webnovel

Biarkan Dia Pergi

Zahra menemukan di dalam lokernya penuh dengan coretan cat berwarna merah, di sekolah baru ini pun masih ada saja yang tidak menyukainya. Siapapun yang mencoret lokernya orang itu benar-benar meluangkan waktunya untuk melakukan itu.

Sebelas tahun masa sekolahnya, Zahra sudah sangat terbiasa dengan hal-hal semacam ini. Selama mereka tidak melukai fisiknya, ia tidak akan ambil pusing. Saat sekolah dasar mereka melakukannya karena iri, Zahra memiliki kakak yang perhatian dan menyanyanginya yang selalu melindungi ia ketika kecil. Saat ia berpisah dengan Zaki, mereka membully Zahra karena dia bisu. Tapi sekarang saat Zaki kembali mereka membully Zahra, dengan alasan yang ia tidak ketahui.

"Lokermu kenapa?" lamunan Zahra buyar karena di kaget kan dengan suara Arfan yang tiba-tiba masuk ke indra pendengarannya.

Yang bisa Zahra lakukan untuk menjawab hanya sebuah gelengan kepala. Zahra langsung bergegas menutup lokernya dan kembali ke tempat duduk. Arfan bisa melihat tadi di loker Zahra banyak cat merah di dalamnya, tidak ada pelajaran menggambar di kelas tiga mana mungkin itu tumpahan cat ada yang sengaja melakukannya. Setelah mengambil buku yang di perlukan Arfan duduk ke bangkunya bersamaan dengan suara nyaring bel masuk.

Di saat jam pelajaran berlangsung Arfan berusaha fokus dengan materi yang di jelaskan guru di depan sana. Saking fokusnya sampai Arfan tertidur dengan posisi duduk tanpa memperhatikan kondisi sekitar. Semua orang di kelas sudah tahu bahwa Arfan memang sering seperti ini, mereka bahkan bertanya pada Arfan apa yang di lakukannya pada malam hari sehingga di sekolah ia jadi mudah tertidur.

Tapi sebenarnya Arfan malamnya tidak melakukan apapun yang membuat waktunya terasa sia-sia. Ia tidur cukup, setelah shalat isya Arfan langsung bergegas tidur. Pekerjaan rumah ia lakukan di siang atau sore hari.

Abrisam terkadang curiga bahwa Arfan Narkolepsi. Orang mana yang bisa tidur saat ujian semester, saat upacara sambil berdiri, tiba-tiba tertidur seperti orang pingsan saat sedang makan, dan saat-saat dimana waktu di larang untuk tidur.

Teman sebangku Arfan menyenggol bahu Arfan membangunkan. "Ulangan Harian akan di mulai."

Arfan bangun dengan santai ia merobek kertas di pertengahan buku dan menulis namanya dan bersiap untuk ulangan.

.

"Arfan!" Lia berlari mendekati Arfan yang hendak masuk ke ruang guru bersama Abrisam.

"Lah tuh orang kenapa?" Abrisam bertanya pada Arfan yang seolah tidak peduli. Mereka menunggu Lia sebentar, entah ada hal penting untuk di bicarakan.

Lia yang baru sampai dihadapan Arfan dan Abrisam langsung berbicara. "Mau ketemu Bu Mita kan untuk kumpulan ketua kelas? Bareng ya!"

Abrisam memutar bola matanya malas dan langsung masuk ke ruang guru yang sudah di dahului Arfan diikuti juga Lia.

Setelah mendapat tugas untuk mencatat inventaris kelas, semua ketua kelas akhirnya kembali ke kelas masing-masing.

Kecuali, "Sana ke habitat mu! Ini wilayah kekuasaan kami." Abrisam mengusir Lia yang hendak masuk ke kelas mereka.

"Apa sih, Aku kesini mau minta ajarin Arfan apa aja inventaris yang perlu di catat." Lia merasa Abrisam selalu mengganggu saat ia berusaha mendekati Arfan.

"Bodo amat, Sana keluar." Kali ini Abrisam berkata datar. Dan Lia menurut untuk keluar kelas Abrisam, sebelum keluar dia melihat Arfan berbicara sebentar pada murid baru itu dan kembali ke tempat duduknya. Lihat saja nanti.

Setelah mengusir 'orang' Abrisam datang ke bangkunya yang melihat Arfan malah sibuk dengan game fruit ninjanya. Ingin sekali menempeleng kepala Arfan, ia sudah mengusir orang itu dengan susah payah dan disini Arfan malah asik main game.

Abrisam menendang meja Arfan, tidak kuat cuma untuk mengalihkan perhatian Arfan saja, "Kerjain tugas yang tadi."

Arfan berkata malas. "Itu tugasnya sekretaris."

Abrisam meraih kertas di atas meja Arfan dan berjalan menghampiri meja Laila yang sedang asik mengobrol dengan Zahra. Meletakan langsung kertas tersebut di hadapan Laila.

"Kerjain."

Tanpa adu mulut terlebih dahulu, Laila langsung mengerjakannya tentu saja Abrisam heran.

"Apa liat-liat!" seru Laila berbicara nyolot pada Abrisam yang belum beranjak dari depan mejanya.

Merasa Laila sudah kembali normal, Abrisam berjalan kembali ke tempat duduknya.

"Fan, nanti pulang sekolah Aku ke rumahmu ya mau liat Arza."

Arfan berfikir sebentar. "Kalau pulang sekolah Aku nggak bisa, Aku ada urusan sebentar di sekolah. Setelah ashar aja."

"Iya udah selesai ashar. Emang ada urusan apa di sekolah perasaan kamu nggak ikut ekstrakurikuler Fan."

"Nanti Aku cerita di rumah."

"Mau berantem ya?"

"Aku bukan kayak kamu, Risam. Nanti aja lah ceritanya nggak fokus tidur kan."

"Ah kamu Fan, bikin penasaran aja."

"Berisik."

Setelah bel pulang berbunyi Arfan bergegas keluar sekolah untuk menuju toko yang sekiranya menjual apapun yang bisa menghapus noda bekas cat, setelah itu Arfan menuju sebuah petshop yang tak jauh dari sana untuk membeli sebungkus dry food untuk makanan kucing. Setelah melakukan semua itu Arfan bergegas kembali ke sekolah setelah merasa sekolah mulai sepi.

.

"Aneh sih, kakak kan takut kucing masa gak sadar pegang kucing." Arza berbicara sambil tangannya mengambil pisang goreng di atas piring dan menggigitnya.

"Kakakmu kan memang aneh dari orok." Abrisam berbicara di sela-sela kesibukan bermain game online di handphonenya sambil berbaring nyaman di sofa panjang.

Orang yang di bicarakan mereka makin rapat menutupkan matanya, enggan di sebut aneh. Arfan kan lupa bahwa ia takut kucing, karena pikirannya teralihkan bukan karena ia pura-pura takut selama ini.

"Memang ya kalau cinta bisa merubah tai kucing jadi coklat," kata Arza berbicara seperti tau saja apa itu cinta.

"Nggak nyambung. Kakak bukan cinta tapi peduli terhadap sesama manusia dan hewan, lagi pula kamu masih SMP kayak tau aja cinta." Arfan menyangkal perkataan adiknya.

"Alibi." Abrisam dan Arza kompak bicara.

Arza mulai mengemukakan pendapatnya karena tidak terima di sebut masih SMP, padahal memang benar. "Jangan remehkan Aku yang masih SMP kak, Aku udah cinta hiyori."

"Kakak sudah bilang berhenti nonton anime." Arfan menatap dingin adiknya.

"Aku nontonnya nggak berlebihan kak." Arza membela dirinya sementara Abrisam menghentikan gamenya untuk menikmati perdebatan adik kakak ini. Abrisam anak tunggal jadi dia tidak merasakan bagaimana rasanya punya kakak atau punya adik.

"Nggak berlebihan itu batasannya kayak apa? Nggak tau kan, jadi diam aja. Nggak ada manfaat juga liatin perempuan 2D, nanti bakalan ada anime-anime baru yang jalan ceritanya melenceng dari aqidah dan kamu bakalan penasaran buat nonton. Berhenti dari sekarang Za, kamu belum tau aja dampaknya sekarang."

"Aku nggak ngerti kakak ngomong apa. Tapi Aku nggak mau pisah dari hiyori."

"Nggak mau berhenti? Oke, kakak bakalan ganti password WiFi." Arfan bicara santai namun dengan nada mengancam. Abrisam tersenyum di tempatnya, ancaman macam apa ini.

"Nggak bisa gitu kak, kakak bikin pilihan yang sulit--"

"Uang jajan kakak potong." Ibu dan ayahnya memberikan uang saku Arza pada Arfan. Alasannya karena Arza boros dan bisa menghabiskan jatah sebulan jadi seminggu.

"Apa? Aku belum sempet mikir kak." Arza di kursi bergerak-gerak gusar. Entah kenapa tangan kiri yang di gips mendadak gatal.

"Kamu pulang tempat ibu sama ayah." Arfan makin tersenyum lebar ketika mengeluarkan ancaman ini, tapi tidak untuk Arza.

"Oke, Aku berhenti." Arza berkata pasrah.

Arfan tentu saja tersenyum puas. Arza tidak ingin tinggal di rumah ibu dan ayah tanpa dirinya. Bahkan Arza pindah sekolah di dekat sekolah Arfan. Dan memutuskan pindah untuk tinggal bersama Arfan di sebuah rumah yang di berikan ayah sebagai kado untuk Arfan karena memenangkan juara satu Olimpiade Nasional Matematika. Awalnya sih Arfan ingin mengekos saja agar lebih mandiri tapi ayahnya malah membelikannya rumah. Rumah utama dan rumah Arfan jaraknya hanya sekitar satu jam jika naik motor.

Waktu Arfan dan Arza pindah ayah tampak bahagia dan merasa seperti baru menikah dengan ibunya. Dan ibu mereka tentu saja khawatir meninggalkan dua anak laki-lakinya yang belum dewasa, padahal Arza tiap minggu selalu pulang.

"Kakak mah gitu ancamannya."

"Awas aja kalau sampe kakak liat kamu masih nonton yang kayak gitu diam-diam."

"Iya, enggak."

"Ayok kita lanjutkan perbincangan tadi." Abrisam yang sejak tadi memperhatikan adik kakak itu akhirnya angkat bicara.

"Ayok! Ayok!" Arza berteriak semangat, ingin membalas kakaknya.

Arfan memutar bola matanya malas, ia pikir ancaman yang dia tujukan ke Arza bisa juga untuk mengalihkan pembicaraan ini.

"Nggak mungkin kan kalau cuman peduli. Kamu bela-belain untuk hapus cat di lokernya sejaman dan beli makanan kucing tanpa sepengetahuannya."

"Nah itu kak Risam yang Aku mau ngomong tadi."

"Aku ketua kelas Risam, jadi Aku peduli."

"Aku ketua OSIS Fan." Abrisam berbicara dengan nada yang sama disebutkan Arfan barusan, datar.

"Masih terlalu dini buat nyebut ini cinta."

"Aku kok jijik kakak ngomong kayak gitu." Arza merinding sendiri.

Arfan langsung nyolot. "Makanya tadi jangan di bahas."

"Nggak jadi jijik kok kak, hehe." Arza nyengir walaupun sebenarnya memang jijik. Kata cinta yang di ucapkan Arfan seperti kata terlarang yang tidak pernah Arfan sebut di sepengetahuan Arza.

Abrisam tertawa. "Biasa aja kali, Fan."

"Ini yang terakhir kali, Aku nggak mau pikiranku teracuni oleh diriku sendiri. Jadi, Aku akan membiarkan dia pergi dan mencoba untuk tidak peduli. Jika suatu saat dia datang kembali setelah lama pergi maka Aku akan datang menemui walinya."

Dahi Abrisam berkerut, ia masih mencerna apa yang di ucapkan Arfan barusan. Sementara Arza dia sama sekali tak mengerti apa yang diucapkan oleh kakaknya.

Abrisam mulai paham sekarang, dia menepuk bahu Arfan. "Aku mendukungmu, bro. Benar, dari pada kita berzina pikiran lebih baik kita hentikan saja itu. Yang aku takutkan ketika kita sudah jatuh terlalu dalam dengan rasa itu, ternyata mereka bukan jodoh kita."

Arfan bangkit berdiri untuk mengambil handphonenya, "Aku pesen pizza, Aku yang traktir."

"Asek!" Abrisam berseru.

"Yang banyak kejunya kak!" Arza berteriak dengan semangat.

Arfan langsung menatap Arza, "Kamu alergi keju."

.

.

.

Terima Kasih Telah Membaca