webnovel

Pulang Izin Sakit

Pertemuan yang tidak disengaja membuat Galang bingung untuk bersikap seperti apa. Ia tidak menyangka bisa bertemu dengan Zahra saat ijin pulang di gang menuju ke sekolah. Raut wajahnya terlihat pucat dengan bibir pecah-pecah dan warnanya memudar. Galang harus menyimpan energinya yang tinggal sedikit untuk perjalanan pulang.

"Lo baru datang atau mau pulang?" Galang tidak memperhatikan dari mana Zahra datang.

"Gue baru mau ke sekolah, lo benar izin pulang?" tanya Zahra.

"Iya, badan sedang tidak bisa diajak kompromi. Kepala pusing dan panas dingin, padahal tadi baru marathon lari keliling komplek belakang sekolah." Galang tampak bingung depan tubuhnya.

"Dahi lo sedikit demam saat gue pegang tadi. Sebaiknya lo istirahat di rumah, jangan terlalu banyak main game. Lo belum bisa berhenti dari game, 'kan?" pikir Zahra.

"Em, gue masih main game di handphone." Galang melihat jam di handphone miliknya. Ia harus segera bergegas pulang sebelum dirinya semakin melemah.

"Dasar, mau seberapa tebal lagi lensa minus kacamatanya? Lo selalu melimpahkan semua rasa kesal dengan bersantai bermain game, lain kali coba gunakan waktu lo untuk yang lain." Zahra menyentil ujung topi yang dipakai Galang.

"Gue pergi, yah? Sorry, tapi gue tidak menyangka bisa bertemu lo di sini," pikir Galang.

"Lo saja yang jarang bicara dengan gue sejak kelas satu. Lang, lo harus banyak bersosialisasi lagi. Banyak orang yang memperhatikan lo dari jauh, termasuk gue. Karena kalau dilihat dari sedekat ini dan membuka topi seperti ini, lo terlihat lebih tampan." Zahra melepas topi Galang, ia mendekatkan wajahnya ke Galang.

Galang merasa malu, ia berpikir bila Zahra terlalu sangat dekat dengannya. Galang coba mundur selangkah, ia mengambil kembali topi miliknya dari tangan Zahra. Lalu ia mengenakannya kembali. Galang melihat Zahra tersenyum ke arahnya, ia jadi semakin salah tingkah dan memilih untuk pergi.

"Maaf, kita bisa mengobrol lagi Senin depan di sekolah, bye." Galang bergegas pergi tanpa melihat wajah Zahra.

Zahra merasa bingung, ia benar-benar melihat sosok Galang yang masih sama dengan dirinya di masa SMP. Begitu kaku, selalu canggung, merasa malu di depan orang, dan tidak terlalu nyaman di keramaian.

Galang menghela napas, ia merasa tubuhnya semakin lemah. Sepertinya banyak energi yang dibuang untuk mengelilingi area komplek dan pekuburan. Ia memilih menggunakan aplikasi ojek online, Galang memesan satu untuk mengantarnya pulang.

"Entah kenapa hari ini sangat melelahkan, kenapa badan gue tidak bisa diajak survive sedikit? Menyebalkan!" keluh Galang.

Ojek online pesanannya tiba, ia segera menggunakan helm dan naik ke atas motor. Galang menyerahkan perjalanan pulangnya ke abang ojol. Ia memilih memejamkan matanya sambil terus waspada agar tidak terjatuh dari motor. Aksinya memang berbahaya, tapi Galang coba sebisa mungkin untuk tetap sadar.

"Besok akan diadakan pengambilan nilai lari estafet di velodrome stadion. Bawa uang 10000 untuk biaya masuknya, lalu jangan lupa satu kelompok perlu 4 orang. Kalian bisa berkelompok dari teman di kelas lain, bila punya teman." Pak Macho mengakhiri pelajaran olahraga.

Ia keluar dari kelas dan membiarkan para siswa untuk berganti pakaian. Dena segera keluar kelas bersama Anis menuju ke kamar mandi perempuan, ia terus melihat layar handphone miliknya. Dena bertanya dalam hati mengenai keadaan Galang.

"Besok kita kumpul di gerbang depan velodrome, tapi kurang satu orang." Diki melirik Ajo dan Nabil.

"Nanti gue chat Galang bisa ikut atau tidak." Ajo mengirimkan pesan.

[Besok ada pengambilan nilai olahraga, bawa uang 10000 untuk biaya masuknya. Lo bisa datang, 'kan? Harus! soalnya kita kurang orang.] Pesan terkirim.

"Kalau besok Galang tidak bisa, kita transfer pemain dari kelas lain," pikir Nabil.

"Lo kira semudah itu," sahut Diki.

Galang sampai di depan rumahnya. Ia segera masuk tanpa mengetuk dan memberi salam kepada mamanya. Galang langsung naik ke atas dan masuk ke dalam kamar. Ia langsung jatuhkan diri dalam dekapan lembutnya ranjang miliknya. Matanya langsung terpejam dengan seragam dan sepatu masih melekat pada badannya.

"Lang, Itu kamu?" Mama naik ke lantai dua dan melihat pintu kamar Galang terbuka. 

Ia membuka pintunya dan melihat Galang sudah rebahan dan tertidur di atas ranjang. Mama hanya bisa menggelengkan kepalanya, ia menempelkan tangan kanannya di dahi Galang. Dugaannya benar bila Galang jatuh sakit.

"Siapa suruh malam-malam begadang main game, kamu itu memang benar-benar, yah." Mama membenarkan posisi tidur Galang. Ia juga mencopot sepatu yang dikenakan Galang. Lalu mama menyelimuti tubuh Galang dengan selimut.

"Sudah dibalas Galang?" tanya Diki.

"Belum, sepertinya lagi hibernasi di kasur, makanya agak lama balasnya." Ajo menyindir halus.

"Weekend maunya gue bangun siang, eh, tapi harus lari estafet! Pak Macho tidak bisa paham timing yang tepat, gitu?" keluh Nabil.

Mereka segera rolling class menuju ke kelas fisika yang berada di lantai dua. Namun sebelum menuju ke sana, Nabil memilih menyeret Ajo dan Diki ke arah kantin. 

"Lo pasti mau makan mie, iya, 'kan?" tebak Diki.

"Gue butuh asupan cabe rawit untuk memutar otak biar lebih bekerja." Nabil menghampiri si mami penjual mie.

Ajo memilih membeli siomay dan batagor untuk mengganjal perut sambil menunggu Nabil, sedangkan Diki memilih menyantap bakso dengan banyak sambal dan saos.

"Hai, guys, lagi pada makan ternyata. Ikutan, ah …." Dena tiba-tiba datang bersama Anis dan Indah.

"Si Galang mana? Gue tidak melihat dia?" Anis melirik ke sana kemari coba mencari.

"Oh, baru ditransfer ke Antartika. Jangan dicari, nanti bikin mual," sindir Nabil.

"Tadi gue lihat dia pulang. Sakit, yah, Jo?" Dena menoleh ke arah Ajo.

"Tadi bilangnya nyeri dan pusing karena efek datang bulan, jadi dia butuh waktu lebih. Soalnya takut datang meteor habis itu," sindir Ajo.

"Si Ajo! Bagaimana mungkin Galang bisa datang bulan! Terus ditambah datang meteor! Kenapa tidak sekalian datang BTS!" Indah langsung emosi. 

"Besok pada ikut lari?" tanya Dena.

"Mau tidak mau, Na." Diki terlihat pasrah.

"Pak Macho memang bisa buat weekend lebih kelabu, seharusnya gue bisa tidur sampai siang!" Nabil merasa kesal.

"Dua kali lo ngeluh hal yang sama, Bil." Ajo coba mengingatkan Nabil lagi.

"Habis dari lari, bagaimana kalau kita makan bebek di sekitar situ?" Dena memberi saran.

"Ini pajak jadian kedua? Kalau, iya, gue ikut," sindir Ajo.

"Si Ajo kalau soal PJ langsung gercep, yak! Daebak-lah!" Indah sampai bertepuk tangan melihat kecepatan Ajo berbirokrasi.

"Gue ikut, deh, hitung-hitung sarapan." Nabil menambahkan.

"Dena, bagaimana? Masih cukup itu cuan?" Anis melirik ke arah Dena.

"Masih, oh, iya, untuk Galang jangan dikasih tahu. Jadi besok langsung tarik saja dia buat ikut makan, yah?" pinta Dena.

"Lah, kenapa? Lo takut Galang kabur pas lihat lo sama Zainal?" sindir Ajo.

"Eh, Zainal besok ikut juga, Na?" Nabil menoleh ke arah Dena.

"Ikut, bersama Anang. Jadi lebih banyak dan ramai, 'kan?" Dena tertawa lepas.

"Habis makan sekalian nonton bagaimana?" ajak Anis.

"Nonton apa? Orang gila di parkiran?" sindir Indah.

"Nonton horror baru, sudah tayang di bioskop!" Anis berikan poster via handphone.

"Ayo …." Dena langsung bersemangat.

"Dena?" Zahra tiba-tiba muncul.

"Zahra? Tidak ada kelas?" tanya Dena.

"Gue ada, tapi lagi mau beli siomay buat ngemil di kelas. Oh, iya, tadi gue ketemu sama Galang di jalan. Badannya demam, terus mukanya pucat, dan bibirnya pecah-pecah." Zahra coba menjelaskan.

"Oh, itu efek keracunan. Tidak apa-apa, nanti bisa sembuh sendiri," sindir Nabil.

Indah langsung memukul kepala Nabil yang main sahut tanpa permisi.

"Ya, sudah, gue tinggal dulu, bye …." Zahra melanjutkan hunting siomaynya.

Dena merasa khawatir dengan keadaan Galang setelah Zahra mengatakan hal itu. Ia berpikir ingin mengirimkan Galang pesan, tapi sepertinya itu percuma.

"Cih, kenapa besok ada lari estafet segala! Sial! Sial! Sial!" Galang merasa kesal saat melihat pesan masuk dari Ajo. 

"Bakal jadi hari yang panjang besok, dah!"