webnovel

Kamuflase

Hari berlalu, Xion dan Laura mulai masuk ke sekolah mereka yang baru. Keduanya diantar oleh supir yang ditugaskan mengantar mereka agar tidak terjadi perdebatan karena harus berebut mobil. Kedua duduk dikelas yang berbeda, namun digedung yang sama dan sekolah yang sama. Itu dilakukan Eve agar dapat mengawasi kedua cucunya secara bersamaan. Kelas laura terdapat dilantai 1 dan Xion berada dilantai 2. Mereka berdua memutuskan berpencar dan mencari kelas masing, lalu bertemu kembali setelah jam istirahat. Tidak lama kemudian terdengar jam pelajaran pertama dimulai, untung saja Laura dan Xion sudah menemukan kelas mereka masing-masing meskipun keduanya masih belum menemukan teman, kecuali teman sebanggu yang mengetahui nama mereka masing-masing saat berkenalan dimasing-masing kelas mereka pula. Mereka mengikuti pelajaran seperti biasa, tidak ada yang berubah antara sekolah mereka yang dulu dengan yang sekarang. Namun, karena mereka sudah mengikuti pelajaran yang sama selama bertahun-tahun jadi membuat mereka nampak pintar dan dapat mengikuti pelajaran sangat baik hingga jam istirahat datang.

"Xion mana sih? Tadi janjinya ketemu didepan lapangan basket" gerutu Laura yang terus mencari keberadaan kakaknya.

Tiba-tiba dari arah yang berbeda, ada sebuah bola yang hampir mengenai seorang siswi disebelah Laura, Laura melihat hal itu dan berusaha membiarkannya. Karena takut jika ia menggunakan kekuatannya, maka dengan sangat mudah siswa dan siswa lain mencurigai dirinya. Namun, bola yang tadinya akan menyentuh kepala siswa itu berubah arah dan jatuh bergelinding disebelah Laura. Seperti ada yang menangkap dan meletakan bola basket tanpa menyentuhnya. Laura tahu ini perbuatan siapa, dicarinya sosok Xion yang pasti sudah menolong siswi itu. Terlihat seorang siswa berdiri ditengah tangga sambil tersenyum dingin kearah wanita disebelah Laura yang tidak berbalik membalas senyuman siswa itu. Segera Laura berlari kearah tangga yang sedang dituruni siswa itu.

"Xion! Gila kamu ya!" bentak Laura pada Xion yang baru saja menginjak anak tangga bawah terakhir.

"Lagian nggak ada yang liat" jawab Xion cuek.

"Kalo ada yang liat gimana?" tanya Laura berbisik dengan penuh amarah.

"Udahlah diam, aku mau makan" jawab Xion sambil berjalan menuju kantin.

"Kamu bener-bener ya. Aku laporin mamah sama oma nanti" ancam Laura pada Xion yang tidak bergeming dan tetap berjalan meninggalkan Laura.

Jam istirahat selesai, semua siswa dan siswi kembali kekelas masing-masing, begitu juga dengan Xion dan Laura. Mereka masuk kekelas masing-masing dan mulai mengikuti pelajaran selanjutnya, selain itu Laura mencoba berkenalan dengan teman yang duduk disamping dirinya sembari menunggu guru masuk kekelas.

"Hai, kita tadi belum kenalan ya. Aku Laura, kamu?" tanya Laura.

"Kamu kan tadi sudah perkenalan, aku Bianca. Panggil aja Bia" jawab siswi bernama Bia yang menjawab tangan Laura.

"Tangan kamu dingin ya" kata Bia sambil melepaskan jabatan tangannya.

"Iya, disini dingin soalnya. Hehehehehe" jawab Laura dengan gerogi.

Selang beberapa menit mereka berbincang, masuklah seorang guru perempuan dengan beberapa buku yang dibawanya. Seorang siswa laki-laki yang duduk didepan kelas mencoba membantu membawa buku yang hampir jatuh.

"Terima kasih, Sakti" kata guru itu.

Tatapan Laura menjadi terfokus pada siswa tersebut, ia berpikir bahwa siswa itu termasuk anak baik yang mau membantu siapa saja dalam kesulitan.

"Dia Dewangga Sakti, anak nomor satu dikelas ini. Dia kaya gitu cuma sama guru aja, kalo sama siswa lain dia itu musuh banget. Dia nggak mau peringkat nomor satunya direbut siswa lain" kata Bia menjelaskan sosok Sakti pada Laura.

Laura menjawab perkataan Bia dengan anggukan tanda paham akan apa yang dibicarakan Bia tentang Sakti. Mereka pun mengikuti pelajaran dengan serius memperhatikan materi demi materi yang disampaikan guru hingga jam pelajaran telah selesai dan semua siswa kembali kerumah masing-masing.

"Mah, mamaaaah! Mamah! Xion mah!" teriak Laura memasuki rumah dan langsung mencari ibunya. Namun ia dikejutkan oleh kehadiran omanya yang duduk diatas kursi goyang disamping taman yang berada disamping rumahnya.

"Astaga, oma. Oma, mamah mana?" tanya Laura pada omanya.

"Laura, Xion. Kemarilah" jawab Eve menyuruh kedua cucunya duduk disebelahnya.

"Oma tahu apa yang mau Laura sampaikan ke mamah. Xion, kamu harus lebih berhati-hati untuk tidak menunjukkan kekuatan mu. Kasian Merafa jika harus menyelesaikan masalah yang timbul karena kecerobohan kalian. Lalu, Laura juga harus berhati-hati dalam mencari teman baru. Tidak semua akan baik-baik saja ketika mereka melihat keistimewaan mu" nasihat Eve pada kedua cucunya.

"Baik oma" jawab Xion dan Laura bergantian.

"Loh, oma tahu dari mana tentang masalah ini?" tanya Laura bingung dan baru menyadari perkataan omanya.

"Sudah, oma mau istirahat. Kalian makan, lalu istirahat" jawab Eve tidak sesuai pertanyaan Laura dan berlalu meninggalkan cucunya.

"Dia yang lapor, dia juga yang acting" kata Xion beranjak dari tempat duduknya pula.

"Heh! Loe nuduh gue lapor ke oma?" tanya Laura tak terima dengan perkataan Xion.

"Siapa lagi kalo bukan loe?" jawab Xion ketus.

"Loe tadi liat sendiri, gue belum ngomong apa-apa ke oma" jawab Laura makin marah.

"Maling ngaku penjara penuh" jawab Xion sambil berjalan meninggalkan Laura.

"Kalo pun gue yang lapor oma, biarin aja. Lagian suruh siapa loe tadi kaya gitu?" tanya Laura sambil mengejar Xion yang berjalan menuju serambi rumahnya.

"Loe tega liat orang kesakitan kena bola basket?" tanya Xion.

"Ya kan nggak gitu caranya, kalo yang lain liat loe nunjukin kekuatan. Bisa-bisa jati diri kita dan keluarga bakal ketahuan. Alhasil apa?! Kita harus pindah dan berganti identitas lagi!" jelas Laura dengan suara membentak Xion yang berusaha mengacuhkan Laura.

"Permisi, Laura" sapa Bia yang berada didepan mereka.

Tiba-tiba, Xion dan Laura terkaget-kaget melihat kedatangan seseorang yang bisa saja mendengar perdebatan mereka berdua dan membuat identitas mereka sebenarnya terbongkar. Bodohnya mereka tidak mendengar suara kendaraan yang datang kerumah karena saking kerasnya suara Laura ketika sedang marah. Sontak keduanya saling bertatap-tatapan dengan wajah kaget.