webnovel

Heaven's Mandate Wedding

“And, you know? Aku menyukainya sejak awal bertemu. Namanya Liu He Lin. Manager yang baru di restoran Ketih’s Jr. Ini kartu namanya.” “Tionghoa?” Emanuel sebal, langsung menepis kartu nama itu. “Yang benar saja! Itu bukan seleraku!” “Tapi dia baik!” “Semua perempuan yang kau temui juga, kau bilang baik, ma. Tidak-tidak! I’m sorry. Aku capek!” “El… Sekali ini saja! Demi mama!” “Pa…” Aku kembali memeluknya. “Papa… Tega banget sih, ninggalin aku di dunia!” “Karena tugasku sudah selesai, sayang. Kini. Kau telah menemukan orang yang mencintaimu melebihi aku mencintaimu…” “Kata siapa, pa!” “Percayalah kepadaku, Lin! Emanuel tidak akan pernah mengecewakanmu! Jadi tolong jaga perasaan dia, jika kau ingin bahagia! Jangan pernah coba-coba kau mengkhianati dia! Atau kau akan celaka!” Liu He Lin: Nasib buruk, aku bertemu dengannya. Playboy kelas kakap itu. Kalau saja bukan karena balas budi, orang tuaku pasti tidak akan sudi melerakan putri semata wayangnya untuk menikah denganmu. Dasar bedebah! Emanuel Pradipto: Gadis lugu itu. Mau bersanding dengan gue di pelaminan? Yang benar saja! Kalau bukan berkat orang tua gue, mana mungkin gue sudi berkenalan dengan loe. And, our story is begin. Hidup dalam sebuah pernikahan tanpa ikatan cinta, bertahan hidup bersama, berkat kemunafikan. Namun. Hingga pada akhirnya. Aku merenung. Sejauh manakah kita akan terus bertahan dalam ego masing-masing, dalam sebuah pernikahan kontrak omong kosong ini? Dapatkan kita merelakan satu sama lain, pada saatnya tiba perpisahan? Atau. Haruskah aku memperjuangkanmu sekali lagi, bukan hanya demi baktiku kepada orang tua kita? Tapi demi aku dan kau?

Yuni_Christine · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
15 Chs

Enough! Please!

Sehari, dua hari berlalu. David Cello berharap, kondisi Helin membaik. Dan sudah pulang dari rumah sakit. Jadi, sudah kupastikan akan aman jika mengirim pesan kepadanya sekarang. Dengan akun samaran. Namun tak dibalasnya. Come on, Lin! Bahkan sampai sejauh mana engkau menghindar, adrenalinku semakin memuncak. Aku tak akan menyerah untuk mendapatkan hatimu kembali. Camkan itu!

***

"Bi Nur. Tolong jaga Helin! Jika terjadi apa-apa, tolong kabari saya segera!"

"Baik, tuan!"

"Aku pergi dulu, Lin. Bye!"

Dari kejauhan. Di seberang apartemen. Gue merasa aman. Bagus! Emanuel sudah berangkat, dengan… BMW terbaru metaliknya? David melengos sebal. Sombong. Pantas Helin betah bersama playboy itu. Kaya raya. Memangnya dia saja yang bisa! Gue juga bisa! Apapun yang kau mau, aku akan berikan, Lin! Apapun itu… Bahkan jiwa raga ini. Walaupun ini salah, tapi aku sungguh-sungguh mencintaimu. Aku tidak rela orang yang kucintai bersama orang lain.

Ponsel Helin lagi-lagi berdering. Dari nomor Cello. Oh Tuhan, kenapa dia selalu saja menggangguku! Lagipula, dari mana dia tahu nomor baruku? Oh. I see. Kemarin, dia pasti diam-diam menyimpan nomor yang ada di ponselku di kala aku tak sadarkan diri.

"Jawab teleponku atau aku akan menghilang darimu untuk selamanya!"

Aku tak membalasnya maupun mengangkat telepon. Hingga berhenti dengan sendirinya. Aku menghela napas lega. Namun tiba-tiba, ada notifikasi, Cello memblokir nomor ini.

Tidak! Tidak, Cello… Apa yang telah kau lakukan. Aku yakin, dia masih ada di sekitar sini. Sedang mengawasiku. Karena tepat Emanuel keluar dari apartemen, Cello menghubungiku lagi, berkali-kali. Namun sekarang, semuanya terlambat. Aku menetaskan air mata. Sudah lama sekali aku memendam perasaan. Kini, penantianku telah berakhir. Di pelukan Emanuel Pradipto. Tidak!

"CELLO! AKU TAHU KAU ADA DI SINI! DI MANA KAU! KELUAR! CEPAT KELUAR!" Seruku tiada henti. Berteriak seperti orang gila. Ke sana dan ke mari. Seperti orang kehilangan arah. "CELLO!"

"Lin."

Aku tersentak. Suara itu. Benar, Cello. Dia ada di sini. Aku pun menoleh. Di parkiran. Yang sepi. Kemudian, pria itu meraihku, hingga masuk ke dalam sebuah mobil.

"David Cello…"

Aku tahu ini salah. Aku tahu ini tidak benar. Dan seharusnya aku tak melakukannya. Tapi perasaan ini, mustahil kupendam. Penuh hasrat, aku membalas ciumannya. "Aku merindukanmu, Cello. Aku selalu memikirkanmu, selalu memimpikanmu, setia menunggumu setiap waktu. Walaupun kupikir itu mustahil, sungguh aku sangat merindukanmu…"

***

Emanuel seharusnya lega karena jadwal prakteknya sudah selesai. Juga tidak ada tindakan persalinan sama sekali untuk saat ini. Tapi kenapa perasaan ini, kenapa gue tiba-tiba saja mual sampai ke ubun-ubun. Apakah gejala mag gue kambuh? Tidak. Sejak kapan gue punya penyakit itu? Holly Shit! Rasa sakit ini, semakin lama semakin menusuk. Baiklah. Lebih baik gue minum terlebih dahulu. Gue pun menyeduh teh manis hangat. Barulah minum obat.

By the way. Kira-kira, Helin. Sedang apa kau sekarang? Gue meraih ponsel, aku sungguh merindukanmu. Apakah kau punya waktu, Lin? Aku ingin sekali makan siang bersama.

PRANG!

"What the hell!"

Emanuel tidak sengaja menyenggol gelas teh manisnya, sehingga gelas yang terbuat dari kaca tersebut berceceran ke mana-mana.

"Shit!"

Kenapa gue merasa aneh sekali? Tidak biasanya benar, Emanuel punya firasat seburuk ini. Gue harus telepon Helin segera, dan memastikan dia baik-baik saja.

***

Hasrat ini semakin jadi. Saat Cello ingin melepas baju, telepon Helin berdering. Saat itu juga, aku tersadar. Di mana ini? Gelap sekali. Ketika David ingin mencumbuku lagi, aku menolaknya mentah-mentah. Lalu merapihkan pakaianku yang tidak karuan, yang hampir terlepas. Kemudian keluar dari mobil.

"Halo! El!"

"Shit! Emanuel! Selalu saja Emanuel!"

"Cello. Maaf, aku harus pergi…"

"Pergi! Pergi saja!"

Helin tersentak. "Cello! Kau cemburu?"

"Bukan! Lebih tepatnya, aku masih ingin bersamamu!"

"Aku akan menghubungimu, setelah aku ada waktu! Bye!"

"Apakah kau akan kembali ke apartemen?"

"Tentu saja! Emanuel akan menjemputku. Dia ingin makan siang bersama. Jadi kau, cepatlah pergi! Sebelum mati di tempat!"

Cello terkekeh. "Maafkan aku tidak bisa mengantarmu sampai ke atas! Aku akan menghubungimu jika sudah sampai ke apartemenku."

"Apartemen?"

"Memangnya, si keparat itu saja yang bisa tinggal di apartemen mewah! Aku juga tinggal di apartemenku, tak kalah mewahnya dibandingkan di sini!"

"Apakah apartemenmu punya kolam renang, spa dan jacuzzi pribadi?"

"What the hell!"

"But I still love you just the way you are… Bye!"

***

Helin tampak lebih ceria dari sebelumnya. Apakah gue harus melakukan hal menjengkelkan, agar perempuanku kembali seperti sedia kala? Tapi tentu saja tidak. Aku memang suka kau apa adanya, Lin. Mengikuti suasana hatimu, itulah kau.

"By the way. Bagaimana progres restoran?"

"Sedang menuju proses visualisasi logo."

"Sound good!"

"Oh ya. Sabtu ini, aku mau bertemu dengan seorang teman… Kenalanku yang jago interior. Untuk membahas ide desain ruangan…"

"Aku kebetulan ada jadwal persalinan sesar. Jadi maaf, aku tidak bisa antar."

Helin mendelik. Siapa juga yang kepengen di antar loe, El! Cepat-cepat aku mengirim pesan kepada Cello. See you, on Saturday! Our first date.

***

Hari berganti hari. Akhirnya, sabtu juga. Aku dan Cello janjian di kedai kopi Jakarta Utara. Kami sengaja mencari tempat yang jauh, agar kami bisa leluasa menikmati kebersamaan kami, berdua saja. Di tempat ini. Tidak ada satu pun orang yang mengenal mereka berdua.

"Sudah sampai, non!"

"Terima kasih, pak Hari! Oh ya! Bapak pulang saja lebih dulu! Karena, hm. Saya…" Aku memutar bola mata. "Nanti saya pulang di antar teman saya sampai ke apartemen…"

Harianto mendelik curiga. "Baik, nona Liu!"

Aku tersenyum lebar. Lalu bergegas keluar dari sedan hitam. Dan masuk ke dalam kedai. Tempat terpencil. Di sana, Cello sudah datang lebih dulu. Sambil menyeruput es kopi.

"Cello!"

"Hai!"

Kami duduk berduaan, di meja paling pojok. Setelah kondisi aman, kami kemudian keluar dari kedai. Lengkap dengan atribut, seperti topi dan kacamata, juga jaket hitam. Agar penyamaran kami makin sempurna.

Kalau tidak salah, di sekitar sini ada kafe instagramable. Kami ke sana, sekalian menyelam minum air. Aku memperhatikan sekeliling, untuk memotret sebagai referensi project restoran yang sedang aku garap. Hingga tak terasa sudah petang. Waktunya menikmati sunset di tepi pantai. Ya, kami sedang berada di daerah PIK. Tadinya kami mau berkunjung ke Chinatown. Tapi berhubung ramai, kami megurungkan niat.

"Jadi om Da Lan sudah meninggal dunia? Lalu kau bertahan hidup bersama Emanuel karena kau memiliki hutang yang sangat banyak kepada si keparat itu? Tidak hanya itu, om Da Lan juga memberikan wasiat agar kau tetap bersama Emanuel? Karena setidaknya, dia telah berjasa selama ini?"

"Ya…"

"Aku yang akan membayar hutang-hutangmu, Lin! Lalu ceraikan dia!"

"Tidak… Aku tak ingin merepotkanmu…"

"Sama sekali tidak, Lin! Berapa! Sepuluh juta? Lima puluh juta? Aku akan buat cek besok!"

"Jangan!"

"Atau sekarang saja? Baiklah, ayo! Kita ke apartemenku! Kebetulan aku lapar sekali! Kau harus memasak untukku! Nasi goreng mbak Suti?"

Aku tertawa. "Apa hubungannya dengan mbak Suti!"

"Itu adalah favoritmu, Lin…"

Aku tertegun. "Sejak kapan kau memperhatikanku?"

"Sejak kau sering mencuri pandang kepadaku."

"Seharusnya kau datang lebih awal, Cello."

"Tidak ada kata terlambat bagi kita, Lin! Karena. Setelah ini, hubunganmu dengan Emanuel akan berakhir!"

"Tapi kita kan sedang ada di sini… Kita baru saja memesan makanan..."

"Tidak… Aku tahu kau butuh referensi untuk menggarap restoranmu. Jadi, apakah tugasmu sudah selesai, nona? Sementara kau harus memasak untukku?"

Aku memutar bola mata. Aneh sekali. Jadi untuk apa kita capek-capek datang ke sini, hanya untuk memotret saja tanpa mencicipi secuil pun hidangan ini? Bukankah itu adalah salah satu etika yang buruk bagi seorang pelancong?

"Hei, Lin…"

"Ya… Baiklah!"

"Kita berangkat!"

"Naik motor?"

"Ya… Keren, kan?"

"Keren…"

Tidakkah kau sadar, aku tidak membawa jaket, Cello? Aku merasa kedinginan. Kemudian, di tengah perjalanan, dia sesekali merengkuh tanganku, agar aku memeluknya dari belakang. Cello, please. Ini konyol sekali.

***

Di Apartemen Cello. Kami sibuk di dapur. Kupikir, hanya di film-film serial drama romantis saja, yang biasanya menayangkan betapa serunya adegan ini. Bermain lempar tepung, mencolek wajah kami dengan mentega. Kejar-kejaran. Ketika Cello berhasil menangkapku, dia memelukku erat. Lalu. Dia. Menciumku.

Awalnya, aku menikmatinya. Namun. Sekelibat terlintas dibenakku, beberapa kejadian yang tidak mengenakan, di kala Emanuel menciumku dengan paksa di restoran milik Edgar, yang mengharuskan aku kehilangan pekerjaan. Belum lagi kejadian di lift waktu itu. Shit! Aku pun tersadar. Langsung mendorong tubuh Cello yang kekar. Ya. Memang aku membenci Emanuel karena tingkahnya yang tengil. Tapi setidaknya, selama kami bersama dalam satu atap, dia benar-benar berusaha keras menghormatiku dan tak pernah dia bertingkah kurang ajar seperti ini kepadaku.

Ketika Cello ingin merengkuhku kembali ke dalam pelukannya, aku menamparnya. "Hubungan kita cukup sampai di sini!"

"Lin!"

"Bahkan kau lebih lancang dari perkiraanku!"

"Why, Lin!"

"Emanuel Pradipto, playboy kelas kakap menurut semua orang termasuk elo, dia ternyata lebih baik daripada loe!"

"Apa yang sedang kau bicarakan!"

"Aku masih virgin, asal kau tahu! Karena apa? Karena dia tahu, aku bukanlah tipikal perempuan rendahan! Kita putus!"

Pantas saja, dia mengajakku ke apartemennya. Rupanya, dia punya niat yang tidak baik kepadaku. Tuhan Maha Baik. Akhirnya aku bisa lepas dari cengkraman pria yang menurutku lebih buruk dari yang kubayangkan sebelumnya.

"Tidak semudah itu kau pergi begitu saja, Lin!"

Sebuah tangan yang kuat, menahanku. Di lobi utama. Dia menciumku lagi di depan khalayak banyak orang.

"Sudah saya duga! Non Helin selingkuh!" Harianto punya firasat buruk semenjak Helin bertemu dengan seorang pria yang begitu lekat di kafe tadi. Maka beliau berinisiatif mengintai. Hingga ke apartemen ini. Kemudian, beliau merekam momen mesra ini, walau hanya sekejap mata. Lalu pergi menemui tuannya, tanpa melihat adegan selanjutnya. Di saat Helin berang, berusaha keras melepaskan diri dari genggaman Cello. "Bajingan!"

Tepat waktu. Ada sebuah taksi yang berhenti untuk menurunkan penumpang. Aku mendorong tubuh Cello, lalu langsung masuk ke dalam taksi. Mengunci pintu mobil rapat-rapat. Lalu menyuruh sang sopir pergi. Selama perjalanan, aku tak berhenti menangis. Sulit memang, untuk merelakan penantianku selama ini. Namun aku harus merelakannya. Untuk. Selamanya.

***

Pantas perasaan gue tidak tenang akhir-akhir ini. Firasat gue benar. Helin. Dia berani selingkuh dibelakang gue. Dengan siapa pria itu? David Cello?

AAAAAARRRGGGHHH!!! BANGSAT!

Lalu apa arti semua yang kulakukan ini demi kau, Lin?! Sejak awal hingga sejauh ini! Hingga meninggalkan sisi gelapku dan berserah kepada Tuhan, Lin! Itu bukanlah hal yang mudah, apakah kau tahu itu!

BRUGH!!

Dalam sekejap mata, semua benda yang ada di atas meja kerja, terhempas. Dokumen-dokumen penting berceceran di mana-mana. Hancur sudah. Hatiku. Tidak lagi sama seperti awal aku bertemu denganmu, Lin.

***

Peduli apa Helin, dengan kelakuan gue yang susah payah berjuang melawan ini semua, bak seorang malaikat. Konyol! Seharusnya gue tak lagi menahan diri. Seperti ini. Di dalam sebuah klub malam. Di sinilah kehidupan gue sesungguhnya. Huru-hara. Bersama dengan teman-teman lama yang masih setia menunggu di sini.

"El!" Sontak seorang pria. "Ngapain loe di sini!" Sambil bersusah payah menerobos kerumunan orang berdansa, dia menggiring Emanuel ke pinggir. "Mabok lagi loe!"

Tepat jam satu pagi, Fransiskus mendapatkan teror yang bukan lain itu dari istri Emanuel Pradipto. Hanya nomor Frans yang aku tahu, dan pasti dia akan bersedia menolongku dalam keadaan genting seperti ini. Asisten pribadi El yang baru di rumah sakit.

Kasihan Helin. Dia tampak sedih dan kebingungan. Karena itu, gue langsung bergegas. Ke sana dan ke mari. Hingga berujung ke sini. Klub malam yang biasa disinggahi Emanuel.

"Dasar! Loe punya istri di rumah, eh malah mabok di sini! Pulang!"

"Peduli apa istri gue di rumah! Palingan dia sekarang sedang bersama Cello, se-ling-kuh-an-nya! Hahaha! Memangnya dia doang yang bisa! Gue juga!"

BUG!!

Maafkan saya, El. Tidak ada pilihan lain selain menyadarkanmu dengan pukulan. Agar kau waras, sedikit saja. Bukannya memeluk salah satu wanita secara random, lalu menciumnya. Sungguh, itu tidak pantas. "Pulang!"

***

Aku hampir gila malam itu. Karena memikirkan Emanuel. Ke mana saja dia semalaman suntuk, jam segini saja masih di luar? Ponselnya pun mati total. Maka aku terus-terusan menghubungi Frans.

Tapi sialnya, ponsel Frans juga mati karena baterai habis ditengah perjalanan menuju apartemen Emanuel. Miris. Ini harus segera di charger, sambil tancap gas menuju apartemen Emanuel. Mengantarnya kembali ke pelukan Helin.

Bel berbunyi. Itu dia. Si keparat Emanuel. "Dari mana saja kau, hah!"

Bau alkohol begitu menusuk. Lihatlah, pria itu yang kini ada dihadapanku, dia tidak sadarkan diri. Tampak begitu lelah, ditatah Frans. Aku merasa makin terpuruk. El. Benarkah itu kau? Aku mendadak pusing. Oh tidak, aku tidak mau pingsan di sini. Tapi aku tak kuasa menahannya. Helin tiba-tiba saja tak sadarkan diri.

Frans makin tepok jidat. Sebenarnya. Ada masalah apa di antara mereka berdua, sehingga merepotkan saja. Di bantu bibi Nur, gue membopong Emanuel dan Helin ke kamarnya. Gue baru tahu, ternyata selama ini mereka pisah kamar. Tragis.

***