Winda menyandarkan kepalanya ke pundak Seno. Malam ini mereka memutuskan untuk duduk santai seperti yang lainnya di taman dekat menara Eiffel. Seharian mereka ber jalan-jalan sebenarnya sangat melelahkan. Tapi Winda terlihat sangat semangat walau ia sepertinya kembali flu karena cuaca dingin.
"Sayang, kamu gak capek?" Tanya Seno.
"Enggak. Aku justru seneng banget bisa kemari malem ini."
"Menurut kamu gimana kota Paris?"
"Cantik, kok. Bener kata orang—kalau Paris adalah kota paling romantis."
Seno menggenggam tangan Winda, "Syukur deh kalau kamu suka."
"Btw, kita disini sampe kapan?"
"Rencana sih 2 bulan."
Winda langsung menatap Seno kaget, "2 Bulan? Kamu nggak salah 'kan? Kantor kamu sama kafe aku gimana? Jangan ngadi-ngadi kamu!"
"Serius. 2 bulan, sayang. Aku pingin kamu promil disini."
"Seno—di Jakarta kan juga bisa. Kamu nih ada-ada aja ih. Sebulan mah oke, tapi kalau 2 bulan enggak!"
"Kenapa sih kamu nolak terus permintaan aku. Aku tu pingin kita pulang kamu udah hamil."
"Ya tapi gak gitu juga dong, sayang. Kita kan punya tanggung jawab masing-masing di Jakarta."
"Aku punya Direktur kepercayaan ayah yang nanganin masalah perusahaan. Dan kamu punya Yuni yang juga jadi kepercayaan kamu."
Winda memejamkan matanya sejenak. Tak habis pikir dengan jalan pikiran sang suami.
"Tapi gak gitu juga, Seno."
"Kamu tu kenapa sih gak pernah nurut sama aku? Aku kan suami kamu." Seno terlihat kesal.
"Loh, bukan gitu Seno."
"Apanya bukan gitu? Kamu selalu ngelawan aku. Padahal istri harus nuruti apa kata suami. Tapi keknya kamu gak pernah dengerin omongan aku!"
Seno langsung beranjak dari posisinya diikuti Winda.
"Udahlah, pulang aja kita." Seno langsung berjalan.
"Seno, jangan marah dong. Kan apa yang aku bilang bener."
Seno tidak menjawab dan terus berjalan. Entahlah—intinya Seno sangat kesal karena Winda tidak pernah menuruti apa kata nya. Winda selalu mau menang sendiri.
"Seno..."
"Terserah kamu aja. Sekarang aku gak mau ngatur-ngatur."
****
Winda menatap Seno yang semalaman tidur memunggungi nya. Wanita itu mengehela napas lalu membuka suara.
"Makan yuk." Ajak Winda sambil menyentuh punggung Seno, "Kamu udah laper 'kan?"
"Duluan aja."
"Ya masak aku duluan sih. Aku kan gak ngerti dimana restonya."
"Ada di lantai bawah."
"Ih kamu kok jadi gitu sih? Aku tu laper tau!"
"Yaudah aku suruh mereka bawa makanannya aja kemari." Seno mengambil telfon hotel yang ada di nakas sebelah tempat tidur. Dan menyuruh mereka membawakan sarapan mewah untuk mereka dengan menggunakan bahasa Perancis.
"Dah. Tinggal kamu tunggu aja." Seno masih memunggungi Winda.
Winda memeluk Seno dari belakang, "Kamu tu kalau marah jangan gini banget kenapa. Aku kan cuma gak setuju kita disini 2 bulan."
Winda berucap sangat lembut, "Maaf ya."
Seno tetap tidak bergeming. Sebenarnya rasa kesal pria itu sudah hilang. Namun, hanya saja ia gengsi untuk meminta maaf dan berbicara duluan pada sang istri.
"Sayang Seno suami aku." Ucap Winda sambil mencium pipi Seno, "Jangan marah lagi dong."
"Aku bakal tetep marah kalau kita disini cuma sebulan. Aku tu maunya 2 bulan!"
"Yaudah iya 2 bulan. Nanti aku kabarin Yuni buat ngurus kafe sementara."
Seno terdiam tak menjawab apapun, membuat Winda heran, "Kok diem? Masih marah juga?"
"Entah."
"Kamu lagi PMS ya?"
"Kamu jangan mancing aku ya? Mau liat aku beneran PMS atau enggak?"
"Iya-iya enggak. Lagian juga kita mau makan dulu."
"Habis makan baru buat baby."
"Gak dulu deh, Sen. Kita kan mau pergi ke tempat lain."
"Besok aja lah kan masih 2 bulan lagi kita disini."
"Tuh kan," Keluh Winda, "Kamu nih ah."
Seno mengubah posisinya menghadap Winda. Ia tersenyum lalu memejamkan matanya—merasa sangat puas karena wanita itu mau menurutinya kali ini.
"Seno.."
"Gak. Aku marah lagi ni kalau kamu maksa."
"Hm yaudah." Ucap Winda tak ikhlas.
Seno memejamkan matanya sambil tersenyum riang. Lalu menarik tubuh Winda kedalam pelukannya.
"Nyamannyaaa.." Ucap Seno pelan dan itu sukses membuat Winda tersenyum senang.
Winda pun akhirnya semakin menenggelamkan kepalanya di dada Seno. Benar kata suaminya—kalau rasanya sungguh sangat nyaman. Apalagi di saat musim dingin seperti ini.
****
Julia tersenyum ceria. Baru saja ia mendapatkan video call dari Seno kalau mereka sedang berada di Paris untuk men-sukseskan program hamil Winda. Wanita tua itu jadi tidak sabar untuk segera menggendong sang cucu.
"Semoga deh akhir tahun ini Winda udah lahiran." Ucap Julia penuh harap.
"Buk, ada paket nih." Sang pembantu tiba-tiba datang menemui Julia.
"Dari sapa, Bik?"
"Gak tau, Buk. Gak ada namanya."
"Loh, kok aneh banget ya. Saya padahal gak ada pesen apa-apa loh."
"Iya juga ya buk."
"Yaudah, Bik. Biar saya bukak nanti. Makasih ya. Jangan lupa bunga-bunga di belakang dibersihin."
"Baik, Buk."
Julia menatap paket itu penuh penasaran. Ia pun memutuskan masuk ke kamarnya dan membuka paket tersebut.
"Apaansih isinya? Perasaan selama ini gak pernah ada yang nganterin paket buat aku deh."
Setelah membuka paket tersebut. Wanita tua itu terkejut ketika di dalamnya banyak sekali koleksi foto Seno bersama Mirna. Tentu saja—foto tak pantas yang sempat di ambil Mirna ketika masih pacaran dengan Seno.
"Ya ampun." Julia menutup mulutnya dan menatapnya jijik, "Pasti ini ulah Mirna. Mau apa sih dia?"
Ada sekitar 100 foto yang dikirim oleh Mirna. Dan semuanya foto tidak senonoh, contohnya seperti mereka sedang berada di pantai, tempat tidur, mandi dan sebagainya.
"Mirna, dasar perempuan kurang ajar!"
****
Mirna langsung menjauhkan ponselnya dari telinga ketika mendapat makian serta sumpah serapah dari Julia. Ia memejamkan matanya kesal namun juga senang karena rencananya berhasil untuk membuat hancur batin ibu Seno.
"Udah puas tante maki-maki aku?" Tanya Mirna santai.
"Kamu dasar kurang ajar. Perempuan gak tau diri!" Ucap Julia kesal dari seberang sana.
"Lebih kurang ajar mana? Aku tau menantu tante yang udah ngerebut pacar orang lain?"
"Asal kamu tau ya. Winda gak pernah ngerebut Seno. Seno sendiri yang lebih milih Winda karna dia tau kalau istrinya itu perempuan baik-baik. Bukan perempuan brengsek kayak kamu. Lagian saya juga gak sudi punya menantu gila kayak kamu. Saya gak ikhlas kalau Seno nikah sama kamu. Lebih baik saya mati!"
Mirna tersenyum miring mendengar ucapan Julia, "Tante tante. Emang Seno suka sama tante. Denger ya—Seni sendiri loh yang bilang sama aku kalau dia benci sama mamanya karna udah selingkuh dari ayahnya. Seno bilang sama aku kalau dia benci banget tante!"
Julia tertawa kencang di seberang sana membuat Mirna heran.
"He perempuan jahat," Ucap Julia, "Asal kamu tau ya. Perempuan baik adalah perempuan yang bisa meluluhkan hati laki-laki. Perempuan baik tidak membuat panas antara hubungan anak dan ibu. Winda contohnya—perempuan baik itu bisa buat saya dan Seno akur kembali. Bahkan, baru saja Seno video call saya, ngasih tau kalau mereka lagi di Paris untuk program hamil Winda. Seno bahkan nanyain saya mau oleh-oleh apa. Hebat kan Winda? Pas pacaran sama kamu gak pernah tu Seno kayak gitu. Malah Seno makin benci sama saya dulu!"
Hati Mirna panas mendengar ucapan Julia yang terkesan mengejeknya. Memang benar—dulu ia sering sekali memanasi Seno supaya tidak akur dengan Julia. Agar Mirna bisa sesuka hati pada Seno, termasuk menguasai uang Seno.
Julia melanjutkan, "Kamu mau ngomporin saya sama Winda 'kan biar benci sama Seno? Oh tentu gak akan mempan. Saya ibu Seno tau gimana Seno. Dan saya yakin perempuan baik kaya Winda gak akan tergoda sama rencana jahat kamu, Mirna. Saya sumpahin kamu sengsara seumur hidup kalau berani ngancurin rumah tangga anak saya. Dengarkan itu!"
Julia langsung mematikan sambungan ponselnya. Mirna yang mendengarnya semakin merasa kesal. Ia tak habis pikir—kenapa Seno bisa baik pada ibunya sekarang, padahal jelas-jelas ia tahu kalau Seno dulu sangat membenci sang ibu!
"Jijik banget gue. Semua emang gara-gara Winda brengsek!"