webnovel

GERIMIS SENDU

WARNING (21+)!!! Harap bijak memilih bacaan. Terdapat adegan yang mungkin kurang nyaman. Atau kurang cocok untuk pembaca di bawah 21 tahun. seorang gadis yang hidupnya penuh dengan cobaan yang sama sekali tak pernah ia ingin hal itu terjadi dalam hidupnya. lahir dan tumbuh di lingkungan keluarga yang selalu dipenuhi dengan kekerasan fisik maupun verbal. Ali, cowok satu angkatan yang jauh hati pada Davina meskipun awalnya mereka saling membencinya. Pria baik dan tulus pada Davina. Rico Hardinata, pria playboy yang punya segudang antrean wanita yang bisa dengan mudah ia dapatkan. Suatu ketika terjadi tragedi yang mengakibatkan kenangan indah akan masa sekolah berubah menjadi kenangan paling buruk untuk ketiganya.

YuiSakura · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
400 Chs

Putus

"Aku mau ke kantin bentar," ucap Davina sambil berdiri.

"Eh, tunggu. Aku ikut," ucap Ali.

"Lah, ini gimana belum kelar, Li," sahut Ratna.

"Dah, kamu di sini aja. Aku cuma mau cari minum," ucap Davina.

"Ya, udah. Kita sekalian dibeliin. Kamu ada yang, ngga? Kalau engga ada, nih, aku kasih," ucap Ratna sambil mengambil uang di kantongnya.

Davina hendak mengambil uang itu tapi Ali menepisnya.

"Pake uangku aja. Nih, dompetku bawa," ucap Ali .

Ratna melirik sinis ke arah Ali yang memperbolehkan Davina membawa dompetnya.

"Kalian jadian, ya?" ucap Ratna tiba tiba.

"Engga," sahut Ali dan Davina bersama.

Ratna semakin tak senang karena Davina dan Ali begitu kompak menyangkal hubungan mereka padahal ia tahu yang sebenarnya.

"Kalau begitu aku boleh dong, nembak Ali," ucap Ratna.

Davina dan Ali seketika tak bisa berkata kata. Apa ini? Plot twist macam apa ini?

"Aku udah lama suka sama kamu. Sejak kita ke rumah Davina waktu itu. Kamu mau jadi pacarku, Ali?" tanya Ratna.

Davina menatap ke arah Ali. Ia tak tahu harus bersikap bagaimana saat ini. Ia tak mau mengungkapkan kalau ia adalah pacar Ali. Tapi ia tak mau Ratna salah paham.

"Aku ... " Ali tampak bingung menjawabnya.

"Aku mau beli minuman dulu. Sini dompet kamu," ucap Davina seraya mengambil dompet Ali dan bergegas pergi.

"Vin, Vina!" panggil Ali.

"Ali mau ke mana? Kamu jawab aku dulu. Kan, kalian engga pacaran, kan? Aku nembak kamu dijawab, dong," ucap Ratna.

"Dijawab, ya? Jawabannya engga. Aku engga bisa. Aku udah punya seseorang," ucap Ali.

"Katanya kalian engga pacaran?"

"Ya, tapi engga harus nerima kamu juga, kan?" ucap Ali.

"Ali, kamu bikin malu aku. Aku udah bilang kayak gitu di depan Davina. Masa kamu ngomongnya begitu? Mau ditaruh di mana mukaku di depan Davina?"

"Lah, kamu, kog, jadi nyalahin aku? Aku, kan, ngga minta kamu buat suka sama aku. Kalau kamu bilang suka. Aku punya hak buat bilang tidak, dong. Suka, kog, maksa," sahut Ali.

Ia lantas mengambil tasnya dan milik Davina kemudian bergegas menyusul Davina.

"Ali, kamu jahat!" pekik Ratna.

***

Davina sedang membeli es di kantin. Ali dari ruang OSIS menghampirinya.

"Kog, kamu ke sini?" tanya Davina.

"Kamu nanya santai banget. Kayak engga ada apa - apa," ucap Ali.

Davina hanya tersenyum. Ia lantas membayar penjual kantin setelah pesanannya sudah siap.

"Engga usah balik ke ruang OSIS. Kita pulang aja," ucap Ali.

"Kenapa?" tanya Davina.

"Pake nanya. Udah, ayo pulang," ucap Ali.

Davina tak beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri. Ia merasa bimbang saat ini.

"Vina!" panggil Ali.

"Ali ... aku ... "

"Jangan mikir aneh aneh. Aku engga sama Ratna," ucap Ali.

"Hubunganku sama Ratna jadi gimana?" tanya Davina.

"Ya kamu biasa aja ke dia. Kan, bukan salah kamu,"

"Tapi, kan, kamu nolak karena ... "

"Jangan ge-er. Aku nolak karena aku emang engga suka cewek macem dia," sahut Ali.

"Ali jahat!"

"Jahat apa? Orang, kan boleh punya kriteria," ucap Ali.

"Aku, ah, gelap," Davina melangkah meninggalkan Ali di kantin.

"Vina! Vin!"

Davina melangkah menuju ke ruang OSIS, namun, Ali menahannya.

"Kita engga ke sana, ya. Kita pulang," ucap Ali.

"Ali, aku engga enak sama Ratna, dong," ucap Davina.

"Kamu pilih aku atau Ratna?"

"Ih, kog, gitu? Engga begitu. Aku harus ... "

"Okey, jadi kamu pilih Ratna," ucap Ali sambil berlalu.

"Lho, lho, Ali! Ali!"

Davina mengejar Ali. Namun, Ali terus saja berjalan menuju ke tempat parkir.

"Ali dengerin dulu. Kamu jangan ngambek, dong. Aku, kan, ngga boleh mikirin diriku sendiri. Aku juga harus mikirin perasaan orang lain,"

"Tapi kamu engga mikirin perasaan aku! Kamu tahu engga kalau aku muak kita harus nyembunyiin hubungan kita? Kenapa, sih? Kamu malu sama aku? Pacaran sama aku malu? Atau kamu punya pria lain?"

"Lho, kog jadi begitu? Ali, aku engga ... "

"Kalau kamu masih mau sama aku. Kita umumin hubungan kita. Atau ... "

"Aku engga bisa Ali," ucap Davina.

"Okey, fine. Emang kamu engga mau serius sama aku dari awal. Kita selesai aja. Padahal aku selalu tulus sama kamu!"

Davina diam saja saat Ali memutuskan hubungan mereka. Meskipun ia merasa ini tak adil. Ia ingin menjelaskan sesuatu. Tapi, ya sudahlah. Toh, mereka sudah selesai.

Ali menggeber motornya dengan sangat kencang. Ia benar benar marah kepada Davina.

Hubungan mereka yang terjalin belum ada satu tahun harus kandas karena ego mereka masing masing.

Ratna melihat kejadian itu dari balik dinding. Ia tersenyum senang karena akhirnya Davina dan Ali putus.

"Semua harus kembali ke jalan yang benar. Dimana mana, pemeran utama itu yang cakep sama yang cakep," gumam Ratna.

***

Beberapa waktu berlalu. Tak ada yang menghubungi satu sama lain. Ali dan Davina tak bertegur sapa saat berjumpa di sekolah.

Padahal, saat masih bersama, Ali selalu bisa mencuri senyuman ke arah Davina atau sekedar menyelipkan hadiah kecil di telapak tangan Davina saat mereka melintas.

Namun sekarang semua selesai. Tak ada senyuman Ali. Bahkan saat di perpustakaan pun Ali tak mau masuk jika ia melihat Davina di sana.

Davina hanya bisa diam saja. Padahal ia tak ingin mereka jadi begini. Meskipun putus, Davina ingin hubungan mereka tetap baik baik saja.

***

Tahun semester genap tiba ...

Itu berarti anak anak kelas tiga harus kembali ke sekolah setelah enam bulan magang di perusahaan.

Davina melintas di depan ruangan kelas tiga jurusan listrik. Beberapa gerombolan pria sedang asyik duduk di depan kelas.

"Sst, sst! Cewek atau cowok, sih? Jalannya kaku banget!" ucap salah seorang kakak kelas.

Namun Davina tak menggubris. Ia hanya melintas begitu saja menuju kelasnya.

"Ih, sombong banget. Kelas berapa, sih?" gumam pria itu.

"Anak kelas satu. Badge-nya satu itu lho," ucap yang lain.

TEEET!

Bel berbunyi, karena semester genap baru dimulai. Anak anak harus mengikuti upacara di halaman sekolah.

Satu lapangan sekolah menjadi sangat penuh karena kelas tiga sudah kembali ke sekolah.

Beberapa dari mereka seperti sudah mengincar anak anak gadis di sekolah dengan menengok - nengok ke arah siswa putri.

Sementara Davina kebingungan karena topi sekolahnya tak ada di tasnya.

"Kayaknya aku bawa, deh?" gumam Davina.

Namun ia tak menemukannya di manapun. Ia lantas keluar dari kelas menuju ke workshop atau ruang praktik kejuruan. Di sana ada beberapa gerombolan anak kelas tiga yang tak ingin mengikuti upacara.

"Hallo tomboi," sapa kakak kelas yang tadi memangil Davina saat melintas di depan kelas.

Bersambung ...