webnovel

Gempar Pribadi

Evan mengajak Zahra, calon istrinya, untuk bertemu di tempat favorit mereka malam ini. Tempat itu sebenarnya sebuah kafe yang menyediakan lokasi di pinggir sungai, yang lebih sepi namun estetik. Akhirnya, waktu yang dinanti oleh Evan pun tiba. Sesampainya di lokasi, Evan melihat Zahra dari kejauhan, namun Zahra terlihat sedang duduk berbincang dengan seorang lelaki misterius. Memakai topi, masker, dan kacamata hitam. Outfit yang cukup aneh mengingat ini adalah malam hari. Zahra juga terlihat akrab dengan lelaki itu. Evan yang posesif dan begitu mencintai Zahra langsung berprasangka buruk. Ia yakin Zahra sudah selingkuh dengan lelaki itu. Evan lantas berjalan mendekat ke arah mereka. Anehnya, Zahra justru berlari menjauh dari Evan bersama lelaki itu. Evan berteriak memanggil nama Zahra, namun sia-sia. Ia mencoba mengejar Zahra dan lelaki itu. Saat Evan berhasil meraih tangan lelaki itu, ia meninju wajah lelaki itu hingga roboh. Melihat hal itu, Zahra nampak ingin menolong. Tapi ia justru diminta oleh lelaki itu untuk segera pergi ke sebuah lokasi lain. Evan nampak hancur seketika. Momen itu dimanfaatkan lelaki itu untuk mendorong Evan hingga ia jatuh ke sungai kecil di samping kafe. Sebelum terjatuh ke sungai, Evan sempat meraih tangan lelaki itu, berpegangan pada arloji yang dipakai lelaki itu di tangan kirinya. Lelaki itu malah melepas arloji itu dan membiarkan arlojinya ikut jatuh bersama Evan. Semenjak kejadian itu, Evan berubah. Ia memutuskan hidup menyendiri di pedesaan bersama saudaranya. Bahkan ia memutuskan membuang smartphonenya karena tak ingin mengingat lagi kenangan tentang Zahra. Bertahun-tahun Evan hidup sederhana dan kacau akibat kejadian malam itu. Namun meski sudah bertahun-tahun mencoba melupakan Zahra, ia justru semakin penasaran siapa lelaki itu sebenarnya. Lelaki yang sudah merebut calon istrinya. Ia kemudian memutuskan untuk mencari siapa lelaki itu, dan jika nantinya dia harus bertemu Zahra, maka ia hanya akan mengucapkan selamat kepada mereka. Satu-satunya petunjuk yang ia miliki dari lelaki itu adalah arloji yang secara tidak sengaja ikut digenggam dan jatuh bersamanya di sungai. Secara tak terduga, Evan mendapat kesempatan untuk bisa kembali ke masa lalu, tepatnya saat rekan sekantornya dulu, Dewi, yang juga adalah putri seorang ilmuwan, sedang membutuhkan seorang sukarelawan untuk mencoba mesin waktu yang diciptakan mendiang ayahnya. Evan langsung menyanggupinya, dan kembali ke masa lalu tepatnya di malam ia bertemu terakhir kali dengan Zahra di kafe, untuk mengetahui siapa laki-laki itu sebenarnya. Sebuah jawaban yang sangat mengejutkan Evan setelah tahu identitas sebenarnya siapa laki-laki itu.

Gempar_Pribadi · Khoa học viễn tưởng
Không đủ số lượng người đọc
19 Chs

CHAPTER 3 : CURHAT

Matahari sudah mulai meninggi. Suasana kantor Evan saat itu mulai hangat dengan aktifitas rutin harian. Meski begitu, Evan tetap gelisah. Ia merasa harus menceritakan kegelisahan ini kepada seseorang. Akhirnya ia memutuskan untuk menemui Aryo di ruangannya. Saat Evan membuka pintu ruangan Aryo, nampak ia sedang fokus di depan komputernya.

"Ada apa?" Aryo sudah sadar ada Evan yang mengintip dari sela-sela celah pintu.

"Sibuk?"

"Lah, tiap hari juga kerjaanku begini. Masuk ngapa, jangan kaya orang lagi ngintip begitu," ujar Aryo sambil melepas kacamatanya.

Evan lantas masuk dan duduk di depan Aryo. Aryo kemudian menyambut Evan bak seorang dokter yang didatangi pasiennya.

"Gimana, kamu udah bayar kasbon ke Dewi?" tanya Aryo seolah sudah paham apa masalah teman sejawatnya itu.

"Udah," jawab Evan singkat.

Aryo menaruh kedua sikunya di meja. Dan menjapit jemarinya di bawah dagu. "Tapi kenapa wajah kamu kaya orang yang masih punya hutang?"

Evan sempat membisu sebentar.

"Justru itu…"

"Justru kenapa?"

"Aku ngerasa ngga bayar hutang itu. Tapi kata Dewi, udah ada yang bayarin hutangku."

"Kok gitu? Siapa?"

"Zahra"

"Trus kamu udah crosscheck ke Zahra?"

"Udah, dan katanya dia ngga tahu menahu masalah itu. Lagian dia juga kan ngga pernah tahu kalau aku punya hutang kasbon disini"

"Yakin kamu?"

"Seratus persen"

Aryo jadi ikut berpikir tentang keanehan itu.

"Nggak cuma itu, Yo…"

Evan membenahi kursinya, seperti akan menyampaikan sesuatu yang jauh lebih darurat lagi.

"Kayaknya Zahra selingkuh sama cowok lain"

Tak dinyana Aryo tiba-tiba tertawa terbahak. Evan sampai kaget melihat rekan kerjanya berekspresi seperti itu.

"Heh, kok malah ketawa? Serius nih!"

"Hahaha… Lah, kamu ini gampang banget tiba-tiba ngomong Zahra punya cowok lain, kaya anak ABG aja. Minimal kasih dulu fakta-faktanya, baru kamu kasih opini itu. Ah, jurnalis kok begitu sih kamu?"

Evan lantas bercerita tentang kejadian di kafe tadi malam, kemudian disambung dengan kisah Zahra yang merahasiakan identitas laki-laki yang membantunya untuk membayar biaya rumah sakit ibunya.

"Yaelah, Van. Masa kaya gitu aja kamu udah beranggapan dia selingkuh sih? Bisa aja kan laki-laki itu saudaranya? Atau justru teman kamu tapi dia pengin bantu kamu diam-diam. Ya kan?"

"Big no, Aryo. Dia ngga pernah sama sekali yang namanya rahasia-rahasiaan sama aku. Hal sekecil apapun. Malahan aku yang kadang negur dia kalau pas dia cerita yang mestinya ngga perlu diceritain ke aku, tapi malah dia ceritain ke aku."

Keduanya terdiam, berpikir keras.

"Nggak, ini baru pertama kalinya dia begini. Dan, aku tahu banget ada yang disembunyikan. Aku bisa lihat dari tatapan matanya," ucap Evan lagi.

"Mending gini deh. Ini kan kamu lagi banyak deadline yah? Coba kamu sibukin diri buat hal yang lebih produktif. Inget, deadline kita itu ngga ngeliat apakah kita lagi banyak pikiran, atau bahkan kita lagi sekarat sekalipun. Ya kan?"

Evan mendengarkan petuah temannya itu dengan seksama. Ia merasa ada benarnya apa yang diucapkan Aryo. Mau tidak mau ia harus berusaha menghilangkan sifat overthinkingnya. Saat ini juga.

"Ya sudah kalau begitu. Aku cabut dulu deh," kata Evan sambil bangkit berdiri.

"Cabut kemana?"

"Kemanaa kek!" ujar Evan sambil menirukan gaya salah seorang komedian di TV.

Evan berjalan keluar ruangan Aryo dengan langkah berat. Nampak jelas di wajahnya ia sedang bernegoisasi dengan hati dan pikirannya supaya fokus saja kepada pekerjaannya. Setidaknya untuk hari ini.