webnovel

Istri Pertama Sang Pangeran

Secara naluriah perempuan akan mencari keamanan dan stabilitas. Maka merupakan suatu kewajaran jikalau mereka akan mencari lelaki -- dalam hal ini untuk dijadikan pasangan -- yang dapat memberikan kedua hal tersebut. Setidaknya itulah yang diketahui Salim.

Selama hidupnya menjadi pangeran, dia melihat bahkan perempuan dari keluarga kuat sekalipun tetap memiliki kecondongan seperti itu. Malah akan lebih rumit lagi pencariannya karena bukan hanya perempuan-perempuan itu yang menghendaki kestabilitasan dan keamanan melainkan keluarga mereka juga. Makanya mereka hanya akan menerima pinangan lelaki yang statusnya sama kuat atau lebih tinggi.

Di dunia modern pun Salim menyadari bila hal tersebut tidak banyak berubah. Bedanya, perempuan di tahun 2019 tertarik pada pria-pria kaya dan berkuasa semacam CEO atau bahkan mafia -- Salim mengetahuinya dari film-film yang dia tonton, omong-omong. Para pria kaya itulah sultan dan pangeran di masa kini. Tapi intinya sama saja, dengan kekayaan dan kekuatan yang mereka miliki, memberikan keamanan dan kestabilitasan bukan merupakan hal yang sulit bagi mereka.

'Mau pangeran atau pria kaya, semuanya adalah aku', Salim sesumbar.

Oleh karenanya Salim sudah percaya diri sekali bila Arsia terkejut karena akan menikahi pria berkualitas seperti dirinya. Sayangnya dia harus menerima kenyataan kalau hal tersebut sama sekali tak membuat Arsia terpukau -- dirinya tak membuat Arsia tertarik. Justru sebaliknya.

"Kenapa kau diam saja? Cepat katakan aku akan jadi istri ke berapamu?" tanya Arsia dengan tidak sabar.

'Sepertinya dia berpikir kalau dirinya akan jadi selir', batin Salim saat dilihatnya kedua mata Arsia menatapnya dengan sorot kecemasan.

Mendapati Arsia yang seperti itu, muncul sesuatu dalam benaknya. Karena dari tadi gadis itu sudah membuatnya gondok dengan menyenggol harga dirinya, Salim ingin sedikit mengusilinya.

Salim membuat ekspresi seakan sedang mengingat-ingat. Dia menaikkan jarinya dan menghitung dengan asal. Saat melakukannya, dia melirik ke arah Arsia demi melihat bagaimana ekspresi gadis itu sekarang. Seperti yang telah diharapkannya, Arsia menjadi semakin was-was. Dalam hati Salim pun menertawakan gadis itu.

'Dia benar-benar polos', pikir Salim geli.

"Kenapa kau lama sekali menghitungnya?" protes Arsia.

"Maaf untuk ini tapi aku lupa," Salim bersuara dengan penyesalan yang dibuat-buat.

"Bagaimana kau bisa lupa? Apa sebanyak itu?" kejar Arsia yang lebih mirip seperti rajukan.

"Lebih dari jari tangan dan kakiku," Salim menjawab asal. "Oh, bahkan kalau digabung dengan jari tangan dan kaki Behram sekalipun," tambahnya agak dramatis.

"APA?!" Arsia histeris. "I-itu artinya kau punya lebih dari 20?" Arsia tergagap saking tidak percayanya.

"Aku muda, tampan, dan kaya. Terlebih aku seorang pangeran. Melanjutkan keturunan merupakan salah satu tugasku. 20 bahkan terdengar sedikit," kata Salim.

Dalam hati Salim menertawakan ucapannya barusan. Kali ini dia merasa geli pada dirinya sendiri. Membayangkan dirinya memiliki lebih dari 20 wanita? Mana ada yang seperti itu! Demi kewarasannya, monogami lebih masuk akal baginya. Tetapi dia semakin menikmati kegiatannya mengusili Arsia. Jadi dia ingin melanjutkan semua omong-kosong itu sedikit lebih lama lagi.

"Itu berarti aku bisa jadi yang ke 30 sekian?" Arsia memastikan dengan suara tercekat.

Salim menggelengkan kepalanya. "50 pun bisa jadi," jawabnya santai. "Kau bisa tanya Behram kalau tidak percaya," dia lalu mengedikkan dagunya ke arah pelayannya yang sedari tadi berdiri di dekat pintu dalam diam.

Dengan cepat Arsia menoleh ke Behram. "Benarkah yang barusan diucapkannya itu?"

Salim dengan cepat mengedipkan matanya pada Behram. Dia memberikan isyarat pada pelayannya itu untuk membenarkan semua permainannya itu. Behram yang sudah mendapatkan titah pun hanya dapat melaksanakan sesuai perintah tuannya walaupun instingnya berkata bila ini hanya akan memperunyam masalah yang ada. Di samping itu, Behram juga sudah berjanji kalau tidak akan menimbulkan masalah dengan Arsia saat Salim berbicara dengan gadis itu. Makanya dia melakukan saja sesuai keinginan Salim supaya dia bisa berlepas diri bila prasangkanya jadi kenyataan.

Seketika wajah Arsia berubah pucat. Gadis itu kemudian kembali menatap Salim. Namun kali ini dengan tatapan ngeri seolah yang di hadapannya bukanlah seorang pria tampan melainkan monster buruk rupa.

"Jadi itu sebabnya kau dengan mudah menerima keadaan ini? Karena kau terbiasa menikahi perempuan demi kepentinganmu?" Arsia bertanya tajam.

Pertanyaan Arsia itu layaknya sebuah anak panah yang meluncur tanpa disadari oleh Salim dan menancap tepat di jantungnya. Salim terkejut. Detik itulah dirinya menyadari kalau dia sudah melukai gadis itu.

Perasaan bersalah sekonyong-konyong menyergapnya. Dia menyesal dengan sikapnya yang kekanakan tadi, yang ingin bermain-main dengan Arsia. Melihat bagaimana lucunya gadis itu dengan segala ekspresi di wajahnya nampaknya telah membuat Salim lupa akan situasi mereka kini. Terlebih, dia jadi abai pada Arsia sebagai pihak yang paling menderita di sini. Bukannya mencari solusi bagi gadis itu, Salim malah semakin memperburuk kondisinya.

Otaknya bekerja cepat. Salim harus segera mencari sesuatu agar dapat mengendalikan situasi diantara mereka supaya tidak semakin keluar jalur. "Arsia, tidak. Kau yang pertama. Aku akan menikah untuk yang pertama kalinya denganmu."

Ditatapnya lurus Arsia. Wajah gadis itu sedikit menengadah ke arahnya. Sepasang mata hitam bulat Arsia yang beradu dengan matanya bergerak-gerak, seolah Arsia tengah memastikan sesuatu pada dirinya.

Salim tidak tahu apa yang dicari oleh Arsia darinya. Tapi detik berikutnya dilihatnya bulir itu perlahan mengalir dari sepasang mata indah gadis itu.

"Kau benar-benar tidak punya hati," desis Arsia.

Itulah hal terakhir yang didengar oleh Salim sebelum gadis itu berlalu dari sana.

***

Dengan amarah yang menggebu-gebu Arsia melangkah keluar dari kamar itu. Dia sempat menyenggol Behram hingga pria tua itu sedikit terhuyung. Tentu saja Arsia tidak sengaja melakukannya. Dia hanya ingin membuka pintu dan meninggalkan tempat itu bersamanya. Rasanya dia akan mati karena kehabisan nafas bila harus berada di tempat yang sama dengan Salim.

"Maaf, Tuan Behram," ucap Arsia lirih sebelum berlalu.

Dia lalu menuju ke kamarnya dan menguncinya. Arsia tahu bila Salim menyusulnya. Pria itu bahkan sudah menggedor pintu kamarnya kini.

"Arsia, maaf!" seru Salim dari balik pintunya.

Arsia tidak menggubrisnya. Dia melemparkan diri ke kasurnya dan menyembunyikan dirinya di balik selimut. Tanpa melihatnya, Arsia tahu bila dirinya tampak sangat menyedihkan saat ini.

Semua yang terjadi padanya secara beruntun hari ini sungguh menguras emosinya. Dari tadi Arsia mampu menahan tekanan dalam dirinya. Bahkan saat dia menjelaskan situasinya pada Salim, dia pun masih sanggup menahan tangisnya meskipun setitik air matanya berhasil lolos. Tapi pria itu bukannya bersimpati padanya malah menjadikannya bahan gurauan.

"Dasar tidak punya hati," Arsia mengulang kembali perkataannya pada Salim tadi. Kali ini dengan suara pelan diantara isakannya.

"Arsia, aku minta maaf! Keluarlah, aku mohon..." Salim masih berusaha untuk berbicara dengannya.

Arsia semakin menarik selimutnya. Tubuhnya semakin meringkuk dalam persembunyiannya mendengar ucapan Salim barusan. Tidak ada yang ingin dikatakan Arsia pada pria itu saat ini selain makian.

'Bajingan!'