webnovel

GAIRAH DUDA MUDA

Di usianya yang baru menginjak kepala tiga, Matthew Williams sudah menjadi duda dan memiliki seorang anak perempuan berumur lima tahun. Bukan hanya tampan, Matthew juga memiliki kekayaan yang berlimpah karena ia sendiri adalah direktur sebuah perusahaan yang berjalan di bidang properti, dimana perusahaannya itu sudah memiliki ratusan bahkan ribuan klien dari seluruh dunia. Dia memang memiliki segalanya, bukan hanya fisik yang sempurna tapi juga kehidupan mewahnya. Wanita manapun pasti akan tergila-gila padanya. Namun, disisi lain tidak ada yang tahu jika seorang Matthew kehilangan gairahnya setelah ia bercerai dengan istrinya. Karena hal itu, Matthew melalui hidupnya dengan hampa dan kosong. Ia seperti sudah kehilangan sesuatu pada dirinya, dan Matthew tidak bisa menyembuhkannya. Hingga suatu ketika, datanglah Elena Madison ke dalam hidupnya. Entah mantra apa yang digunakan oleh pengasuh putrinya itu sehingga membuatnya selalu bergairah hanya ketika melihatnya saja.

Shawingeunbi · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
26 Chs

PERTEMUAN PERTAMA

"Nona Michella! Tolong jangan berlari," ujar panik wanita bermata hazel itu.

"Kejar aku, Elena! Kejar aku!" jawab gadis kecil itu sambil terus berlari seakan tidak mengindahkan perkataan wanita itu.

Elena makin dibuat panik ketika melihat gadis kecil yang menjadi alasannya bekerja di mansion itu terus berlari meninggalkannya dengan kaki pendeknya itu. Dia berlari keluar dari dalam mansion menuju halaman depan. Elena pun menjadi kelabakan dan segera mengeluarkan jurus lari maratonnya. Ia tidak boleh kalah dari gadis kecil itu.

"Nona Michella!" panggilnya sekali lagi berusaha menghentikannya. Ketakutannya saat ini hanya satu, ia takut jika Michella terluka karena terjatuh. Dan salah satu aturan ketika bekerja disini adalah tidak boleh membiarkan gadis kecil itu terluka karena alasan apapun. Ya, Michella memang begitu berharga di mansion ini dan karirnya juga tentunya. Elena tidak mau karirnya tamat, ditambah lagi ia baru saja tiga hari bekerja disini. Dirinya tidak mau dipecat secara tidak terhormat karena keteledorannya sendiri.

"Nona Michella?!"

Elena sama sekali tidak menyangka, kekhawatirannya pada Michella agar gadis kecil itu tidak terjatuh, malah berbalik kepada dirinya. Tubuh Elena limbung setelah tersandung kakinya sendiri.

Bak adegan slowmotion, ia pun mulai tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya dan siap merasakan liatnya halaman yang dipenuhi rerumputan itu.

Tenang Elena, terjatuh karena tersandung kaki sendiri tidak akan sesakit ketika dicampakkan Brandon beberapa bulan yang lalu. Batinnya pasrah.

Ya, ia hanya akan terjatuh. Rasanya tidak sakit, tapi mungkin sedikit sakit. Rasanya juga tidak akan sesakit saat mantan kekasihnya itu memutuskan hubungan mereka secara sepihak, karena alasan yang tidak masuk akal. Mau jatuh saja pikirannya melayang kemana-mana. Dirinya memang imajinatif, tapi Elena tidak menyangka dalam keadaan seperti itu masih ada skenario tidak terduga di dalam kepalanya.

Cukup nikmati saja sakit yang tidak seberapa itu karena tersandung kaki sendiri. Namun, Elena mengernyit ketika tubuhnya tidak mendarat. Apakah rumput di halaman ini memiliki semacam pelindung ketika ada yang jatuh?

Mengapa ia tidak merasakan sakit sama sekali? Atau lebih buruknya, jangan-jangan ia sudah meninggal.

Tidak mungkin, tapi tunggu, mengapa ia merasa seperti berada di dalam sebuah pelukan? Dan intrupsi seseorang membuyarkan segala macam imajinasinya.

"Sampai kapan kau akan terus memejamkan matamu begitu?" tegur suara berat pria yang terdengar lugas itu.

Perlahan tapi pasti, Elena mulai membuka matanya dan wajah tampan pria itu terpampang nyata di depannya. Tanpa sadar sudut bibirnya tertarik ke atas karena terpaku pada kerupawanannya. Baru kali ini Elena bertemu dengan pria tampan yang biasa ia baca di salah satu novel bergenre romantis yang terlihat nyata. Jadi, setampan ini tokoh yang ada di dalam novel itu?

Elena tidak pernah membayangkan akan berhadapan dengan pria setampan ini sebelumnya. Bahkan Brandon, mantan kekasihnya itu tidak ada apa-apanya.

Brukk!!

"Aww!"

Elena meringis kesakitan ketika dengan sengaja pria itu menjatuhkan tubuhnya ke tanah berumput di bawahnya. Dan bayangan yang sempat menghiasi imajinasinya tadi menjadi kenyataan. Rasa sakitnya sih tidak sedikit lagi, tapi benar-benar sakit sekali.

"Dasar wanita! Dimanapun sama saja!" katanya terdengar menusuk. Elena merasa tidak terima dengan ucapan pria asing ini, tapi ketika ia berniat ingin melayangkan protesnya, Michella berlari ke arah mereka. Lebih tepatnya ke arah pria itu.

"Papa!" panggil Michella antusias.

Sontak mata Elena membulat sempurna, kemarahannya menguap begitu saja setelah mengetahui fakta yang mengejutkan ini. Jadi pria asing ini adalah ayah Michella? Pantas saja sifat mereka sama-sama ajaib, ternyata dari sel DNA yang sama.

"Papa, Michella kangen," ucap gadis kecil itu manja sambil memeluk kaki pria itu.

Hening. Elena pikir akan ada adegan peluk-pelukkan seperti lumrahnya ayah dan putrinya yang sudah lama tidak berjumpa. Tapi sekarang justru tidak ada adegan apapun dan hanya suasana canggung. Dan kecanggungan itu ia sendiri yang merasakannya, karena menyaksikan pemandangan di depannya itu.

Apakah hubungan Michella dan ayahnya tidak seakrab ayah dan putrinya diluar sana? Bagaimana bisa? Bukankah pria itu ayah kandung Michella? Ia merasa kasihan ketika Michella masih tetap bertahan memeluk kaki pria itu, meski tidak ditanggapi sama sekali. Ayah macam apa pria ini? Batinnya kesal sendiri.

"Papa, Michella kangen," ucap Michella mengulangi kata-katanya dengan suara yang lirih. Sepertinya gadis kecil itu mulai sadar jika pria itu sama sekali tidak menganggapnya.

"Tuan Matthew, Tuan Ramon datang berkunjung," kata pria paruh baya itu melaporkan informasi kepada Tuannya.

Tanpa menanggapinya, Matthew segera berlalu pergi dari sana melepaskan pelukan Michella di kakinya dengan mudah. Dia mengabaikan Michella seakan-akan gadis kecil itu tidak ada disana.

Elena merasa dadanya begitu sakit setelah menyaksikan kejadian itu. Walaupun ia tidak tahu apa yang melatarbelakangi sikap dingin Matthew pada putrinya sendiri, Michella. Elena pun tidak tinggal diam, ia mendekati Michella berniat ingin menghiburnya.

Gadis kecil itu menatap kepergian ayahnya dalam diam. Sementara itu Elena mengusap lembut rambut Michella dan tersenyum.

"Michella mau es krim?" tanya Elena berusaha mengalihkan kesedihan Michella karena diabaikan ayahnya sendiri. Selama tiga hari ia bekerja disini, Elena sudah mengetahui kudapan favorit Michella. Gadis kecil itu suka sekali es krim.

"Michella?" panggil Elena sekali lagi.

"Michella hanya mau papa," kata gadis kecil itu mulai menangis. Dia masih berumur lima tahun. Jika anak seumurannya menangis karena tidak dibelikan mainan, maka Michella menangis karena haus akan perhatian orang tuanya sendiri. Elena bisa merasakan bagaimana kesepiannya gadis kecil itu. Dia adalah korban dari perceraian kedua orang tuanya. Hatinya benar-benar teremas sakit melihat kejadian itu. Pria itu memang tampan, tapi sepertinya dia tidak memiliki hati nurani.

Terbukti dengan sikapnya barusan yang mengabaikan Michella, pada anak gadisnya itu senang sekali melihatnya pulang.

Dan yang bisa Elena lakukan sekarang adalah menemani Michella dalam keadaan apapun. Entah mengapa hatinya menjadi tergerak untuk lebih memerhatikannya, selayaknya putrinya sendiri.

Michella, akan kupastikan kau tidak akan sendirian lagi. Batinnya.

Setelah berhasil dibujuk, gadis kecil itu sekarang mulai terhibur dengan adanya dirinya di sampingnya. Elena mengerahkan semua tenaganya untuk bisa membuat Michella senang hari itu.

Dimulai dari bermain putri-putrian, memasak kue bersama, dan juga berenang. Michella tipikal anak yang aktif, jadi ia bisa melakukan apapun seharian.

Dan dari kecil, Michella juga sudah dilatih untuk disiplin. Meski gadis kecil itu suka sekali bermain, bahkan berlarian hingga membuat jantungnya mau copot, Michella selalu tahu waktu kapan ia boleh bermain, kapan ia harus serius.

Elena benar-benar semakin takjub. Sepertinya Elena harus banyak belajar dari gaya hidup gadis kecil itu yang sangat disiplin pada waktu. Dan disisi lain, Elena jadi memikirkan Matthew lagi. Pria itu, apa yang membuatnya bersikap begitu kepada Michella? Elena masih dibuat penasaran. Haruskah ia mencari tahu?