Siapkah kalian membaca cerita ini? Jika tidak siap, aku sarankan untuk tidak membacanya. Karena cerita ini telah dikutuk.
Ingat! Kalian telah diperingatkan!
🦷🦷🦷
Rumah Gadang terbesar di desa Galogandang itu terlihat suram. Salah satu penghuninya--Datuak Paduko Rajo--sekarat. Penyakit asma yang dia idap, semakin menggerogoti tubuh. Dada sering sakit, bernapas pun sulit. Hal yang paling membuatnya ingin cepat mati adalah ketika asma itu datang menyerang, jantungnya seakan-akan tertarik dan tercabut ke atas. Seolah-olah organ penting tersebut hendak melompat dari mulutnya.
Berbagai macam obat sudah dia minum. Berbagai ramuan dari dukun terkenal dan sakti mandraguna pun telah dia teguk, tapi tetap tidak ada hasil untuk kesembuhannya. Dari hari ke hari, dadanya terasa terbakar. Nyeri. Sering kali dia ingin mengeluhkan rasa sakit, tapi pantang baginya memperlihatkan semua itu. Apa lagi selama ini dia dikenal sebagai sosok yang ditakuti.
Orang terpandang. Bukan saja kaya harta, tapi juga memiliki ilmu batin yang mumpuni. Tidak begitu banyak orang yang menjadi karib dekat atau pun berurusan dengannya. Setiap apa pun yang ingin diucapkan ketika berhadapan dengannya harus disaring sedemikian rupa. Kalau tidak, siap-siap saja menderita muntah darah.
Semua penduduk desa Galogandang mahfum dengan semua itu. Jika tidak penting-penting sekali, orang tidak akan mau bertandang ke rumahnya atau pun bercakap-cakap dengannya. Menjauh adalah cara terbaik agar tidak mendapatkan masalah dengan pria yang sudah kematian isteri tersebut.
Datuak Paduko Rajo, selain temperamen juga sosok yang disegani. Di balik sikap dan pembawaannya yang menakutkan, sungguh dia memiliki cinta yang sangat luar biasa kepada keluarganya. Baginya, keluarga adalah prioritas utama hidupnya. Tidak ada kehendak anaknya yang tidak dia kabulkan.
Namun, walaupun begitu, dia juga mendidik anaknya dengan keras. Jadi, tidak ada satu pun dari mereka yang manja dan suka berleha-leha. Kalau dilihat dari kacamata orang luar, dia berhasil mendidik dan mengajar anak-anaknya.
Cinta kepada anak itu sudah hal yang wajar bagi seorang ayah. Hal yang paling ditanamkan oleh Datuak Paduko Rajo, hormati orang tuamu. Engkau tidak perlu membalas jasa-jasa mereka. Cukup berbuat baik dan memuliakan keduanya.
Sungguh ajaran yang sangat bagus. Namun, hati manusia siapa yang tahu?
Lelaki tua bergelar Datuak Paduko Rajo itu menatap anak-anaknya yang terdiri dari dua perempuan dan satu laki-laki. Perempuan tertua bernama Marini, 35 tahun, perempuan kedua, Emawati, 30 tahun, dan yang terakhir laki-laki, 25 tahun, Zainuddin bergelar Sutan Marajo.
Kini, di usianya yang sudah tujuh puluh lima tahun, tubuhnya semakin ringkih dan kurus. Pipinya begitu cekung. Kulitnya sudah sedemikian keriput. Tidak ada lagi tersisa kegagahan yang dulu membuatnya begitu merasa perkasa dan jumawa. Waktu telah mengambil semua kebanggaannya. Hanya sorot mata yang masih begitu tajam yang menguar setiap kali dia membuka mata. Mata yang tidak mengenal rasa takut. Mata yang tidak menyerah pada rasa sakit, dan mata yang selalu dipenuhi hasrat untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.
Di keheningan malam yang mencekam, di luar Rumah Gadang anjing terdengar melolong panjang. Angin berembus dan menimbulkan derik-derik ketakutan yang menyelinap melalui celah-celah tadir rumah.
Waktu kian bergulir menjemput malam. Sudah sekitar satu jam Datuak Paduko Rajo membuat ketiga anaknya berdiri dengan gelisah di samping kiri dan kanannya. Mereka seakan-akan mendapatkan suatu firasat yang tidak enak. Seolah-olah inilah masa yang mereka tunggu-tunggu.
Namun, mereka saling memakai topeng wajah yang penuh cinta. Memasang kesedihan seolah-olah takut sesuatu yang buruk terjadi dengan ayah mereka. Padahal, jauh di dalam hati, mereka ingin sekali pertemuan ini cepat berakhir.
Penantian mereka akhirnya membuahkan hasil. Datuak Paduko Rajo yang sedari tadi memejamkan mata, menatap mereka satu per satu dengan sorot mata tajam dan dingin.
"Sebelum aku mati, ada beberapa hal yang harus kalian tahu, anak-anakku. Wasiat yang kutinggalkan, jangan sampai kalian langgar. Jika kalian tidak mematuhinya, maka hidup kalian berada dalam bahaya."
Datuak Paduko Rajo menghela napas sejenak, merasakan rasa sakit yang menggumpal di dadanya. Usia yang sudah lanjut membuatnya kian rapuh, tapi sorot mata yang ia pancarkan tetap penuh aura tajam dan membuat siapa pun tidak berani menatapnya lama. Seperti yang diperlihatkan anak-anaknya. Mereka bertiga menunduk takzim.
"Dengarlah apa yang akan aku sampaikan ini. Bisa saja nyawaku lepas dari badan setelah semua urusanku selesai. Semakin cepat kalian tahu, semakin mudah kematianku. Engkau, Sutan! Mendekatlah!" Tangan tuanya melambai pelan. Sutan Marajo menggeser badannya ke sisi tempat tidur. Matanya menatap wajah ayahnya sejenak, lalu kembali merunduk.
"Ketahuilah, Sutan. Engkau satu-satunya anak lelaki yang aku miliki. Engkau adalah mamak di Rumah Gadang. Anak dipangku, kemenakan dibimbing, jangan sampai engkau lupakan. Jaga martabat kaum dan keluarga. Harga diri keluarga adalah segala-galanya. Semua harta pusaka jangan pula engkau jual-jualkan. Melarat hidup engkau dan keluarga engkau. Tolong-tolong jugalah kakak-kakak engkau. Inilah wasiatku untuk engkau, Sutan. Aku tinggalkan sebidang tanah, yang bukan tanah ulayat. Lokasinya tentu engkau sudah tahu, di Balai Raba'a. Engkau dirikanlah kedai atau apa pun yang bisa engkau jadikan tempat usaha. Semoga saja berkah hidup kau, Sutan." Datuak Paduko Rajo kembali memegang dadanya, berusaha meredam rasa nyeri yang tiba-tiba datang menyerang.
"Ayah ...." Sutan Marajo memegang lengan lelaki tua itu. "Janganlah Ayah memaksakan diri. Ambo pasti akan jaga apa yang patut. Tidaklah akan ambo biarkan arang tercoreng. Tentu juga tidak perlu Ayah risaukan segala harta pusaka dan Uni-uni ambo. Selagi ada napas di badan, ambo akan siap siaga dengan segala keadaan."
Mata mereka sesaat saling bersitatap. "Engkau sudah berjanji, Sutan. Peganglah layaknya lelaki." Sorot mata Datuak Paduko Rajo jelas mencerminkan keraguan. Tampak sekali kalau ada yang mengganjal di hatinya.
"Ambo janji, Ayah." Mata Sutan Marajo terasa panas. Dia yakin, masa itu kian dekat. Genggaman tangannya di tangan ayahanda kian kuat.
"Kalian anak-anak perempuanku. Mendekatlah." Suara Datuak Paduko Rajo mulai terdengar pelan. Marini dan Emawati segera mendekat, sementara Sutan Marajo pindah ke belakang. "Anak-anakku. Rasanya aku semakin tidak sanggup untuk berpanjang-panjang kata. Masing-masing kalian sudah kubuatkan surat. Bacalah nanti setelah 7 hari kematianku."
Kedua perempuan itu saling pandang. Keheranan jelas tergurat di wajah masing-masing. Namun sebelum sempat mereka bertanya, Datuak Paduko Rajo melenguh kencang. Dadanya terasa sangat sakit. Napasnya megap-megap.
"Ayaaah!" Mereka bertiga serentak memburu tubuh yang sedang kesakitan itu. Mata Datuak Paduko Rajo membelalak. Seolah-olah dia melihat hantu. Wajahnya yang sudah pucat semakin pucat. Tangannya terulur ke atas, menunjuk sesuatu di langit-langit rumah.
Sutan Marajo dan kakak-kakaknya menoleh ke arah yang ditunjuk, tapi yang terlihat hanyalah kegelapan. Ketika mereka kembali menatap Datuak Paduko Rajo, mereka serentak menjerit.
"Ayaaah ...!"
Datuak Paduko Rajo memiliki 3 orang anak. Dua perempuan, satu laki-laki. Anak tertua Marini, Kedua Emawati dan yang ketiga Zainuddin bergelar Sutan Marajo.
Datuak Paduko Rajo sudah berusia 75 tahun dan sedang sekarat. Sebelum ajal menjemput, dia memberikan wasiat kepada anak-anaknya. Wasiat yang tidak boleh dilanggar.
Namun, manusia selalu buta kalau sudah bersinggungan dengan harta. Ketiga anaknya pun berebut warisan sehingga berencana saling membunuh.