Memeluk orang-orang lain menjadi kesibukan lain Armein Khai, selain tetap bernyanyi, menjadi selebriti, dan tampil di panggung. Tentu saja, akulah kendaraannya saat melakukan semua itu.
Sesuatu yang tidak bisa dilakukannya ketika berada di tengah keramaian penggemarnya dan keroyokan pewarta; ternyata memberi sensasi membahagiakan untuk Armein. Lelaki istimewaku itu menikmati perasaan tenteram yang muncul ketika orang yang dipeluknya memejamkan mata menikmati sensasi kedamaian menyusup ke relung kalbu mereka, lalu tersenyum oleh hangatnya rasa bahagia. Menurut Armein, rasa itu begitu menyenangkan dan sangat adiktif.
Aku tak sedikit pun mengeluhkan kesibukan barunya itu. Aku hanya memikirkan apa yang harus kulakukan selanjutnya. Beberapa kali aku mendengar isi pikiran Armein yang menyatakan betapa dia mencintaiku, Ray, dan Langit. Betapa dia betah berada di Angkak dan tak ingin pergi lagi dari sini.
Lalu, aku tak menceritakan kepada Armein betapa Binar menangis sakit hati setelah insiden Armein muncul melayang di kamar rumah sakitnya. Apakah menyembunyikan informasi seperti ini adalah pengkhianatan seorang damchi pada manusia istimewanya? Aku tak tahu. Karambi seharusnya bisa memberitahuku. Ia memandangiku dengan mata lucu, seperti curiga.
"Kau tak memberitahukan padanya tentang Binar karena kau tak ingin dia ikut hancur perasaannya, ataukah karena kau takut Armein memintamu kembali membawanya ke Binar, setelah kau tahu Armein mencintaimu?" tanya Karambi. Aku terenyak mendengarnya. Betul juga. Barangkali saja aku merasa takut Armein ingin kembali pada Binar yang sudah tampak berbahagia dengan Lisa. Barangkali saja aku takut Binar juga ingin kembali pada Armein dan meninggalkan Lisa. Apakah aku tak rela jika itu yang terjadi? Apakah aku cemburu?
Karambi tampak menunjukkan wajah bingung, dan aku tak tahu bagaimana membuatnya mengerti karena aku juga tidak mengerti apa yang sedang kurasakan. Aku merasa sebagian dari hatiku tak mau mengakui bahwa aku juga mencintai Armien, aku merasa itu tidak boleh kulakukan.
Sesuatu yang terlarang. Namun, melihat lelaki istimewaku tampak bahagia di Angkak bersamaku dan anak-anakku, aku tentu bersyukur dan berharap Armein benar-benar akan merasa tempat ini sebagai rumahnya sendiri dan melupakan Binar.
Aku hampir meyakininya sampai suatu hari, Armein bermimpi buruk; menjerit memanggil namaku sambil menangis. Ray, Langit, dan Dayu memandangi kami dengan wajah cemas. Armein gemetar hebat, terbangun dari tidurnya. Memelukku sekuat tenaganya, seolah tubuhku adalah satu-satunya yang akan menyelamatkan nyawanya.
Dia terengah-engah dan terbata-bata berusaha menjelaskan mimpi buruknya pada kami, tetapi suara yang keluar dari mulutnya hanya terdengar; ' Binar' lalu jeritan-jeritan kesakitan kecil. Benaknya kacau oleh mimpi tentang Binar yang berada di dasar jurang dengan kepala berlumuran darah dan berteriak minta tolong. Armein masih sangat mencintai Binar. Mimpi itu telah membuatnya terengah-engah kehabisan napas, dan tubuhnya bergetar hebat nyaris kejang-kejang.
Ray langsung menghambur ikut memeluk tubuhnya bersamaku. Kesakitan yang dirasakan Armein begitu terasa oleh kami berdua. Dayu dan Langit bahkan menangis karenanya. Perlu pelukan kami berempat untuk menenangkannya, lalu saat tersadar, Armein tampak kebingungan dan gugup tak tahu harus berkata apa.
"Kau ingin kuantar kepada Binar, Arm?" tanyaku lirih di telinganya. Lelaki istimewaku itu mendongak memandangi wajahku dan langsung kudengar isi pikirannya bahwa dia mencemaskan Binar gara-gara mimpi itu, tetapi dia tak ingin membuat Binar galau kalau sampai dia melepaskan biyijun lagi seperti insiden sebelumnya. Dan dia tak ingin merusak kebahagiaan Binar bersama Lisa.
"Yuk, kita lihat dari jauh saja?" ajakku. Armein mengangguk patuh seperti anak kecil ketakutan yang pasrah pada keputusanku.
Setelah lima purnama berlalu sejak insiden kamar rumah sakit Binar, tentu saja kami tak pernah mengira Binar masih berada di rumah sakit. Kami melihat dari jauh rumah mewah Binar yang dihadiahkannya kepada Lisa tampak sepi, seolah tak berpenghuni. Kami ragu-ragu mendekati, tak terlihat kehidupan di dalamnya. Namun, tiba-tiba Armein memekik pelan sambil mencengkeram bahuku, 'Kandi!' Armein menunjuk police line di sekitar pintu masuk rumah Binar. Aku membawa Armein ke apartemennya, lalu dia memanggil asistennya Rieska. Gadis itu menceritakan satu kejadian tragis.
"Sudah lama muncul gosip, Lisa memiliki affair dengan Kado, seorang bintang film yang sedang terkenal saat ini. Mungkin sejak lima bulan lalu, ketika Binar dirawat di rumah sakit selama 10 hari, dan pers menemukan selalu ada mobil Kado di rumah sakit tempat Binar dirawat. Padahal mereka berdua tidak saling mengenal secara personal. Ternyata ada orang rumah sakit yang membocorkan skandal itu kepada pers dua hari yang lalu. Lisa menyewa satu kamar VVIP lain untuknya bertemu Kado di rumah sakit itu. Bukti-buktinya bertebaran di banyak media hari itu. Binar dan ibunya menginterogasi Lisa di rumah mereka, tapi ternyata Lisa diam-diam memanggil Kado untuk menjemputnya. Sepertinya perempuan itu berencana melarikan diri bersama Kado. Berita hari ini menyebut Lisa dan Kado berencana untuk kabur ke luar negeri. Bodoh benar. Kebodohannya itu memakan korban. Kado membawa pistol. Dia bermaksud memberi tembakan peringatan agar Binar tak mengejar Lisa yang berlari masuk ke dalam mobil Kado. Namun, tembakannya meleset dan mengenai ibunya Binar, dan perempuan tua malang itu tewas dalam perjalanan ke rumah sakit."
Selama mendengar Rieska menceritakan semua itu, Armein berdiri kaku dan tegang. Di dalam benaknya dia ingin segera bertemu Binar. Rieska mengatakan bahwa Binar saat ini berada di rumah sakit karena jiwanya terguncang oleh kematian ibunya.
Aku mengantar Armein ke depan kamar tempat Binar dirawat. Lelaki istimewaku itu langsung masuk ke dalam, tak memedulikan Kharisma dan stafnya yang berjaga di bagian depan dan terkejut melihat kedatangan Armein. Terutama karena Kharisma sengaja tidak memberi tahu Armein tentang apa yang dialami Binar.
"Moonlight!" seru Armein saat merangsek masuk ke dalam kamar. Binar duduk di tepi ranjangnya menghadap jendela, membelakangi pintu. Dia tak membalikkan tubuh atau menengok mendengar suara Armein. Dari belakang Armein hanya melihat perubahan tubuh Binar yang jauh lebih kurus dari sebelumnya, kemudian bahunya terguncang-guncang melepaskan tangis. Aku mendengar Binar menjeritkan 'Meinchi!' di dalam pikirannya, tapi tak lolos dari mulutnya.
Binar hanya menangis sesenggukan dengan tubuh terguncang-guncang. Lelaki istimewaku berlari melewati ujung ranjang, dan menghambur mendekati tubuh kekasihnya, memeluknya dari depan.
Mereka berdua berpelukan sangat erat. Tak ada kata-kata yang terucap. Binar tahu bahwa Armein akan datang mencarinya dan memeluknya seperti itu. Armein tahu betapa hancur hati Binar dengan kematian ibu yang sangat dicintainya, dengan cara yang tragis pula.
Armein merasa tak punya kata-kata duka cita untuk itu. Dia hanya ingin memeluk Binar dan membiarkannya tahu betapa besar cintanya pada Binar dan tak ada apa pun yang bisa menghentikannya untuk memeluk kekasihnya. Aku memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua sejenak.
Aku yakin Armein tidak dalam bahaya, dan ada nuye yang bisa digunakannya kalau membutuhkanku. Aku hanya ingin berada di luar kamar yang terasa penuh oleh emosi keduanya. Karena aku berada di arah pandang Armein, lelaki istimewaku itu melihatku bergerak menjauh. Tangan kanannya segera teracung menahanku. Benaknya berteriak, 'Jangan pergi, Kandi! Jangan menjauhiku!'... aku patuh.
Aku menyaksikan dua sejoli itu menangis bersama. Tubuh mereka berpelukan erat, tapi terguncang-guncang oleh tangis. Binar mensyukuri kehadiran Armein di kamarnya. Armein terus berbicara padaku lewat pikirannya. 'Kandi, hatiku hancur melihatnya seperti ini. Dia meninggalkanku demi ibunya, dan sekarang ibunya telah pergi selamanya. Aku bisa merasakan kehancurannya saat ini. Aku harus bersamanya dan memeluknya. Aku ingin menyembuhkannya. Aku harus menyembuhkannya. Tapi aku tak akan mampu melakukannya tanpamu…' pikir Armein.
Aku menunjukkan gestur bertanya dengan kedua tanganku, 'Mengapa begitu? Mengapa harus ada aku? Kau bisa melakukannya sendiri, Arm!' Armein mendongak, matanya memandangi mataku dengan tajam. 'Please, Kandi! Tolonglah aku. Kali ini aku merasa tak punya energi apa pun. Aku membutuhkanmu dekat denganku. Jadilah sumber energiku!' perintahnya.
Aku membalasnya dengan mengatupkan kedua tangan posisi menyembah sambil menundukkan kepala. Aku tahu Armein masih sangat mencintai Binar. Namun, yang kudengar di kepala Binar menghancurkan hatiku.
Binar merasa lebih tenang dengan Armein memeluknya seperti itu. Namun, kegundahan lain kini muncul di kepala Binar. Dia tak tahu bagaimana cara menjelaskan kejadian yang dialaminya pada Armein. Binar juga tak tahu sejauh apa Armein mengetahui kasusnya. Tapi dia berharap Armein tidak tahu bahwa alasannya mencegah Lisa pergi dengan Kado adalah karena Lisa sedang mengandung. Binar tidak tahu apakah itu benihnya atau benih Kado, tetapi dia tak ingin mengambil risiko kehilangan buah hatinya, karena itu dia sempat bernegosiasi dengan Lisa di hari kejadian itu. Binar meminta Lisa tetap bersamanya sampai anak itu lahir, meninggalkan anak itu untuk berada di bawah pengasuhannya, dan Lisa boleh meminta uang atau benda apa pun sebagai gantinya.
Mendengar isi kepala Binar, aku merasa Armein harus mengetahuinya. Lelaki istimewaku itu selalu menikmati kebersamaan dengan anak-anak kecil seperti Langit dan Ray. Binar harus mengatakan semua itu pada Armein langsung. Aku yakin, Armein akan bahagia mendengarnya. Atau mungkin aku yang harus memberi tahu Armein langsung tentang itu…
Tapi keduanya tak terpisahkan saat ini. Aku tak melihat Armein mempraktikkan pelukan menyembuhkan yang biasa dilakukannya pada orang. Dia masih menikmati kembalinya kehangatan pelukan Binar kepadanya. Mereka berdua kemudian malah berbaring sambil terus berpelukan, hingga keduanya tertidur, dengan Binar berbantalkan lengan Armein. Seperti dahulu sebelum kehadiran Lisa dalam cinta mereka.
Karena Armein ikut terlelap, aku memutuskan untuk keluar dari kamar rumah sakit itu, dan mencari tahu di mana Lisa berada.
Menurut keterangan yang diberikan Rieska di kamar apartemen Armein tadi, Kado telah ditangkap polisi dan dimasukkan ke dalam penjara, sementara Lisa memutuskan untuk bersembunyi dari pers dan jutaan penggemar Binar yang marah padanya, dengan tinggal bersama sahabat ibunya di sebuah pemondokan sederhana di kampung nelayan yang jarang didatangi pengunjung; Jindoni.
Di pemondokan itu, kulihat istri Binar itu sedang meminum teh hangat, terlihat dari kepulan asap di cangkirnya. Lalu seorang perempuan yang lebih tua di depannya tampak memasukkan beberapa benda atau rempah khusus ke dalam cangkir teh panas tersebut. Aku baru saja akan mendekati mereka untuk tahu teh apa sesungguhnya yang sedang diminum Lisa atau siapa perempuan tua di depannya; ketika mantuley terdengar, Armein menggunakan nuye-nya memanggilku.
"Kandi… aku ingin berbicara denganmu…" ucap Armein. Dia sudah berada di apartemennya sendiri, menungguku di atas sofa. Duduk dengan sedikit tegang. Sebelum lelaki istimewaku itu melanjutkan kata-katanya, aku bisa mendengar benaknya tergagap-gagap menceritakan apa yang telah dibahasnya bersama Binar di rumah sakit.
Bahwa Binar akhirnya menceritakan padanya tentang janin di kandungan Lisa, dan bahwa Binar tidak sepenuhnya menginginkan Lisa memilihnya daripada Kado, dia hanya menginginkan janin itu. Armein telah membuat rencana dengan Binar untuk menunggu Lisa melahirkan bayi itu, lalu mengambilnya dari Lisa untuk dibesarkan.
Sementara Lisa yang sudah tercoreng nama baiknya di muka publik akan pindah ke luar negeri dengan seluruh biaya hidupnya dibebankan pada Binar. Setelah Binar menceraikan Lisa, Armein dan Binar akan membesarkan anak itu berdua. Tanpa ibu Binar, mereka berdua merasa tak perlu memikirkan apa pun lagi selain kembali bersama.
"Tapi aku tak ingin kau pergi, Kandi!" Armein membentangkan kedua tangannya meminta pelukanku. "Jangan pergi dariku! Kau akan tetap bersamaku sampai aku mati, kan, Kandi?!" burunya. Aku tersenyum mengiyakan.
"Tentu saja, Arm! Aku damchi-mu. Tapi Binar tetap tak akan bisa melihatku…"
"Aku tak peduli. Aku hanya tak ingin kehilanganmu, Kandi…" pelukan Armein semakin erat.
"Apakah itu benar-benar anak Binar?" tanyaku. Armein melonggarkan pelukannya, kedua tangannya berganti mencengkeram bahuku. Dia menatap mataku lekat-lekat.
"Binar tidak pedulikan itu, Kandi… aku juga. Lagi pula perempuan seperti Lisa yang dengan mudah mengkhianati suaminya tidak layak menjadi ibu bagi seorang anak pun. Lagi pula, bisa jadi itu anak Binar, kan, Kandi? Dan kalau itu anak Binar, aku menyayanginya seperti anakku sendiri… Lagi pula perempuan itu terbukti "gold digger" saja, Kandi. Lisa sempat menyetujui usulan Binar untuk menukar anak yang dikandungnya dengan uang dan semua benda yang diinginkan Lisa…haissh, si pengkhianat itu!"
"Bukankah Binar juga mengkhinatimu, Arm?" tanyaku lirih, tak tertahan keluar dari mulutku demi mendengar begitu banyak 'lagi pula' meluncur dari mulutnya, tapi kemudian aku cemas pada reaksinya. Namun, Armein hanya memandangiku dengan sorot mata sedih. Benaknya menjawab pertanyaanku dengan datar; 'Aku tahu, Kandi… tapi kali ini Binar sangat membutuhkanku, aku tak tega padanya. Dia baru kehilangan segalanya, dan dia menginginkanku lagi…'