webnovel

Sengketa Pusaka

(Tiga hari setelah pertempuran hebat di Hutan Paruwa)

Rayn terbangun di atas ranjang kecil di dalam sebuah bilik tua yang tampak begitu asing baginya. Dia jatuhkan sorot matanya ke seluruh sudut ruangan dengan penuh kebingungan. Sepanjang yang dilihatnya terbuat dari kayu, mulai dari dinding biliknya, meja yang berada di pojok ruangan, juga pintu yang berada tepat di sisi bagian kiri dari ranjang tempatnya terbarung.

Rayn berusaha keras untuk mengingat apa yang terjadi sebelumnya, namun hanya bayangan samar yang sanggup dia gambarkan di kepalanya.

Pemuda itu mulai membangkitkan tubuhnya perlahan, dan terduduk di tepian ranjang menghadap sebuah pintu.

"Dimana aku?" ucap pemuda itu.

Tak berselang lama, Rayn mulai mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk berjalan menghampiri pintu di hadapannya, dia buka pintu itu yang kemudian mengantarkannya sampai pada sebuah beranda rumah kayu.

Di beranda tersebut terdapat banyak sekali bilah pedang yang terpampang jelas menghiasi seluruh ruangan. Tampak beberapa kursi kosong di ujung ruangan itu dengan sebuah meja kecil di tengahnya.

"Rumah siapa ini? ... bagaimana bisa aku berada di tempat ini, kenapa banyak sekali senjata disini ... Arukh?! ... sial di mana pusakaku?!" Rayn mulai mengingat bahwa ada sesuatu yang hilang darinya.

Pemuda itu mulai kebingungan mencari pusaka di antara jajaran pisau yang terpampang di ruangan itu. Rayn mulai putus asa setelah beberapa waktu mencari, tak juga kerisnya dia temukan.

Dalam keputusasaannya, sayup-sayup terdengar bunyi palu yang beradu dengan besi yang menjalar masuk ke telinga Rayn. Dia lantas berjalan mengikuti arahan telinganya, dengan harapan akan ada orang yang bisa ia tanyai alasan kenapa dia berada di tempat asing itu, sekaligus hilangnya pusaka yang dimilikinya. Semakin pemuda itu berjalan lebih jauh mendekati bunyi it, semakin nyaring pula bunyi itu memasuki telinga pemuda itu.

Rayn kemudian keluar dari rumah itu dan mengarah menuju sumber suara yang berada tepat di belakang rumah kayu yang baru saja dia tinggalkan.

Rayn melihat seorang kakek tua berambut putih bertelanjang dada dan hanya mengenakan sebuah celana hitam tanpa sebuah alas kaki terduduk di sebuah kursi kayu. Kakek itu nampak sedang menghantamkan palu di genggamnya ke sebatang besi merah yang terlihat sangat panas. Pemuda itu tampak tergesa-gesa segera menuju sosok asing itu.

"Permisi Kakek," ucap Rayn menyela pekerjaan kakek itu.

"Oh ... kau sudah bangun." Pria tua itu membalas dengan nada yang tenang sembari melanjutkan pekerjaannya dengan tubuh yang membelakangi pemuda yanh bertanya padanya.

"Maaf sebelumnya, tapi apakah Kakek pemilik rumah ini?" tanya Rayn mencoba menarik perhatian sosok yang nampak masih sibuk menghantam-hantamkan palu kesebuah batang besi itu.

Kakek itu perlahan meletakan palu yang digenggamnya berdekatan dengan besi yang sedari tadi dia tempa.

"Iya, aku pemilik dari rumah ini." Seketika kakek itu mengubah arah hadapnya kepada pemuda yang sedang berdiri di belakangnya itu.

"Aku tidak tau mengapa aku berada di sini, apa yang terjadi sebelumnya? dan kenapa aku bisa berakhir di tempat ini? ... selain itu, siapa kau, Kek?" Rayn mencecar pria tua itu dengan berbagai pertanyaan atas kebingungannya.

"Wow ... wow ... wow, pelan anak muda ... apa kau mau membuat kakek tua ini jantungan dengan pertanyaanmu itu!" ujar kakek itu yang bernada sedikit menggoda kepada pemuda yang penuh kegelisahan di hadapannya.

"M-- maaf Kek ... aku sedang sangat bingung saat ini, aku hanya berharap untuk segera bisa memahami situasiku sekarang." Pemuda itu nampak merasa bersalah.

Kakek itu beranjak dari duduknya untuk menghampiri sebuah wadah air tepat di sebelah pintu belakang rumahnya dan mulai membersihkan kedua tangan dan wajahnya kotornya akibat pekerjaan yang dilakukannya.

"Baiklah ... pertama-tama, aku adalah Ganddru, dan aku seorang pandai besi pusaka di tempat ini. Maka dari itu, beberapa orang yang mengenalku menyisipkan kata 'Mpu' di depan namaku, jadi kau bisa memanggilku Mpu Ganddru. Kini kau sedang berada di kediamanku, dan yah kau pasti tahu tempat ini, ini adalah Gunung Severu. Sebelumnya kau hampir mati, atau lebih tepatnya kita yang hampir mati setelah mengalami pertarungan di Hutan Paruwa dua hari yang lalu, sudah mulai ingat?" Kakek itu memberikan penjelasan yang cukup panjang pada Rayn.

"Dua hari yang lalu?" Rayn bertanya-tanya tentang lamanya dia pingsan di dalam benaknya.

Penjelasan kakek tua itu tentang identitasnya sebagai seorang 'Mpu' memberikan jawaban kepada Rayn tentang banyaknya bilah-bilah pedang yang sebelumnya telah dia lihat.

Mpu adalah sebuah gelar yang disematkan kepada orang yang memiliki kemampuan menempa sebuah pusaka.

Mpu selain memiliki keterampilan dalam penempaan pusaka, mereka juga terkenal memiliki kemampuan dalam mengendalikan sebuah energi eksistensial yang berada pada diri mereka.

Penciptaan pusaka adalah penggabungan dari dua hal tersebut, penempaan pusaka yang dipadukan dengan pengendalian energi eksistensial sebagai aspek penguat dari pusaka yang akan diciptakan.

Rayn tampak berusaha mengingat apa yang sebelumnya terjadi padanya.

"Aku ingat. Kakek, kau yang menyelamatkanku waktu itu ... Aku mengucapkan terimakasih untuk pertolonganmu, entah bagaimana jadinya jika waktu itu kau tak datang," ucap pemuda itu sembari menundukan badannya menunjukkan ketulusannya dalam berterima kasih.

"Iya, iya ... Aku kebetulan juga memiliki urusanku sendiri waktu itu." Kakek itu memberikan jawaban pada Rayn.

Rayn selanjutnya menanyakan perihal keberadaan pusakanya kepada Mpu Ganddru, "Oh iya, Kakek Ganddru. Apa kau melihat pusakaku saat kau membawaku kemari?"

"Pusakamu?" Mpu Ganddru tiba-tiba menjawad dengan pertanyaan yang cukup aneh.

"Iya, sebuah keris yang memiliki guratan naga di mata pisaunya, apa kau melihatnya?" Rayn melanjutkan pertanyaannya dengan semakin memperjelas apa yang dia maksud.

"Iya aku tau keris itu, yang kutanyakan adalah apa kau menganggap keris itu milikmu, karena asal kau tahu saja ... aku adalah orang yang menciptakan keris itu. Jadi, bukankah seharusnya itu milikku?" ucap Mpu Ganddru dengan nada bicara yang terkesan memperjelas.

Rayn yang mendengar perkataan Mpu Ganddru lantas menunjukan raut wajah kebingungan.

"A-- apa maksudmu, aku telah memiliki keris itu selama dua tahun ini. Terlebih lagi, apa yang bisa membuktikan bahwa keris itu memang benar-benar milikmu?" ucap Rayn memberikan perlawanan.

Tanpa sebab yang diketahui kakek tua itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak membuat Rayn semakin memunculkan ekspresi geram di wajahnya.

"Hahaha ... kau memilikinya selama dua tahun ini? ... Baiklah, beri tahu aku bagaimana caramu memilikinya. Kau membelinya? ... menemukannya? ... Oh, atau mungkin ada seorang dermawan yang memberikanmu pusaka itu padamu?" Mpu Ganddru memberikan beberapa pertanyaan beruntun pada pemuda itu dengan gelak tawa yang masih terdengar dari caranya bicara.

Rayn hanya terdiam setelah deretan pertanyaan kakek tua itu sampai di telinganya. Pemuda itu tampak kebingungan untuk memberikan jawaban. Terlebih lagi, caranya mendapatkan pusaka Saithe Weapon itu dua tahun lalu adalah dengan mencurinya di sebuah candi di puncak Gunung Severu yang menjadi tempat berpijaknya saat ini.

"Kau mengambilnya dariku, candi yang berada di puncak gunung ini adalah milikku, bahkan namanya pun serupa dengan namaku, Candi Ganddru. Lima tahun lalu, di tempat itu aku menaruh keris yang baru saja selesai aku tempa untuk melalui proses terakhir dalam penciptaannya, 'Penarikan Saithe'." Sorotan tajam terpancar dari kedua mata Mpu Ganddru seolah menunjukan betapa seriusnya hal yang sedang dia bicarakan.

Mendadak udara ketegangan berhembus yang melintasi kedua sosok manusia itu. Pagi itu terasa sedikit lebih panas padahal matahari belum benar-benar berada tepat di atas kepala mereka berdua.

"Aku memang seorang pencuri." Sebuah kata-kata yang terlontar dari mulut pemuda itu seakan membawa sebuah beban yang begitu dalam pada diri pemuda dengan raut wajah tegas itu.

Untuk selanjutnya tanda baca [] akan digunakan penulis untuk menunjukan segala hal yang berkaitan dengan pusaka Saithe Weapon.

Ztoriecreators' thoughts