Arya tertawa, dua tangan berada di sisi pinggang. "Aku benci nama itu," ujarnya seraya menggelengkan kepala.
"Oh, begitu, ya?" Eredyth menyeringai. "Atau kau lebih senang aku panggil Akoman?"
"Berhentilah membuatku kesal, Eredyth."
Bahkan suara Arya tiba-tiba terdengar lebih berat, hal ini sedikit memberi pengaruh terhadap Eredyth. Wanita setengah baya itu menundukkan pandangannya.
"Lagipula," ujar Arya, dan suaranya kembali terdengar normal. "Kau bertingkah seperti para Nimfa, tidak punya kesabaran. Hampir saja kau membongkar kedok kita di hadapan kedua detektif itu tadi."
"Benarkah begitu?"
"Jangan menganggap remeh manusia, Eredyth. Kau tahu," Arya mengetuk-ngetuk pelipisnya sendiri dengan ujung jari, "ingatan laki-laki ini memberi keuntungan padaku. Dua detektif itu tadi sedang menyelidiki salah satu Nimfa."
Bola mata wanita setengah baya membesar dan berkilat menatap pada Arya, sepersekian detik bola mata itu berubah menjadi hitam kekuningan.
"Sangat disayangkan," ujar Arya, "Nimfa itu sepertinya sudah mati. Dibunuh oleh seseorang yang merupakan pasien dari dokter ini."
"Tidak mungkin!"
Arya tertawa, dan suara itu kembali berubah menjadi lebih berat. "Sudah kukatakan, jangan meremehkan manusia."
"Kau bisa menemukan siapa yang membunuh Nimfa itu?"
"Sayangnya tidak. Ingatan dokter ini masih samar-samar. Aku hanya bisa mengingat wajah pasien itu, tapi tidak dengan alamat di mana dia tinggal."
"Ini tidak bisa dibiarkan, Akvan!"
"Sekali lagi kukatakan padamu, Eredyth," ujar Arya dengan suaranya yang berat. "Jangan bertingkah seperti para Nimfa! Apa kau bisa paham?"
"Apa kau hanya berpangku tangan begitu saja, hah?" balas Eredyth seraya bangkit dari duduknya. "Jika manusia-manusia itu tahu cara membunuh para Nimfa, itu berarti mereka juga tahu cara membunuh kita. Apa kau tidak peduli dengan hal ini, Akvan?!"
"Jaga ucapanmu, Eredyth!"
Sosok Arya langsung berubah. Tubuh sang dokter menjelma menjadi satu sosok setinggi dua meter. Seluruh permukaan tubuhnya berwarna merah laksana seseorang yang baru saja mengalami luka bakar di sekujur badan.
Dua tanduk berulir mencuat dari keningnya, lalu melengkung ke arah belakang. Ia tidak memiliki rambut sehelai pun di kepalanya.
Sepasang sayap mengembang di punggung makhluk merah tersebut, seperti sayap seekor kelelawar namun dengan ukuran yang jauh lebih besar serta berwarna merah seperti warna pada kulit tubuhnya itu.
Eredyth terkesiap dan langsung merasa takut, terlebih lagi satu tangan makhluk tersebut bergerak dengan sangat cepat mencengkeram lehernya.
"Ingat tempatmu, Eredyth," ujar makhluk tersebut dengan napasnya yang terdengar mendengkur layaknya napas seekor kucing besar. "Jangan menguji kesabaranku!"
"Ma—maafkan saya."
Bahkan untuk berbicara saja Eredyth mengalami kesulitan. Jari-jari yang besar itu mencengkeram lehernya dengan cukup kuat.
"Aku memintamu bersabar," ujar makhluk itu, dan perlahan-lahan tubuhnya mengecil sebelum akhirnya kembali ke bentuk asli Dokter Arya. "Karena aku menyadari satu hal, Eredyth."
"Te—terima kasih, Tuanku." Eredyth membungkukkan tubuh di hadapan Arya.
"Keadaan Bumi sekarang ini sangat jauh berbeda dengan kondisi terakhir kali ketika bangsa iblis mencoba menaklukkan Bumi. Mereka tidak seprimitif seperti dulu, Eredyth."
Ya, Eredyth tahu itu. Sepuluh ribu tahun yang lalu, manusia memang masih primitif. Namun dengan kondisi mereka yang seperti itu saja mereka mampu bertahan dari serangan bangsa iblis.
"Anda benar, Tuanku. Bila waktu itu saja mereka mampu bertahan, tentu dengan kondisi yang sekarang mereka akan bisa berbuat lebih."
"Itu yang aku maksudkan," pria itu terkekeh, dan suaranya kembali seperti suara milik Dokter Arya.
"Baiklah, kau benar."
Tiba-tiba saja sikap Eredyth pun ikut berubah. Tidak seperti tadi yang terlihat seperti sikap seorang pelayan pada majikannya, yang sekarang terlihat seperti sikap seorang istri kepada suaminya.
"Lalu," ujar Eredyth sembari bergelayut manja di bahu Arya, "sampai kapan kau membiarkanku di tubuh wanita tua yang menjijikkan ini, Akvan?"
Arya terkekeh lagi. "Kenapa? Kau terlihat cukup pantas menggunakan tubuh ini."
"Jangan menyindirku. Kau tidak lihat? Tubuh wanita ini tidak nyaman sama sekali. bungkuk dan berpenyakitan."
"Kau mau mencari tubuh yang lain? Silakan saja!"
"Ayolah," ujar Eredyth sembari menggoda Arya, bahkan satu tangannya merayap perlahan dari dada dan berhenti di selangkangan pria tersebut. "Kau tahu apa yang aku maksud."
"Kau ingin menggunakan tubuh gadis itu?"
Eredyth mengangguk. "Aku sedang bergairah, Akvan. Apa kau tidak bisa melihat?"
Arya tertawa. "Dasar Succubus!"
*
Seorang gadis sepantaran 19 tahun merintih lirih dengan kedua tangannya terikat ke belakang di dalam sebuah ruang bawah tanah. Dia adalah anak perempuan Doker Arya. Kondisinya cukup menyedihkan. Berbaring di lantai menghadap dinding dengan kedua kaki dan mulut yang juga terikat.
Sang gadis sengaja menghadap ke dinding seperti itu sebab di lantai ruangan tersebut juga terdapat satu tubuh seorang wanita. Hanya saja, tubuh yang satu itu sudah tidak bernyawa dengan kondisi yang mengenaskan.
Sekujur badan memerah, tidak ada kulit yang tersisa di jasad itu. Juga, sebagian besar kepalanya hilang, menyisakan mulutnya saja.
Di lantai di sekitar jasad—yang sesungguhnya adalah jasad dari istri Arya, ibu dari gadis yang terikat itu—terdapat genangan darah yang sudah hampir mengering.
Gemetar di tubuh gadis itu semakin terlihat ketika ia mendengar langkah-langkah kaki yang menuruni anak tangga menuju basement tersebut.
Arya dan Eredyth sama menyeringai menatap tubuh terikat dan menggigil itu.
Gadis itu bangkit dan beringsut dengan cepat hingga ke sudut ruangan, ia mengerang-erang sembari menggeleng-gelengkan kepala. Dan tatkala tatapannya tertuju pada jasad bersimbah darah itu, ia memejamkan matanya.
Bagaimanapun, gadis itu sempat melihat apa yang terjadi pada ibunya tersebut sebelumnya. Dan pelakunya adalah Eredyth yang kini justru menggunakan wujud ibunya.
Eredyth mendekat, sekali tangannya bergerak mencengkeram leher sang gadis ia dengan mudah mengangkat tubuh itu.
Dengan tubuh terikat dan dipaksa berdiri dalam cengkeraman kuat di lehernya, sang gadis meronta-ronta sembari berteriak-teriak, namun suara teriakannya itu tidak terdengar jelas sebab mulut yang tersumpal dan terikat hingga ke belakang kepalanya.
"Makhluk lemah seperti kalian," ujar Eredyth dengan seringai sinis memandangi gadis dalam cengkeramannya, "tidak pantas menguasai Bumi ini."
"Eredyth," panggil Arya sembari memerhatikan kondisi jasad di lantai, "jangan lupa kau bereskan semua ini nanti. Aku masih ingin menggunakan rumah ini sebagai tempat sementara kita. Kau paham?"
"Tentu saja," jawab Eredyth sembari tetap mencengkeram leher gadis tersebut. "Tubuh hina itu akan aku persiapkan untuk makanan para cerberus dan chimaira. Termasuk tubuh kau nantinya," ujar Eredyth pada gadis yang wajahnya menggelembung sebab kesulitan menghirup oksigen.
"Terserah!" Arya pun akhirnya meninggalkan basement itu.
Eredyth mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. Ia menyeringai lebih lebar, mulut terbuka dan menjulurkan lidahnya. Lidah itu terlihat lebih panjang dari lidah manusia normal.
Sang gadis semakin mengerang dalam ketakutan yang teramat ketika lidah Eredyth menjilati wajahnya.
"Biar kuberi tahu padamu," ujar Eredyth, "dan setelah itu, kau bisa mati dengan tenang. Yang menggunakan kulit ayahmu itu, dia adalah Aka Manah, tangan kanan Raja Iblis. Dan aku," Eredyth tersenyum lebar, "adalah Succubus yang nanti akan menggunakan kulitmu."
Sepasang mata gadis itu membesar seiring mulut Eredyth yang terbuka sangat lebar, lalu rahang bawah dan rahang atasnya terbelah sehingga kini ada empat rahang bergerak-gerak lambat dengan barisan gigi yang runcing laksana paku.
Sekali empat rahang itu bergerak menerkam kepala sang gadis, kepala itu langsung putus menyisakan sebagian hidung ke bawah saja dengan cairan darah yang memercik kemana-mana. Tubuh dalam cengkeraman Eredyth menggelepar sesaat, lalu diam dan terkulai.
*