webnovel

11

"Mbok Juuum ... !" teriak Mas Reyfan sambil menuruni tangga ke lantai bawah. Dia bergerak cepat menuruni tangga sambil sebelah tangannya membenarkan letak dasinya.

"Ya, Pak?" Mbok Jum yang sedang membantuku menyiapkan sarapan tergopoh-gopoh menghampirinya.

"Mbok liat kunci mobil nggak?" tanyanya panik.

Astaga!!! Jantungku rasanya mau copot mendengar itu. Bagaimana aku bisa salah taruh kunci? Harusnya kutaruh kembali di atas nakas tadi malam. Duuuh, bagaimana ini? Jantungku sontak berdegup kencang sementara keringat dingin sepertinya sudah mulai membasahi tengkukku.

"Nggak liat tuh Pak. Apa biasanya ndak di kamar Bapak?" Mbok Jum balik tanya.

Untuk menghindari kecurigaan, aku segera berjalan menghampiri Mas Reyfan.

"Nyari apa sih Mas? Kok teriak-teriak gitu?"

"Itu ... kunci mobil. Dimana ya kok ngga ada?"

"Kan biasanya di kamar. Di atas nakas," kataku meyakinkan.

"Iyaa, seingatku juga kemarin aku taruh di sana, tapi nggak ada."

"Yakin? Dicari dulu lah, Mas."

"Udah, Sayang. Udah kucari dimana-mana nggak ketemu."

"Masa' sih?" tanyaku pura-pura. Lalu dengan cepat ku bergegas naik ke lantai atas, berpura pura ikut sibuk mencari kunci mobil yang sedang dihebohkan Mas Reyfan. Tentu saja dia tak menemukannya, karena aku lupa mengembalikannya ke atas nakas. Bodohnya aku karena justru mengembalikannya di laci meja kerjanya. Menyadari hal itu, aku jadi teringat betapa gugupnya aku tadi malam.

Sampai di kamar buru-buru kuambil kunci di laci meja kerja dan segera kembali ke lantai bawah.

"Mas ini gimana sih, orang kunci ada gitu kok dibilang nggak ada?" selorohku tetap dengan sandiwara yang kubuat.

"Ketemu dimana, Han?" Dahinya berkerut keheranan.

"Jatuh di lantai, deket nakas. Masa' nggak liat sih?"

"Kok bisa sih? Padahal tadi aku udah cari di situ juga lho," protesnya.

"Ya nggak tau. Buktinya. Nih ada kan?" Aku melemparkan kunci ke arahnya dan berhasil ditangkapnya dengan sempurnya.

"Makanya kalau cari apa-apa yang bener, Mas. Kebiasaan naruh barang sembarangan sih. Giliran nyari heboh sendiri." ujarku pura-pura menyindir. Padahal jantungku dag dig dug tak karuan saat berakting seperti itu. Semoga saja Mas Reyfan tidak memeriksa isi bagasi mobilnya sebelum berangkat kerja, karena ponselnya sudah kusembunyikan di tempat yang aman.

"Sarapan yuk!" ajakku sambil menggandengnya ke meja makan.

"Keenan mana? Kok sepi?" tanyanya tiba-tiba di sela-sela makan.

"Masih tidur. Tadi kata Mbok Jum, subuh ikutan bangun shalat, trus ketiduran lagi," jelasku.

Aku menemaninya sarapan dengan dada masih berdebar. Andai saja suamiku ini pakar psikologi, barangkali dia sudah bisa merasakan ada sesuatu yang lain pada raut mukaku atau tingkahku saat ini. Entahlah. Tapi sepertinya dia tidak menyadari apapun.

Hingga saat kuantar dia ke depan, jantungku masih tetap tak bisa diajak kompromi. Ada perasaan takut dan tegang yang mengalahkan rasa jijikku pada lelaki yang sudah hampir 5 tahun kunikahi ini.

Saat mobilnya meninggalkan rumah kami, barulah aku bisa bernafas lega. Dari subuh tadi aku memang sudah mandi. Semuanya sudah kurencanakan. Saat suamiku berangkat kerja, aku akan menemui Adam di tempat yang telah kami sepakati.

Tak mau menyiakan waktu, aku segera melesat ke kamar untuk mengganti baju. Karena ketakutanku semalam, aku hanya sempat berpikiran untuk menghubungi Adam.

Entah kenapa justru dia yang kukirimi pesan. Mungkin karena aku tak punya teman dekat lainnya yang bisa kupercaya untuk mengungkapkan masalah rumah tanggaku.

[Dam, tolong aku. Aku dalam masalah.]

Jam menunjukkan pukul 1 dini hari semalam, namun chat yang kukirim padanya langsung saja dia baca tanpa menunggu lama. Beberapa kali dia merespon, mencoba menghubungiku dengan panggilan tapi segera ku reject karena takut akan ketahuan Mas Reyfan.

[Jangan telpon, Dam. Bisa kita ketemu besok pagi? Aku butuh bantuanmu.]

Tanpa menunggu lama, Adam pun langsung menjawab oke.

.

.

.

Kami berdua sudah berjanji bertemu di Morning Cafe pukul 9 pagi. Dan Adam ternyata sudah ada disana sebelum aku. Dia segera berdiri menyambutku saat aku datang, terlihat raut khawatir di wajahnya.

"Ada masalah apa, Han?" tanyanya penasaran.

"Sebentar aku duduk dulu, Dam." Aku mengatur nafas sejenak sebelum akhirnya Adam menyodorkan minuman yang sudah dia pesankan untukku.

"Minum dulu!" perintahnya.

"Dam, gimana caranya kalau mau melaporkan kasus prostitusi?" tanyaku setengah berbisik. Takut ada yang mendengar pembicaraan kami.

"Prostitusi?" Dahi Adam mengernyit. Jelas sekali wajahnya kebingungan. "Kamu sedang membicarakan apa sih, Han?" lanjutnya.

"Suamiku, Dam. Mas Reyfan sama kakaknya. Mereka terlibat itu ... duh gimana ya?" Jujur aku bingung bagaimana cara menjelaskannya pada lelaki di depanku ini. Tapi nampaknya Adam cukup mampu mencerna maksudku.

"Suamimu terlibat prostitusi?"

"Iya. Tolong jangan keras-keras!" pintaku berbisik padanya, sambil menempelkan jari tanganku ke mulut agar dia merendahkan suaranya.

"Kamu yakin?" Dia memicingkan matanya ke arahku, sepertinya kurang yakin.

Tanpa banyak bicara aku segera mengeluarkan ponsel yang semalam kutemukan di bagasi mobil mas Reyfan dari dalam tasku. Aku sudah mematikan kuota data dan kartu sim di ponsel itu semalam sebelum menyimpannya, karena aku takut Mas Reyfan akan menghubungi nomer ini saat menyadari ponselnya tak ada di tempatnya.

"Lihat ini!" Aku menunjukkan chat-chat di dalam ponsel Mas Reyfan pada Adam. Adam nampak serius membacanya, aku menunggunya menekuri layar ponsel dengan jantung berdegup.

"Wah, ini bisa pidana, Han." Adam nampak menggaruk kepala. "Kamu nemu dimana ini? Ini ponsel suami kamu?" tanyanya meyakinkan.

"Sepertinya iya, aku temukan di bagasi mobilnya. Disembunyikan disana."

Agak lama Adam terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku yang bingung tak berani bertanya apapun padanya, hingga akhirnya dia mulai bicara lagi.

"Han..." panggilnya. Aku mendongak. Rupanya sejak tadi aku hanya menunduk gugup memandangi meja cafe. "Kamu yakin mau melaporkan suami kamu?" tanyanya. Wajahnya menatapku seolah mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri karena aku tak segera menjawab.

Sebenarnya aku pun takut. Bukan takut pada mas Reyfan, tapi takut akan apa yang akan terjadi setelah aku melaporkan kasus itu.

"Resikonya, dia dan kakaknya akan dipenjara. Karena ini sudah masuk pidana, Han. Kamu siap?" tanyanya lagi.

"Lalu aku harus bagaimana, Dam? Aku bingung."

Lama kami saling terdiam. Larut dalam pikiran masing-masing.

"Ponsel ini boleh aku bawa?" Tiba-tiba dia bicara lagi.

"Mau kau apakan?"

"Aku simpankan dulu. Kamu pikirkan matang-matang soal pelaporan itu. Jika sudah siap, kamu hubungi aku. Aku ada teman yang bisa membantu membongkar kasus ini tanpa melibatkanmu terlalu jauh. Bagaimanapun juga ini pasti akan berdampak pada rumah tanggamu, Han. Jadi, kamu harus siap," jelasnya. Mendadak aku lemas. Apakah memang harus berakhir seperti ini rumah tanggaku dengan Mas Reyfan?

Belum juga sempat kutata lagi hatiku, tiba-tiba ponselku berdering. Aku dan Adam menoleh serentak ke arah benda pipih yang sejak tadi kuletakkan di atas meja cafe itu. Aku bergidik saat di layar itu terpampang nama suamiku sedang memanggil.

"Angkat saja!" kata Adam tenang, seperti sedang memberiku keberanian. Lalu perlahan kuraih ponsel itu dan kutekan tombol hijaunya.

"Halo, Mas?"

"Han, kamu dimana?"

"Aku di rumah teman. Ada apa?"

"Teman siapa? Dimana?" Nada bicaranya seperti sedang panik. Dan itu membuatku takut. Tanganku sampai berkeringat mendengar suara mas Reyfan.

"Ini sama Lisa, temen kuliahku. Ada apa sih, Mas?" Aku mencoba bersikap senormal mungkin.

"Bisa pulang sekarang nggak?"

Ada apa ini? Kenapa mas Reyfan tiba-tiba menyuruhku pulang? Apakah dia sudah tau kalau ponsel rahasianya aku ambil?

Aku tahu, saat ini wajahku pasti pucat saat mataku menatap ke arah Adam.