webnovel

Jaga Jarak

Seperti embun pada helaian daun dikala fajar. Bulir-bulirnya terkadang membungkus rapat permukaan daun. Mungkin embun enggan berpisah pada daun saat pagi menyingsing. Tapi apa daya ia hanya embun pagi yang akan menguap ketika matahari menampakkan dirinya.

Jari-jari Arfan menyisir rambutnya ke belakang yang mulai panjang. Tugas kelompok ini membuatnya gerah, memang tugas kelompok tapi dari enam orang hanya ia yang mengerjakan tugasnya. Yang dia tunggu sekarang hanyalah bel istirahat. Arfan ingin makan bakso, perutnya sudah lapar minta diisi. Arfan mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas, guru bahasa Indonesia sedang tidak masuk dan hanya memberikan tugas kelompok. Jadi wajar saja isi kelompok sekarang sangat berisik.

Arfan menyerahkan kertas double folio kepada Abrisam yang sibuk membaca novel yang tidak Arfan ketahui judulnya, "Nih, kerjakan tinggal dua soal lagi." Abrisam tanpa membantah menutup novelnya lalu mengerjakan sisa soalnya.

Arfan merutuki dirinya sendiri kenapa tidak dari tadi ia menyuruh Abrisam saja yang mengerjakannya.

Tiba-tiba kelas mendadak hening, Arfan bertanya-tanya dalam hati, ada apa ini?

"Yang laki-laki keluar!"

'oh ternyata guru BK yang bawa-bawa gunting cuma menyuruh laki-laki keluar kelas.' Arfan mengangguk paham, tanpa menaruh curiga sedikitpun. Maka ia melangkahkan kakinya keluar kelas diikuti siswa lainnya, ia menoleh kearah Abrisam yang sejak tadi senyam-senyum tidak jelas kearahnya.

"Kenapa?" Abrisam hanya menggeleng sebagai jawaban.

Arfan tidak tahu kenapa guru BKnya yang ini memegang rambutnya terus, lalu beberapa helai rambutnya jatuh di depan wajahnya. Ah, karena Arfan terlalu fokus dengan perutnya yang minta diisi bakso, ternyata rambutnya sekarang sedang digunting dengan guru BK.

Dan pantas saja Abrisam senyam-senyum kearahnya, ternyata Arfan baru tahu ternyata Abrisam sudah lebih dulu mencukur rambutnya satu senti yang berarti Abrisam aman terlindungi. Arfan mencoba untuk tidak peduli dengan rambutnya, tapi ia di buat jengkel dengan tatapan Abrisam yang menertawakannya.

-

Arfan terus saja memegangi topi yang menutupi kepalanya dan sesekali menyendok bakso masuk ke dalam mulutnya.

"Topi itu tidak akan terbang." Abrisam benar benar risih dengan kelakuan Arfan yang sejak tadi memegangi topinya, takut sekali topi itu terbang yang akan memperlihatkan rambutnya yang pitak. Ck, tidak peduli rambut Arfan yang pitak tatapan-tatapan itu masih tetap sama seperti sebelumnya Abrisam benar-benar iri. Dulu saja ada ketika Arfan terkena razia rambut dia tidak peduli dengan rambutnya dan melenggang berjalan tanpa topi seperti tidak ada apa-apa, tapi entah kenapa sekarang dia berubah.

"Diam saja, kamu tidak akan mengerti." Setelah terjadi insiden pemotongan rambut, Arfan tidak langsung ke kelas melainkan ia meninggalkan TKP untuk pergi ke WC. Saat disana Arfan menelfon Abrisam untuk membawakannya topi.

"Bagianmananya yang tidak Aku mengerti?" Sebelum Arfan menjawab pertanyaannya, Abrisam menyeru pada Zahra yang terlihat bingung sambil menenteng piring yang entah berisi apa. "Disini saja."

Arfan berkata pelan, "Bukankah Aku sudah bilang bahwa Aku akan menjauhinya."

"Aku tahu. Tapi dia sendiri, tidak ada Laila, yang kosong hanya di meja kita," Abrisam membalas tak kalah pelan.

Zahra yang mendengar Abrisam menyeru padanya ikut duduk di sebelah Abrisam, awalnya dia ragu tapi akhirnya ia duduk dengan menjaga jarak. Zahra duduk tepat didepan Arfan dengan meja menjadi penghalangnya Arfan seperti menahan nafasnya sejenak, berdoa agar topi ini tidak berlari dari kepalanya.

"Kenapa sendiri? Laila kemana?" Abrisam bertanya setelah ia meminum es tehnya.

'Osis.' Zahra menggerakkan bibirnya, ia lupa membawa buku catatan ataupun handphone saat pergi ke kantin.

Arfan dan Abrisam mengangguk mengerti, Abrisam saja yang ketua OSIS tidak datang malah memilih memakan semangkuk bakso di kantin.

Selanjutnya, hening di antara mereka. Abrisam bergerak-gerak gelisah di bangkunya bukan karena bakso yang dia makan terasa pedas, tapi Abrisam tidak menyukai keheningan seperti ini. Beberapa kali ia menendang tulang kering Arfan dibawah meja. Tapi yang ditendang seperti bocah 5 tahun yang sedang menghitung jumlah pentolan bakso yang belum dimakannya, dengan mulut bergerak-gerak. Abrisam melihat Zahra dari sudut matanya, Zahra tampak hikmat menikmati sepiring penuh siomay ia hanya tak mengira nafsu makan perempuan disampingnya ini cukup besar. Dan Abrisam juga tak mengira sahabat didepannya ini yang dari sebelum istirahat merengek ingin minta bakso karena lapar dan sekarang Arfan bertindak, you know lah!

"Duh tangan jadi gatel. Jangan-jangan mau dapat duit." Abrisam menggaruk-garuk telapak tangan sebelah kirinya.

"Mitos. Itu gara-gara kamu tidak cuci tangan sudah cebok." Arfan menyeletuk.

Mendengar ucapan Arfan yang tanpa filter, Abrisam otomatis menendang lagi tulang kering Arfan di bawah meja dengan penuh tenaga. Arfan yang tanpa di perintah tentu saja berteriak kesakitan.

Zahra tertawa tanpa suara, Arfan jadi melupakan rasa sakit yang berdenyut di betisnya. Ia kembali makan walaupun sejak kedatangan Zahra Arfan sudah mendadak kenyang.

"Nih. Belum cuci!" Abrisam menggosokan telapak tangan kirinya pada kemeja putih Arfan. Zahra menatap telapak tangan Abrisam dengan tanpa sengaja memberikan pandangan jijik.

Abrisam berhenti ia kembali duduk saat Zahra memandangnya dengan jijik, "Percaya?"

Mendengar pertanyaan spontan itu Zahra berkedip beberapa kali untuk menormalkan cara pandangnya, mengedikan bahu sekilas dan kembali menikmati siomaynya yang sejak tadi terus memanggilnya untuk minta dimakan.

"Dia mamang jorok." Arfan menunjuk Abrisam dengan sendok sambil berkata santai.

Zahra mengangguk setuju di sela-sela kunyahannya.

Abrisam membenarkan letak kacamatanya dan menghembuskan nafas dengan pelan. Ia menyendok suapan terakhir baksonya lalu menghisap es tehnya sampai tandas.

Otak Arfan mengirimkan sinyal bahaya. Gerakan hindaran Arfan terlalu lambat dari pada kibasan tangan Abrisam.

Kibasan tangan yang membuat topi abu abu Arfan yang sejak tadi bertengger manis di kepala Arfan terjun bebas kebawah. My hair!!!

Arfan cepat menatap Zahra yang sedang berdiri wajahnya seperti menahan tawa. Lalu dengan mimik wajahnya Zahra pamit pada mereka berdua untuk kembali ke kelas. Mereka berdua mengangguk ketika Zahra membalikkan badannya Arfan menghentikannya, "Diam disitu!"

Arfan tidak lagi peduli pada rambutnya, toh Zahra sudah melihatnya. Ia sekarang berjalan ke arah Zahra yang sedang menatapnya bingung.

Tangan Arfan terulur menggapai kertas yang tertempel di belakang jilbab Zahra.

TEMPATMU BUKAN DISINI, BISU!!

Arfan meremas kertas yang di pegangnya menjadi bulatan dan mengantonginya. Ah, Zahra mengerti sekarang pasti tulisan seperti sebelumnya lagi. Zahra tidak mengambil pusing dengan apa yang terjadi padanya, selagi dia tak terluka maka tak menjadi masalah.

Zahra tersenyum kepada Arfan, walaupun tidak benar-benar menghadap Arfan lalu melambaikan tangannya dan berlalu pergi.

Arfan kembali ke meja kantin dengan muka kesal. Arfan kemarin bilang untuk mencoba tidak peduli apapun yang terjadi pada Zahra. Namun Abrisam merasa cukup peka dengan apa yang terjadi, Arfan memang ketua kelas yang peduli terhadap teman kelasnya yang terkena bully apalagi jika yang di. Bukan cuman Zahra sebelumnya juga ada, bahkan Arfan membuat siswi yang membully hampir di keluarkan dari sekolah agar kapok.

"Habiskan dulu esnya kita ke kelas, ini sudah masuk. Nanti kita cari orangnya." Abrisam menepuk-nepuk bahu kiri Arfan.

-

Sudah hampir setengah jam Arfan menunggu Zahra di dalam kelas tapi Zahra sama sekali tidak terlihat batang hidungnya semenjak dari kantin tadi. Sudah bertanya pada Laila, ia bilang Zahra ada keperluan ke WC dan tidak ingin ditemani. Maka Arfan pun menunggu, Arfan bertanya dalam hati apakah perempuan jika masuk kedalam wc sekolah akan selama ini.

Laila pun ikut khawatir ada apa yang terjadi pada Zahra sehingga bisa selama ini untuk masuk ke kelas. Laila dari awal ingin menyusul Zahra tapi, guru bahasa Inggrisnya ini tidak memperbolehkan anak muridnya keluar kelas saat pelajarannya. Zahra bisa lolos dari gurunya ini karena dia lebih dulu keluar kelas sebelum gurunya masuk.

Arfan sudah tidak tahan lagi perasaannya sudah tidak enak sejak tadi. Maka Arfan berdiri mendekati meja guru tersebut memasang wajah bahwa dia sudah tidak tahan lagi untuk buang air kecil jika guru ini masih menahannya dikelas Arfan bisa saja mengompol di celana dan dia tidak membawa celana ganti. Guru bahasa Inggrisnya ini menganggap Arfan tidak pernah berbohong padanya, dan menganggap Arfan sudah benar-benar diujung. Berhubung gurunya perempuan semua jadi terasa mudah.

-

Zahra sudah lelah memukulkan tangannya pada pintu kayu dihadapannya. Berteriak pun tak ada gunanya, tidak ada suara yang keluar dari mulutnya hanya keheningan yang menemaninya. Zahra sudah salah sejak awal, kenapa ia masuk sekolah untuk orang-orang normal kenapa dia tidak masuk sekolah luar biasa saja. Ia bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat disana, tidak ada yang mengerti bahasa isyarat disini.

Ia hanya bisa menunggu seseorang untuk membuka pintu yang terkunci ini tapi siapa yang akan masuk gudang olahraga pada pelajaran terakhir dan saat seluruh siswa SMA tidak ada yang berolahraga ataupun memakai alat-alat olahraga. Temannya? Hanya Laila temannya, mungkin saja Laila mencarinya tapi apakah Laila akan mencarinya sampai kesini. Arfan dan Abrisam? Mereka bukan teman Zahra, karena tidak ada pertemanan dengan lawan jenis.

Zahra baru menyadari bahwa kedekatannya dengan Abrisam dan Arfan sudah seperti teman.

Dan Zahra melupakan hal sepenting itu, Ibu Kamila yang merupakan ibu yang merawatnya saat di panti asuhan dulu pernah berbicara padanya bahwa perempuan adalah cobaan yang paling berbahaya bagi laki-laki. Dan mulai sekarang Zahra harus mundur teratur dari mereka.

Zahra lupa membawa handphone, untuk menghubungi Laila. Jadi ia menunggu sambil berdoa, untuk petugas sekolah atau siapapun yang berbaik hati memeriksa ruangan ini.

Suara bel pulang sekolah terdengar, Zahra jadi makin gugup rasanya ia ingin menangis tapi percuma tangisannya tidak akan bisa membuka pintu kayu di depannya ini.

Zahra kembali memukul-mukul pintu tersebut terus berharap seseorang membukanya. Ia mendengar suara derap langkah dari balik pintu, Zahra makin mengencangkan pukulannya.

"Zahra?" Zahra mendengar suara Laila dari balik pintu, Zahra mengangguk dengan cepat walaupun ia tahu Laila tidak akan melihatnya.

"Zahra tunggu, Aku ambil kuncinya. Tunggu sebentar lagi. Tunggu." Zahra mengangguk sambil memukul sekali pintunya sebagai jawaban. Ia bersyukur karena Laila mencari dan menemukannya.

Zahra berbalik untuk melihat ruangan sekitar yang sudah didiaminya beberapa jam ini. Jantung Zahra rasanya ingin lepas saat melihat manekin alat peraga organ dalam yang ada dihadapannya. Ia pikir itu orang, bisa-bisanya manekin itu ada disini.

"Zahra aku buka pintunya." Suara teriakan Laila dari luar menghentikan guliran mata Zahra yang mengamati sekitarnya, ia kembali berbalik dan mendapati Laila menerjang ke arahnya.

Setelah mereka melepas pelukannya, Zahra melihat wajah Laila yang seperti ingin menangis. "Kau dikunci oleh mereka?" Zahra mengangguk.

"Besok kita laporkan ke guru BK." Zahra menggeleng dengan tatapan memohon agar Laila tidak melaporkan ke guru BK, ia sebenarnya bersyukur terkunci di ruangan ini ia jadi bisa mengingat kesalahannya. Ia sebenarnya tidak tahu siapa yang mendorong dan menguncinya disini tapi saat itu mereka bilang agar ia menjauhi Arfan. Lagi pula kapan Zahra mencoba untuk mendekati Arfan, dan kapan Arfan mendekatinya jika itu bukan hal penting. Mereka pasti menyukai Arfan, tapi bukankah ini berlebihan.

"Baiklah, jika mereka melakukannya lagi. Aku akan langsung melaporkannya Aku tidak akan peduli jika kamu melarangku. Ayo pulang biar ku antar." Zahra sekali lagi mengangguk. Laila menggiringnya keluar dari gudang, tapi mata mereka menangkap Arfan dengan keringat yang membanjiri wajahnya.

"Akhirnya ketemu." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Arfan. Arfan awalnya lelah setelah mengelilingi sekolah yang bisa terbilang luas itu, tapi lelahnya seolah terangkat ketika ia menemukan Zahra yang sudah di temukan lebih dulu oleh Laila.

Zahra meminjam handphone Laila, lalu ia mengetik sesuatu pada catatan disana dan menunjukkannya pada Arfan.

Ayo jaga jarak. Karena tidak ada pertemanan di antara laki-laki dan perempuan. Dan Aku tidak ingin karena kepedulianmu fitnah datang kepadaku.

.

Arfan sudah tahu siapa yang mengunci Zahra di gudang olahraga. Dia bisa saja membuat perempuan itu menangis seharian karena menyesal. Tapi ia bukan pengecut yang berani melukai perempuan. Di biarkan saja Lia akan semakin menjadi seperti sekarang. Tapi jika dibalas, bukannya tidak boleh balas dendam. Arfan hanya bisa memberitahunya, tapi itu memang tujuan Lia untuk mencari perhatiannya. Sungguh Arfan benar-benar tidak tahu kenapa Lia sampai berbuat seperti itu, bukankah itu berlebihan. Memangnya apa kelebihan Arfan hingga bisa membuat perempuan itu menyukainya. Tapi ia tahu sekarang bagaimana harus menanggapi perempuan itu.