintainya selama ini, untuk selamanya. Semoga kau berbahagia di atas sana, Lan. Semoga Tuhan senantiasa memberimu tempat yang layak, sebanding kebaikanmu selama ini di dunia.

"Liu He Lin…"

Aku malu, harus berprilaku romantis di hadapan semua orang. Maka aku mengalihkannya dengan cuek kepada Emanuel dan mengajak adik-adikku yang menggemaskan ini untuk bermain bersama.

"Sepertinya Helin menyukai Leon dan Andy."

"Apakah dia sudah memaafkan kami?"

"I think so."

"Bagaimana denganmu? Adhira?"

"Ya?"

"Kau sudah memaafkan kami juga?"

"Menurutmu?"

"I think so!"

"Sound good!"

"Terima kasih kau mau memafkanku dan juga Riyadi, Adhira. Itu a

dalah sebuah penghormatan besar bagi kami…"

"Asalkan kau harus bekerja sama denganku, di proyek terbaru kami!"

"Of course!"

Adhira dan He Na saling berpelukan. Menandakan kebahagiaan yang tak terkira. Bertahun-tahun kami perang dingin. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya, pada akhirnya kami menjadi teman. Bahkan besan.

"So. How about me?"

"Itu urusanmu, El. By the way. Hari sudah makin larut. Sepertinya kita harus kembali ke penginapan."

"Dengan senang hati!"

"Sandara!"

"Ya?"

"Sepertinya kita harus mengobrol sampai puas sambil spa massage di penginapan."

"Ide yang bagus! Kebetulan perjalanan kita tadi sangatlah melelahkan…"

Adhira tertawa lepas. "Helikopter itu…"

"Kami tidak ada cara lain selain naik helikopter ke sini."

"Langsung dari Singapore?"

"Ya! Bahkan kami sedang ada pertemuan penting dengan investor."

"Kupikir hanya kau saja yang melakukannya…"

"Kau juga sering seperti itu?"

"Tentu saja pernah! Demi bertemu dengan Da Lan yang sedang dirawat di rumah sakit kala itu…"

Air muka He Na mendadak sendu. "Liu Da Lan."

Adhira merasa simpati. Lalu memeluk He Na agar tidak rapuh. "Maafkan aku jika itu menyinggung perasaanmu…"

Edward menepuk bahu Riyadi bersahaja. "Sepertinya, istri-istri kita sangat akrab."

"Seharusnya sejak dulu, kita bersatu seperti ini…"

"Itu karena kau!"

"Kau yang lebih dulu memulai perang dingin!"

"Enak saja! Ambisimu itu, bung! Hampir membuatku mati rasa!"

Riyadi tertawa. "Benarkah itu? Tapi tidak bisa dipungkiri, kau memang hebat Edward!"

"Kau ini!" Edward sebal. "Itu juga karena kau mengalah…"

"Lalu, proyek baru apa yang akan dibicarakan kita setelah pulang dari sini?"

Sedangkan Emanuel. Berjalan sendirian di belakang. Gue kecut. Orang tua kami sudah berbaikkan. Lalu, bagaimana nasib gue? Dengan Liu He Lin? Dia pasti sangat membenci gue.

***

"Helin. Kau diantar Emanuel saja, ya."

"Tidak, lebih baik aku naik taksi saja…"

"Tapi ini sudah malam!" Emanuel tiba-tiba saja merengkuhku, agar masuk ke dalam mobil. "Aku yang akan membantumu pindahan ke penginapan kami…"

Helin menepisnya. "Tidak usah repot-repot!"

Edward dan Adhira, begitu pula Riyadi dan He Na lepas tangan. Mereka pergi lebih dulu. Meninggalkan kami berdua.

Gerimis. Mereka semakin mempercepat langkah. Hingga tak terlihat lagi. Sedangkan Emanuel, dengan sigap membuka jasnya untuk berubah fungsi menjadi penadah tubuh Helin. Agar tidak basah. Lagi-lagi. Dia melakukan hal yang sama. Apakah ini hanya sekedar rayuan gombalmu, El? Tapi tidak semudah itu aku luluh.

"Tidak usah repot-repot! Ini hanya gerimis!"

"Lin!"

Aku mempercepat langkahku ke jalan besar. Agar dia tidak melihatku menangis.

"Kumohon, Lin!"

Emanuel menahanku dengan pelukan dari belakang. Begitu erat sehingga aku tak bisa berkutik. El. Kau menangis? Apakah kau merasakan hal yang sama denganku? Rasa ini? Sakit.

"Apakah kau mengerti perasaanku, El? Kumohon. Kali ini saja. Beri aku waktu untuk sendiri!"

Sebuah taksi kebetulan lewat. Dengan sigap, aku langsung masuk saja ke dalamnya. Emanuel merasa menyesal, dia lengah. Ia pun tak bisa membiarkan wanitanya sendirian seperti itu di tempat asing seperti ini. Gue pun berusaha keras mengikuti taksi itu. Dan menghadangnya di pertengahan jalan. Di kala hujan semakin lama semakin deras. Aku menghela nafas sebal. Baiklah. Sudah cukup aku bersabar. Mati kau kali ini, El!

Akhirnya, Helin keluar dari taksi dan berjalan melawan hujan yang semakin deras. Menuju mobil si keparat itu yang dengan seenak dengkul telah menghadang perjalananku. Aku tidak peduli aku akan basah kuyup. Aku terus melangkah. Pasrah, dan membiarkan alam yang bekerja sebagaimana semesetinya, sebagai saksi akhir kisah ini.

Emanuel pun turun. Dan berlari kecil ke arahku. Dengan gayanya yang sok perhatian, sambil membawa payung. Di saat kami berhadapan selekat ini, aku pun beraksi.

"KAU INI!"

Gue sudah tak peduli dia akan menampar dan memaki gue bertubi-tubi, gue hanya bisa pasrah. Namun, Lin. Apa yang kau lakukan!

Bibir kami menyatu.

Mustahil.

Bukan waktunya gue menikmatinya. Karena hujan ini deras sekali. Maka Emanuel cepat-cepat merengkuh Helin masuk ke dalam mobil. Untuk menutupi aurat Helin, gue merapatkan jas ini lekat-lekat. Sambil mengecilkan AC.

Lalu. Kami saling diam satu sama lain selama perjalanan. Ciuman itu. Gue masih tidak habis pikir, apa yang sebenarnya ada dibenak Helin saat ini? Apakah itu pertanda dia telah memaafkan gue? Dan mengakui perasaannya terhadap gue? Helin mencintai gue?

"Lin."

Tidak ada tanggapan.

Baiklah. Gue harus bersabar. Sebentar lagi, kami akan sampai di penginapan. Bukan tempat kau menginap, Lin. Karena aku tidak tahu di mana tepatnya. Sedangkan kau selalu diam sedari tadi.

Ketika gue berbelok, Helin mengatakan sesuatu. "Hotel Bibijilan."

"Apa?" Oh ya, gue baru ingat sekarang. Ncim menyebut hotel itu sebelumnya. Bodohnya gue, bagaimana bisa lupa. Lokasinya dekat curug yang tadi kami kunjungi. Apakah perlu putar balik? Tapi itu mustahil. Ini sudah di tengah kota.

"Kau ini! Kenapa baru katakan sekarang?"

Helin diam lagi.

"Ini sudah hampir jam delapan… Hujan juga deras sekali. Kita tidak bisa kembali ke sana kecuali besok pagi."

"Ya sudah, ke penginapan mereka saja!"

"Orang tua kita, maksudmu?"

"Siapa lagi! Cepat!"

"Kau ini, galak sekali!"

"Temani aku malam ini!"

"Apa!"

"Pesan dua kamar yang berbeda!"

"Kau ini sebenarnya kenapa?"

"Turuti saja!"

"Tapi…"

"Jangan bawel!"

***

"Maafkan aku, Lin. Penginapan ini semacam vila. Hanya tersisa kamar kosong di sini…"

"Kata siapa sisa satu? Memangnya susternya Andy mau tidur di mana?"

"Ya sudah, kalau begitu aku tidur bareng suster!"

"Ish! Kau ini Lin! Keras kepala sekali! Mau sampai kapan harus menghindar terus dari suamimu sendiri, hah?"

"Aku tidak menghindar…"

"Lalu, apa namanya jika bukan?"

Tiba-tiba saja, tubuhku terasa ringan. Emanuel menggendongku. Menuju sebuah kamar.

"Hei! El! Apa yang kau lakukan!"

Emanuel mendelik nakal. Oh tidak.

Adhira tersenyum lebar. Itu dia, baru putraku. "Selamat menikmati malam pertama kalian, sayang!"

***

"Finally." Gue bisa lega sekarang. Di kamar ini, hanya ada kami berdua.

"Kenapa kau lakukan ini, El!"

"Karena aku tidak tahan dengan ocehan orang tua kita! Mereka bawel sekali! Maafkan aku, Lin. Aku lelah sekali…" Emanuel lalu menyuruhku untuk bilas dan berganti pakaian hangat. Sementara dia, keluar membawa peralatan mandi berikut pakaian keringnya. Sepertinya, dia pun akan melakukan hal yang sama di kamar mandi yang berbeda. El, aku merasa tersanjung. Sampai saat ini pun, kau masih berusaha keras untuk menghormatiku. Aku rindu itu, El. Sungguh.

Sepuluh menit kemudian. Aku sudah rapih. Dengan pakaian yang begitu tebal. Karena semakin malam, udara di sini semakin dingin. Sedangkan, Emanuel masih belum kunjung kembali. Di sisi lain, aku sudah tenang sekarang. Aku sudah tidak terlalu takut jika memang harus tidur bersama Emanuel. Toh, kami suami istri. Aku menguap. Aku ngantuk, bersiap untuk tidur. Setelah panjatkan doa, aku memejamkan mata.

"Lin!"

Gue mendapati Helin sudah terlelap. Gue menghela nafas panjang. Ya sudah, mau bagaimana lagi. Gue hanya bisa mengecup keningnya, lalu beranjak ke sofa. Gue akan tidur di sana. Namun. Tangan ini, ada yang menarik gue ke dalam selimut Helin.

"El…"

Kami saling menatap satu sama lain. Selekat ini. Entah mengapa, gue tak bisa mengontrol emosi. Birahi ini, begitu meluap. Kau cantik sekali malam ini, Lin. Dan juga wangi. Namun, gue tetap berusaha menahan diri. "Ya? Kau belum tidur?"

"By the way, El. Aku sudah menyerahkan surat perceraian kita kepada temanku yang bekerja sebagai pengacara."

Pria itu terkejut hingga terlonjak. "APA!"

"Makanya aku datang ke sini, karena dia tinggal di sini. Lalu sekarang, aku harus bagaimana?"

"Harus bagaimana apa, maksudmu?" Emanuel tiba-tiba mendelik. Paham. "Lin… Cukup sudah!" Emanuel merengkuh tubuhku dari balik selimut. Lalu menciumku. Penuh dengan hasrat.

Liu He Lin. What the hell. Untuk pertama kalinya. Aku bisa merasakan gairahmu yang membara, sayang. "Cukup sudah, Lin. Jangan seperti ini lagi! Atau aku bisa gila!" Ujar El sambil mengecupku tiada henti. Tidak ada perlawan berarti dari Helin. Kami saling mencintai. Itulah yang membuat gue gemas sedari tadi. Menunggu waktu yang tepat, tapi mau sampai kapan jika tidak sekarang. Kami saling mencurahkan perasaan sayang di sini. Saling menyatu satu sama lain.

Dan gue bersumpah, tidak akan ada yang bisa memisahkan kami sekali lagi. Termasuk ego masing-masing.

"Aku mencintaimu, El…"

"I know… I know… Jangan panggil aku Emanuel Pradipto jika tidak bisa menaklukkan seorang wanita, termasuk kau, nona angkuh, keras kepala bagaikan batu! I love you too… I love you so much!"

"Ish!" Aku sebal. Aku dorong saja dia jauh-jauh. "Awas kau ya!"

Emanuel terkekeh. Gue senang, pada akhirnya kisah ini berakhir dengan bahagia. Liu He Lin telah mengutarakan perasaannya, walaupun gue tidak tahu persis sejak kapan rasa itu mulai tumbuh dari dalam lubuk hatinya. Dan di sini, dia telah mencurahkan perasaan mendalamnya itu. Bersama gue, pria yang paling bahagia di dunia. Lalu, gue kembali memeluk Helin dengan kecupan manis dan meneruskan urusan ranjang kami berdua. Maaf, kami harus mematikan lampu. Jangan mengintip!

***

Selamat pagi, dunia. Oh Tuhan. Malam itu adalah malam terbaik yang pernah gue alami. Sayangnya ketika gue terbangun dan ingin memeluknya sekali lagi, Helin sudah tidak ada di samping gue. Namun. Aroma khas ini begitu menusuk. Gue bisa menebak, istri gue pasti sedang mengolahnya. Makanan favorit gue.

Emanuel pun getap, bergegas mandi dan bersiap-siap. Gue senang, melihat keluarga kami yang sedang berbahagia, penuh canda tawa saling menyertai satu sama lain.

"Sayang…"

"El! Kau ini! Jangan! Aku sedang memasak… Nanti kalau kena minyak panas, bagaimana!"

Setelah mengecupku, Emanuel melonggarkan pelukannya. Lalu menyapa yang lain di ruang tengah. "Memasaklah yang enak, Lin!"

Adhira mendelik. Langsung menghampiri Helin. "Lin! Jadi benar, kalian sudah baikkan?"

"Oh, ma. Iya benar…"

"Nice!"

He Na pun menyusul. "Syukurlah, mama senang kau sudah baikkan dengan El. Aku lega."

"Lalu bagaimana dengan malam pertama kalian?"

Helin tersenyum. "Doakan saja agar aku cepat-cepat positif…"

Adhira dan He Na gemas. Pantas kau cantik sekali kali ini, Lin. Rupanya, baru saja berbulan madu. "Puji Tuhan!"

Edward dan Riyadi merasa terganggu dengan ibu-ibu di dapur. Mereka itu, selalu saja berisik jika sedang bersama.

"Lihatlah Helin, sepertinya dia tampak bahagia…"

"Emanuel! Hei, El! Kemarilah!"

"Iya, pa!"

"Nak! Jawab yang jujur kepada kami! Apa yang kau lakukan semalam? Apakah kalian sudah berbaikkan?"

"Tentu saja, melakukan yang harus dilakukan jika sepasang suami istri saling mencintai…"

"Puji Tuhan!"

"Haleluya!"

"Congrats, El!"

"Thank you so much!"

"Finally, perjuanganmu tidak sia-sia, my son!"

***