webnovel

Familiar

Selamat Membaca

Arfan mengedarkan pandangannya ke sekeliling kelas matanya terhenti tepat di sebuah bangku kosong di depan sana. Dia sebenarnya tidak peduli, tapi matanya seolah tidak bisa di ajak berkompromi dan selalu melihat ke sana.

Jadi Arfan mencari pengalihan yang benar-benar dapat mengalihkannya.

"Risam!" Arfan memanggil Abrisam yang sibuk bermain game online.

"Apa?" Abrisam tidak mengalihkan pandangannya. Terus fokus pada gamenya.

"Ke kantin," katanya singkat, bergerak gelisah tidak ingin berlama-lama berdiri.

"Ini masih jam pelajaran, tidur aja sana."

"Ini jam kosong bentar lagi juga istirahat."

"Aku puasa."

"Bilang dari tadi. Ribet banget." Arfan memutar matanya dan meninggalkan kelas.

Awalnya Arfan ke kantin tapi ketika baru saja mendudukkan diri di bangku kantin seorang gadis tiba-tiba datang dan membawa makanan lalu duduk di hadapan Arfan, gadis itu seolah tak peduli dengan dia duduk di hadapan Arfan.

"Tumben, kamu bolos Fan?" Lia, nama perempuan itu menatap Arfan, yang di tatap hanya menunduk memainkan handphonenya. Lia menyisipkan rambutnya ke belakang telinga.

"Bukan urusanmu." Jawaban datar yang di terima Lia. Ia tersenyum lebar.

"Kamu ngomong dikit Aku seneng banget loh." Lia berbicara semangat.

Lia mengangkat minumannya sejajar dengan leher, dan meminumnya perlahan lewat sedotan. Arfan berdiri hendak meninggalkan kantin ia sudah tidak bernapsu lagi untuk makan.

"Mau kemana Arfan?" Lia ikut bangkit berdiri mengikuti Arfan. Kaki Lia tersandung kaki meja, dan ia lupa meletakan gelasnya. Gelas plastik itu terlempar mengenai punggung Arfan dan membasahi seragamnya untung saja isinya cuma sedikit.

Arfan tidak berbalik untuk sekedar melihat keadaan Lia. Arfan mengedar pandangannya ke sekeliling kantin, "Yang pakai baju olahraga, bisa tolong bantu dia." Merasa hanya dia yang memakai pakaian olahraga gadis itu tersenyum saat tau Arfan memanggilnya, ia langsung datang untuk menolong Lia. Sementara Arfan pergi ke toilet untuk membersihkan bajunya.

.

Abrisam yang sedang membaca sebuah buku mengalihkan perhatiannya ke Arfan yang sudah kembali dari kantin. Wajah Arfan terlihat kusut dan rambutnya yang biasa tertata berubah berantakan, apalagi dengan bajunya yang biasa di masukkan dengan rapi sekarang hanya dimasukkan seadanya.

"Kenapa? kusut benget." Abrisam bertanya penasaran sambil menekan kacamatanya.

"Laper."

Abrisam menaikkan alisnya bingung, bukannya tadi Arfan ke kantin untuk makan.

Arfan mendudukkan diri di kursinya.

"Bukannya tadi udah ke kantin?"

"Ke kantin sih sudah. Tapi mendadak gak nafsu makan, biasa." Arfan merapikan rambutnya dengan jarinya.

"Si nenek lampir itu? Lah terus bajumu basah kenapa?" Abrisam baru menyadari punggung Arfan basah. Lia yang biasa Abrisam panggil dengan nenek lampir itu memang biasa mendekati Arfan jika Abrisam tidak ada.

"Ketumpahan es."

"Aku ada baju satu lagi di loker, pakai saja."

"Mager." Arfan melipat tangannya di meja dan menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan.

Abrisam menggeleng kepalanya, melihat kemalasan sahabatnya yang sudah meresap sampai ke tulang.

Jam istirahat tiba, Arfan masih tidur pulas, cuaca yang panas membuat baju Arfan cepat mengering. Abrisam membangunkan Arfan.

Abrisam menyodorkan satu cup mie yang sudah di seduh dan sebotol minuman jeruk pada Arfan. "Nih, makan. Aku mau ke musholla."

Arfan yang masih belum sempurna melihat karena baru bangun tidur, cuma mengangguk dan berterima kasih.

"Tau aja lagi laper." Setelah menyelesaikan makannya ia beranjak pergi ke musholla.

***

Arfan berlari menyusuri koridor rumah sakit, setelah pulang sekolah dan sampai di rumah. Ia mendapatkan sebuah telepon dari seseorang jika adiknya terserempet mobil dan di bawa ke rumah sakit.

Setelah sampai di ruangan adiknya Arfan masuk dengan salam, Arfan melihat tangan kiri adiknya yang terbungkus perban yang di gantungkan ke lehernya. Arfan merasa ia juga merasakan rasa sakit yang di alami oleh adik satu-satunya itu. Tapi adiknya ini malah tersenyum sambil mengobrol dengan orang entah siapa.

Mendengar salam dua orang dalam ruangan melihat ke arah Arfan yang datang dengan masih mengenakan seragam putih abu SMA yang tampak berantakan dan peluh keluar dari keningnya. Arfan langsung menghampiri adiknya dengan pandangan khawatir.

"Za, sakit?" Arfan hanya bertanya pelan, Arfan tahu bahwa tangan itu pasti sakit.

"Iya. Tapi kakak jangan khawatir ini cuman patah tulang berapa Minggu atau beberapa bulan juga akan sembuh."

Arfan menjitak kepala Adiknya yang di jitak hanya meringis, "Cuman? Sini kakak patahin sebelahnya biar gak cuman."

Seorang di dalam ruangan yang dari tadi mengamati tingkah laku kakak adik itu pun berdehem untuk menunjukan eksistensinya.

Sadar akan kehadiran seseorang, Arfan melihat seorang pria umurnya mungkin dua puluh tahunan. Pria itu mulai berbicara, "Maaf sudah menyerempet adik kamu, Saya sangat menyesal."

"Tidak, tidak. Saya kan sudah bilang Saya yang salah karena Saya tidak lihat Bapak dari jauh, soalnya Saya lupa pakai kacamata."

Arfan mendengar penuturan adiknya seketika langsung memarahi adiknya, "Arza kan kakak sudah bilang kalo kemana-mana pakai kacamata. Kalo gak pakai kan hasilnya jadi gini, kamu yang sakit, kakak pun ikut sakit dan orang yang nggak bermasalah juga jadi kena." Setelah memarahi adiknya Arfan menghadap pria yang berdiri di sampingnya dengan pandangan meminta maaf, "Maafkan adik Saya Pak karena dia ceroboh, mungkin mobil bapak lecet. Nanti Saya ganti."

Pria itu menatap Arfan dan tersenyum, "Nggak perlu, mobil saya nggak papa."

"Yaudah kak, kalo ayah sama ibu pulang Arza mau deh operasi mata. Soalnya Arza gak mau pakai kacamata, gak keren."

"Serius nih Za? Kamu mah nanti PHP lagi." Arfan sedikit tak percaya dengan ucapan Arza yang ini.

"Kali ini serius kak, Bapak ini saksinya."

Merasa diikut sertakan pria di sebelah Arfan mengangkat alisnya, "Dari tadi kalian manggil Saya bapak, Saya masih dua puluh tahunan."

"Yaudah Abang aja." Arza berujar cepat, dalam hati ia mendengus 'dua puluh tahun kan udah tua.' Arza masih SMP pikirannya pun masih bocah.

"Za, Abang Saya keluar dulu ya mau urusin administrasi." Arfan hendak berbalik keluar.

"Tadi Abang sudah urus dan sudah di sudah bayar lunas."

"Aduh Bang ngerepotinkan nanti Saya ganti Bang."

"Nggak usah Abang ikhlas, dilihat dari seragam kamu, adik Abang juga sama sekolahnya kayak kamu. Mungkin juga satu angkatan." Zaki mengamati seragam Arfan.

Arfan baru menyadari wajah pria ini terlihat familiar dengan seseorang entah siapa itu.

Zaki itu melanjutkan, "Nama Abang Zaki. Kalian?"

Arza menyaut dan menyambut jabat tangan Zaki, "Arza yang selalu ganteng tanpa batas."

"Maulana Arfan Shakeil, panggil Arfan," memotong perkataan Adiknya lebih lanjut lagi.

"Kamu kelas berapa Fan? Bisa saja kan sekelas sama adik Abang."

"Saya kelas dua belas bang di kelas IPA3."

"Adik Abang juga di kelas dua belas tapi lupa di kelas mana." Zaki tampak berpikir.

Arza hanya mengamati kakaknya dan Abang Zaki. Dia tidak tau bagaimana reaksi Arfan ketika Abang Zaki menelpon kakaknya. Arza berfikir kakaknya ini dari rumah setelah pulang dari sekolah terlihat dari seragamnya yang belum berganti dan tidak membawa tas dan tidak memakai sepatu sekolah. Seragam kakaknya berantakan dan rambutnya acak-acakan.

Ketika kakaknya masuk ke ruangan ini ia tidak menanyakan siapa yang menyerempetnya atau kenapa ia bisa ada disini tapi kakaknya ini menanyakan apakah tangannya sakit. Bagi Arza, Arfan adalah Ibu kedua dan Ayah kedua Arza. Kalo bisa Arza ingin panggil Arfan bunda saja atau Ayah saja. Tapi ia tidak yakin jika ia memanggil Arfan begitu apakah besok ia masih bisa bernapas atau tidak.

"Namanya siapa Bang?"

"Rara. Kenal nggak?"

Arfan menggeleng karena tidak ada nama Rara di kelasnya. Tapi lagi-lagi wajah Zaki terasa familiar seperti mirip seseorang, tapi entah siapa.

Suara dering pesan terdengar dari ponsel Zaki, Zaki mengecek ponselnya dan tersenyum.

"Maaf ya, Abang harus pulang. Tadi sebenarnya Abang keluar mau beli nasi Padang, tapi malah nggak sengaja nyerempet Arza," katanya sambil mengelus leher.

Zaki merogoh dompetnya dan mengeluarkan selembar kartu nama dan menyerahkannya pada Arfan. "Ini kartu nama Abang, kalau kita bisa bertemu di lain waktu."

Zaki mengusap punggung Arza, "Cepat sembuh Za, dengerin kata Kakakmu. Maaf ya sudah bikin Arza luka."

"Aduh Bang sudah di bilangin bukan salah Abang, heran." Arza berbicara nyolot.

Zaki tertawa, "Yaudah Abang pulang ya Za, Fan. Jaga Adik kamu Arfan. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam"

Setelah kepergian Zaki Arfan melihat kartu nama Zaki dan ia terkejut, "Za, Abang tadi kerja di perusahaan Ayah."

"Kak?"

"Hn."

"Aku jadi pengen makan nasi Padang."

.

.

.

.

Terima kasih telah membaca