webnovel

Part 5. Bertemu

Setelah gadis hitam manis itu membungkukkan badannya lantas berlalu, Olivia menatap pemandangan lurus di hadapannya. Jika ada yang belum tau kalau gambaran seorang Ibu Kartini itu tidak seperti gambar yang sudah beredar bebas di buku pelajaran dan berbagai media jadoel hingga media elektronik saat ini. Olivia berniat memberitau fakta bahwa Ibu Kartini seorang muslimah taat lengkap dengan kerudung yang selalu menutup pandangan dari yang bukan mahram-nya. Olivia tidak akan membahas lebih lanjut tentang mengapa justru gambaran umum yang bukan menunjukkan identitas Ibu Kartini yang dipahami awam. Padahal buku karangan Ibu Kartini sebagai perwujudan berbagi pengetahuan beliau kepada sesama kaumnya.

Yang ada di hadapan Olivia adalah gambaran identitas Ibu Kartini yang sebenarnya yang sepertinya disengaja tidak diekspose ke khalayak. Iya, wanita berkerudung disana. Yang tengah duduk membelakanginya sedang membatik. Olivia terhenyak dengan gambaran live di hadapannya. Ia merasakan suasana dengan atmosfer yang telah dikenalinya. Tidak mungkin!

Olivia mengerjap-ngerjapkan matanya berusaha tersadar kalau-kalau ia ada di alam mimpi atau terjebak di dalam khayalan absurd-nya. Tak salah Olivia mengenali suasana dimana ia berada sekarang dengan... lukisan Andi? Bisa begitu mirip persamaan ini?

Suara lantang Mbok Surip membuat Olivia menoleh sedikit kaget

"Den, ada tamu.. Non Olivia dari majalah bisnis Ibukota ingin bertemu!"

Mbok Surip mengangguk ke arahnya sambil mempersilahkan dengan ibu jarinya kemudian permisi. Olivia menyedekapkan kedua tangan di dada sebagai ungkapan terima kasih.

Olivia tidak berniat beranjak dari tempatnya berdiri. Ia memilih menunggu. Yang di depan sana seperti membereskan sesuatu. Berpesan pada asistennya beberapa saat lalu bangkit perlahan. Semua menundukkan kepala ketika beliaunya berdiri lantas berpaling. Semua tak lepas dari pandangan Olivia sampai wanita yang ia maksud terlihat wajahnya.

Astaga! Olivia tidak sadar mulutnya ternganga seolah tak percaya. Andi tidak berkhayal tentang lukisannya. Olivia seperti melihat gambar hidup di hadapannya ketika wanita berkerudung itu menghampirinya. Tetiba rahangnya mengejang ketika ingin mengucapkan sepatah kata sekedar membalas sapaan di depannya. Menghipnotisnya hingga tak terasa mengangkat tangannya mengikuti gerakan tangan di hadapannya.

Ketegangan Olivia sedikit mereda saat kehangatan tangan di hadapannya menyentuh lembut langsung erat menggenggam salamannya. Begitu genggaman terlepas, Olivia sedikit tersentak lalu buru-buru mengumpulkan kesadaran. Senyum hangat meletupkan kerinduan pada sosok wanita yang begitu berarti dalam hidup Olivia. Elusan pada bahunya seketika membuat Olivia berusaha mengendalikan diri. Bagaimanapun mereka baru bersua jadi menurut Olivia tidak pantas mengakrabkan diri dengan berpelukan. Tetapi wanita di hadapannya justru tak segan memeluknya erat. Betapa Olivia jadi teringat dengan almarhumah Mamanya, sekarang. Masih terasa kehangatan dan kebahagiaan yang Mamanya berikan meski belasan tahun silam telah berlalu. Matanya berkaca-kaca.

Ah, tidak! Olivia berusaha menghempas keharuannya begitu pelukan nyata itu terlepas perlahan. Olivia tertunduk malu. Kebiasaan menggaruk hidung saat grogi jadi sering dilakukannya sekarang.

Aura seorang keturunan bangsawan begitu lekat pada diri wanita di hadapannya. Buktinya, Olivia tunduk pada keinginannya dengan patuh mengikuti ke ruangan di lantai atasnya. Ruangan tertutup tapi tembus cahaya karena sebagian besar dindingnya kaca tebal rayben. Olivia hanya tidak menyadari kalau ruangan yang mirip kantor itu kedap suara seperti dalam studio namun berukuran besar.

Olivia juga ikut duduk ketika wanita yang membawanya tanpa penolakan itu duduk di depan meja bundar berbahann kayu jati tua melihat ukuran dan lingkaran tahunnya yang tercetak jelas membentuk ornamen alami yang begitu menarik. Mereka berhadapan-hadapan di depan dinding kaca berbingkai mirip kanopi kayu tapi ketika dilihat dari dekat ternyata terbuat dari stainless. Dilengkapi tanaman rambat dan pot-pot gerabah tinggi berisi bunga tasbih dan Lily. Di luar kaca ada balkon yang dijajari pot bird of paradise. Sebuah pohon pinang yang telah berbuah dan beberapa paku-pakuan yang ditanam vertikal setinggi kisi-kisi pagar. Seolah menyatu dengan keindahan alam bebas disana.

Olivia mau berucap sesuatu tapi mendadak ada interupsi dari gadis hitam manis yang membawakan nampan berisi dua cangkir, satu teko sedang, satu toples, dan dua piring camilan tradisional. Tanpa canggung dan .

.

.

.

Setelah gadis hitam manis itu membungkukkan badannya lantas berlalu, Olivia menatap pemandangan lurus di hadapannya. Jika ada yang belum tau kalau gambaran seorang Ibu Kartini itu tidak seperti gambar yang sudah beredar bebas di buku pelajaran dan berbagai media jadoel hingga media elektronik saat ini. Olivia berniat memberitau fakta bahwa Ibu Kartini seorang muslimah taat lengkap dengan kerudung yang selalu menutup pandangan dari yang bukan mahram-nya. Olivia tidak akan membahas lebih lanjut tentang mengapa justru gambaran umum yang bukan menunjukkan identitas Ibu Kartini yang dipahami awam. Padahal buku karangan Ibu Kartini sebagai perwujudan berbagi pengetahuan beliau kepada sesama kaumnya.

Yang ada di hadapan Olivia adalah gambaran identitas Ibu Kartini yang sebenarnya yang sepertinya disengaja tidak diekspose ke khalayak. Iya, wanita berkerudung disana. Yang tengah duduk membelakanginya sedang membatik. Olivia terhenyak dengan gambaran live di hadapannya. Ia merasakan suasana dengan atmosfer yang telah dikenalinya. Tidak mungkin! Olivia mengerjap-ngerjapkan matanya berusaha tersadar kalau-kalau ia ada di alam mimpi atau terjebak di dalam khayalan absurd-nya. Tak salah Olivia mengenali suasana dimana ia berada sekarang dengan... lukisan Andi? Bisa begitu mirip persamaan ini?

Suara lantang Mbok Surip membuat Olivia menoleh sedikit kaget

"Den, ada tamu.. Non Olivia dari majalah bisnis Ibukota ingin bertemu!" Mbok Surip mengangguk ke arahnya sambil mempersilahkan dengan ibu jarinya kemudian permisi. Olivia menyedekapkan kedua tangan di dada sebagai ungkapan terima kasih.

Olivia tidak berniat beranjak dari tempatnya berdiri. Ia memilih menunggu. Yang di depan sana seperti membereskan sesuatu. Berpesan pada asistennya beberapa saat lalu bangkit perlahan. Semua menundukkan kepala ketika beliaunya berdiri lantas berpaling. Semua tak lepas dari pandangan Olivia sampai wanita yang ia maksud terlihat wajahnya.

Astaga! Olivia tidak sadar mulutnya ternganga seolah tak percaya. Andi tidak berkhayal tentang lukisannya. Olivia seperti melihat gambar hidup di hadapannya ketika wanita berkerudung itu menghampirinya. Tetiba rahangnya mengejang ketika ingin mengucapkan sepatah kata sekedar membalas sapaan di depannya. Menghipnotisnya hingga tak terasa mengangkat tangannya mengikuti gerakan tangan di hadapannya.

Ketegangan Olivia sedikit mereda saat kehangatan tangan di hadapannya menyentuh lembut langsung erat menggenggam salamannya. Begitu genggaman terlepas, Olivia sedikit tersentak lalu buru-buru mengumpulkan kesadaran. Senyum hangat meletupkan kerinduan pada sosok wanita yang begitu berarti dalam hidup Olivia. Elusan pada bahunya seketika membuat Olivia berusaha mengendalikan diri. Bagaimanapun mereka baru bersua jadi menurut Olivia tidak pantas mengakrabkan diri dengan berpelukan. Tetapi wanita di hadapannya justru tak segan memeluknya erat. Betapa Olivia jadi teringat dengan almarhumah Mamanya, sekarang. Masih terasa kehangatan dan kebahagiaan yang Mamanya berikan meski belasan tahun silam telah berlalu. Matanya berkaca-kaca.

Ah, tidak! Olivia berusaha menghempas keharuannya begitu pelukan nyata itu terlepas perlahan. Olivia tertunduk malu. Kebiasaan menggaruk hidung saat grogi jadi sering dilakukannya sekarang.

Aura seorang keturunan bangsawan begitu lekat pada diri wanita di hadapannya. Buktinya, Olivia tunduk pada keinginannya dengan patuh mengikuti ke ruangan di lantai atasnya. Ruangan tertutup tapi tembus cahaya karena sebagian besar dindingnya kaca tebal rayben. Olivia hanya tidak menyadari kalau ruangan yang mirip kantor itu kedap suara seperti dalam studio namun berukuran besar.

Olivia juga ikut duduk ketika wanita yang membawanya tanpa penolakan itu duduk di depan meja bundar berbahann kayu jati tua melihat ukuran dan lingkaran tahunnya yang tercetak jelas membentuk ornamen alami yang begitu menarik. Mereka berhadapan-hadapan di depan dinding kaca berbingkai mirip kanopi kayu tapi ketika dilihat dari dekat ternyata terbuat dari stainless. Dilengkapi tanaman rambat dan pot-pot gerabah tinggi berisi bunga tasbih dan Lily. Di luar kaca ada balkon yang dijajari pot bird of paradise. Sebuah pohon pinang yang telah berbuah dan beberapa paku-pakuan yang ditanam vertikal setinggi kisi-kisi pagar. Seolah menyatu dengan keindahan alam bebas disana.

Olivia mau berucap sesuatu tapi mendadak ada interupsi dari gadis hitam manis yang membawakan nampan berisi dua cangkir, satu teko sedang, satu toples, dan dua piring camilan tradisional. Tanpa canggung dan penuh ketenangan, gadis hitam manis itu menata semua isi nampan di meja. Andai Olivia bisa bertukar peran dengan gadis itu untuk saat ini.. batin Olivia meratap.

Menit berikutnya,

"Laras! Kamu boleh pulang setelah ini! Jadwal kuliahmu sore, kan?"

Gadis yang mengempit nampan mengangguk dan permisi.

"Nuwun, Ndara Putri" Owh! Namanya Laras.. batin Olivia.

Sepeninggal gadis hitam manis, wanita di hadapannya mempersilahkan minum. Beliau lebih dulu mengangkat cangkirnya. Emang kapan cangkir-cangkir kosong itu terisi? Tanpa membantah, Olivia juga mengangkat cangkirnya dan menghirup isinya perlahan. Sensasi pahit tehnya terasa pas di lidahnya ditambah aroma melati yang belum pernah ia temui. Olivia jadi tertegun karena minumannya. Apa yang ingin segera ia utarakan menguap entah kemana.

"Kamu masih kuliah?" Wanita di hadapannya mendominasi pertemuan. Di satu sisi, Olivia tersadarkan tujuannya kemari, tapi di sisi lain merutuki keanehan pada dirinya sendiri. Dari pengalaman pertama kali interview, Olivia penuh percaya diri dengan persiapan matang. Suasana ada dalam kendalinya. Tetapi kali ini bukannya tanpa persiapan.. tapi..

Lagi-lagi, Olivia tersentak. Wanita di hadapannya menunggu jawabannya. Wanita itu mengerutkan keningnya. Wajahnya menunjukkan betapa mempesonanya ketika beliaunya masih muda.

"Ehm.." Cukup! Olivia harus menguasai dirinya sendiri! Olivia bertekad kuat sampai mengepalkan kedua tangannya "Iya!" Sedikit lega dengan hasil pengendalian dirinya dengan jawaban barusan "Seharusnya semester ini berakhir.. tapi saya mengakui belum bisa membagi waktu dengan baik antara menyelesaikan skripsi dan bekerja di kantor. Karena saya tidak ingin setengah-setengah dalam melakukan sesuatu!" Ok's intonasi kata-katanya memang lugas tapi kenapa nadanya jadi curhat. Olivia memberanikan diri menatap wanita di hadapannya. Cuma sebentar lalu menunduk memperhatikan tangannya yang menggenggam erat cangkir. Fix! Kemampuan Olivia menduduki jabatan PR perusahaan bisnis ternama ibukota dipertanyakan.

Kebetulan? Olivia meralat kata itu dengan keberuntungan disaat Mbk Sinta, seniornya mengambil cuti hamil dan melahirkan lalu berlanjut dengan pengunduran diri karena fokus pada keluarga. Olivia yang saat itu jadi asistennya mau tak mau kelimpahan tugas. Perusahaan kurang berkompromi menerima staf baru dengan situasi diburu deadline. Di bagian marketing bisa tarik ulur waktu tapi di bagian produksi semua harus dihargai dengan waktu. Itu keuntungan Olivia. Untuk memudahkan dan demi kelancaran tugasnya, Olivia diberi kewenangan penuh. Rupanya sang atasan tahu benar track record Olivia selama bekerja di perusahaan. Bahkan Olivia disiapkan rekanan baru untuk menyelesaikan tugasnya.

"Orang yang memiliki pengalaman bukankah lebih baik dari orang pandai tapi tidak memiliki keahlian?!"

Ok's, itu bukan pertanyaan tapi pernyataan dari wanita di hadapannya. Lalu apa yang bisa Olivia jawab? Olivia memutar cangkirnya perlahan. Pandangannya serius disana. Walaupun sudah menghirupnya beberapa kali kenapa isinya tidak terlihat berkurang? Apa wanita di hadapannya tipe orang yang suka menghargai dari habisnya minuman untuk tamunya atau cukup diminum saja?

"Apa gunanya ilmu bila tidak diamalkan.. ya kan? Buat apa gelar atau sematan yang tidak berarti apapun tanpa nilai diri yang lebih tinggi yakni memberi arti bagi sesama maupun lingkungan di sekitarnya!" Wanita di hadapannya masih mendominasi percakapan. Satu peluang bagi Olivia kembali menyadari untuk apa dia kemari,

"Apakah demi nilai diri juga membuat seseorang membayarnya dengan penderitaan orang lain?"

"Apa maksud kamu, Olivia.. Nama kamu Olivia, kan?"

Yang dipanggil namanya mengangguk. Bagus lah! Dengan menyebut nama, Olivia merasa terlepas dari intimidasi wanita di hadapannya. Olivia bisa memulai membuka negosiasi agar tim yang bersamanya dapat ditempatkan di lingkungan pemilik Mall Metropolis.

"Mall Metropolis!" Dilihatnya, wanita di hadapannya menatapnya lurus. Datar. Orang yang berpengaruh memang minim ekspresi. Ups! Bukan! Tapi mampu menyembunyikan perasaannya " Maaf! Saya yakin bukan orang pertama yang mengunjungi anda terkait Mall Metropolis" Olivia mengulas senyum sekilas.

"Oh, masalah itu.. Orang yang hidupnya kekurangan seolah yang paling menderita. Tapi bukan itu masalah sebenarnya! Bila ada orang yang berkepentingan mulai mengambil kesempatan dalam kesempitan. Mungkin awalnya mengulas berita yang tak terliput lantas mengemuka.. terus? Iya, kalau mendapat solusi tapi kalau hanya sensasi?.."

Wanita di hadapan Olivia menegakkan punggungnya. Menyedekapkan kedua tangannya di meja. Mengungkung cangkirnya. Menatap Olivia serius.

"Saya bukan wartawati! Saya bukan peliput berita!" Tapi kalau dibutuhkan maka Olivia akan lakukan "Maaf! Saya bekerja dalam tim dan saya sedang berusaha meminta persetujuan pada Pemilik Mall Metropolis untuk mengijinkan tim meliput kegiatan Anda. Dan ini proposal dari kami..!" Olivia menyerahkan map tertutup pada wanita di hadapannya.

Ketika dirasakannya beliaunya hanya menerima dan meletakkan map pemberiannya begitu saja "Mungkin Anda tidak keberatan saya bantu untuk membukanya dan menjelaskan pada Anda? Karena saya yakin sepenuhnya bahwa Anda tentu bukan orang yang suka menyia-nyiakan waktu..!"

"Bawa kawan-kawan tim kamu secepatnya! Pintu rumah ini selalu terbuka untukmu, Olivia!"

Ajaib! Bahkan Olivia belum sempat menjelaskan isi proposal yang diserahkannya. Semudah ini? Olivia tidak tau harus senang atau sebaliknya. Malah jadi was-was.. tetapi apa setelah ini?

"Aku akan mengantarmu berkeliling sekarang juga tapi tolong habiskan dulu minumanmu dan cicipilah apa yang ada di hadapanmu! Tidak baik menolak rejeki! Dan yang disediakan disini bukan sesuatu yang berbahaya bagimu tapi akan mengecewakan bila dirimu tidak menyambutnya!"

Olivia pun membalas senyuman beliau dan mengerti jamuan tuan rumah untuk memuliakan tamunya membuatnya segan. Olivia mengambil satu jenis kudapan. Ia memilih kue gandos rangin yang terbuat dari tepung beras daripada kue onde dan sagon yang terbuat dari ketan. Lebih aman di perut.

"Apa kamu belum sarapan?" Tanya wanita di hadapannya melihat kue apa yang dipilih Olivia.

Olivia mengerutkan keningnya "Jika yang anda maksud sarapan adalah nasi maka saya tidak pernah makan karena saya jarang makan nasi dan memilih penggantinya nasi karena tuntutan kerjaan!" Olivia memang suka sarapan roti atau sereal atau bubur oatmeal. Makan siangnya kadang random dengan makan petang atau makan malam. Ia suka membawa bekal oat chocho, kismis, dan biskuit untuk mengganjal perut. Tak lupa beberapa waktu terakhir menyediakan kurma dalam menu keseharian setelah tau kandungan gizi lengkapnya.

"Ckc.. anak muda yang memilih mandiri lebih suka makanan praktis siap saji! Hati-hati saja, Sayang! Makanan cepat saji tidak baik buat kesehatan! Lagian nggak pingin masak biar punya bekal nanti ngurus suami.. ngurus keluarga!"

Tetesan terakhir teh di cangkirnya terasa seret di kerongkongan. Olivia jadi inget kata-kata yang sering dilontarkan Papanya itu. Sama persis! Dan apa panggilan wanita di hadapannya itu tadi?

*******

ketenangan, gadis hitam manis itu menata semua isi nampan di meja. Andai Olivia bisa bertukar peran dengan gadis itu untuk saat ini.. batin Olivia meratap.

Menit berikutnya,

"Laras! Kamu boleh pulang setelah ini! Jadwal kuliahmu sore, kan?"

Gadis yang mengempit nampan mengangguk dan permisi.

"Nuwun, Ndara Putri"

Owh! Namanya Laras.. batin Olivia.

Sepeninggal gadis hitam manis, wanita di hadapannya mempersilahkan minum. Beliau lebih dulu mengangkat cangkirnya. Emang kapan cangkir-cangkir kosong itu terisi? Tanpa .

.

.

.

Setelah gadis hitam manis itu membungkukkan badannya lantas berlalu, Olivia menatap pemandangan lurus di hadapannya. Jika ada yang belum tau kalau gambaran seorang Ibu Kartini itu tidak seperti gambar yang sudah beredar bebas di buku pelajaran dan berbagai media jadoel hingga media elektronik saat ini. Olivia berniat memberitau fakta bahwa Ibu Kartini seorang muslimah taat lengkap dengan kerudung yang selalu menutup pandangan dari yang bukan mahram-nya. Olivia tidak akan membahas lebih lanjut tentang mengapa justru gambaran umum yang bukan menunjukkan identitas Ibu Kartini yang dipahami awam. Padahal buku karangan Ibu Kartini sebagai perwujudan berbagi pengetahuan beliau kepada sesama kaumnya.

Yang ada di hadapan Olivia adalah gambaran identitas Ibu Kartini yang sebenarnya yang sepertinya disengaja tidak diekspose ke khalayak. Iya, wanita berkerudung disana. Yang tengah duduk membelakanginya sedang membatik. Olivia terhenyak dengan gambaran live di hadapannya. Ia merasakan suasana dengan atmosfer yang telah dikenalinya. Tidak mungkin! Olivia mengerjap-ngerjapkan matanya berusaha tersadar kalau-kalau ia ada di alam mimpi atau terjebak di dalam khayalan absurd-nya. Tak salah Olivia mengenali suasana dimana ia berada sekarang dengan... lukisan Andi? Bisa begitu mirip persamaan ini?

Suara lantang Mbok Surip membuat Olivia menoleh sedikit kaget

"Den, ada tamu.. Non Olivia dari majalah bisnis Ibukota ingin bertemu!" Mbok Surip mengangguk ke arahnya sambil mempersilahkan dengan ibu jarinya kemudian permisi. Olivia menyedekapkan kedua tangan di dada sebagai ungkapan terima kasih.

Olivia tidak berniat beranjak dari tempatnya berdiri. Ia memilih menunggu. Yang di depan sana seperti membereskan sesuatu. Berpesan pada asistennya beberapa saat lalu bangkit perlahan. Semua menundukkan kepala ketika beliaunya berdiri lantas berpaling. Semua tak lepas dari pandangan Olivia sampai wanita yang ia maksud terlihat wajahnya.

Astaga! Olivia tidak sadar mulutnya ternganga seolah tak percaya. Andi tidak berkhayal tentang lukisannya. Olivia seperti melihat gambar hidup di hadapannya ketika wanita berkerudung itu menghampirinya. Tetiba rahangnya mengejang ketika ingin mengucapkan sepatah kata sekedar membalas sapaan di depannya. Menghipnotisnya hingga tak terasa mengangkat tangannya mengikuti gerakan tangan di hadapannya.

Ketegangan Olivia sedikit mereda saat kehangatan tangan di hadapannya menyentuh lembut langsung erat menggenggam salamannya. Begitu genggaman terlepas, Olivia sedikit tersentak lalu buru-buru mengumpulkan kesadaran. Senyum hangat meletupkan kerinduan pada sosok wanita yang begitu berarti dalam hidup Olivia. Elusan pada bahunya seketika membuat Olivia berusaha mengendalikan diri. Bagaimanapun mereka baru bersua jadi menurut Olivia tidak pantas mengakrabkan diri dengan berpelukan. Tetapi wanita di hadapannya justru tak segan memeluknya erat. Betapa Olivia jadi teringat dengan almarhumah Mamanya, sekarang. Masih terasa kehangatan dan kebahagiaan yang Mamanya berikan meski belasan tahun silam telah berlalu. Matanya berkaca-kaca.

Ah, tidak! Olivia berusaha menghempas keharuannya begitu pelukan nyata itu terlepas perlahan. Olivia tertunduk malu. Kebiasaan menggaruk hidung saat grogi jadi sering dilakukannya sekarang.

Aura seorang keturunan bangsawan begitu lekat pada diri wanita di hadapannya. Buktinya, Olivia tunduk pada keinginannya dengan patuh mengikuti ke ruangan di lantai atasnya. Ruangan tertutup tapi tembus cahaya karena sebagian besar dindingnya kaca tebal rayben. Olivia hanya tidak menyadari kalau ruangan yang mirip kantor itu kedap suara seperti dalam studio namun berukuran besar.

Olivia juga ikut duduk ketika wanita yang membawanya tanpa penolakan itu duduk di depan meja bundar berbahann kayu jati tua melihat ukuran dan lingkaran tahunnya yang tercetak jelas membentuk ornamen alami yang begitu menarik. Mereka berhadapan-hadapan di depan dinding kaca berbingkai mirip kanopi kayu tapi ketika dilihat dari dekat ternyata terbuat dari stainless. Dilengkapi tanaman rambat dan pot-pot gerabah tinggi berisi bunga tasbih dan Lily. Di luar kaca ada balkon yang dijajari pot bird of paradise. Sebuah pohon pinang yang telah berbuah dan beberapa paku-pakuan yang ditanam vertikal setinggi kisi-kisi pagar. Seolah menyatu dengan keindahan alam bebas disana.

Olivia mau berucap sesuatu tapi mendadak ada interupsi dari gadis hitam manis yang membawakan nampan berisi dua cangkir, satu teko sedang, satu toples, dan dua piring camilan tradisional. Tanpa canggung dan penuh ketenangan, gadis hitam manis itu menata semua isi nampan di meja. Andai Olivia bisa bertukar peran dengan gadis itu untuk saat ini.. batin Olivia meratap.

Menit berikutnya,

"Laras! Kamu boleh pulang setelah ini! Jadwal kuliahmu sore, kan?"

Gadis yang mengempit nampan mengangguk dan permisi.

"Nuwun, Ndara Putri" Owh! Namanya Laras.. batin Olivia.

Sepeninggal gadis hitam manis, wanita di hadapannya mempersilahkan minum. Beliau lebih dulu mengangkat cangkirnya. Emang kapan cangkir-cangkir kosong itu terisi? Tanpa membantah, Olivia juga mengangkat cangkirnya dan menghirup isinya perlahan. Sensasi pahit tehnya terasa pas di lidahnya ditambah aroma melati yang belum pernah ia temui. Olivia jadi tertegun karena minumannya. Apa yang ingin segera ia utarakan menguap entah kemana.

"Kamu masih kuliah?" Wanita di hadapannya mendominasi pertemuan. Di satu sisi, Olivia tersadarkan tujuannya kemari, tapi di sisi lain merutuki keanehan pada dirinya sendiri. Dari pengalaman pertama kali interview, Olivia penuh percaya diri dengan persiapan matang. Suasana ada dalam kendalinya. Tetapi kali ini bukannya tanpa persiapan.. tapi..

Lagi-lagi, Olivia tersentak. Wanita di hadapannya menunggu jawabannya. Wanita itu mengerutkan keningnya. Wajahnya menunjukkan betapa mempesonanya ketika beliaunya masih muda.

"Ehm.." Cukup! Olivia harus menguasai dirinya sendiri! Olivia bertekad kuat sampai mengepalkan kedua tangannya "Iya!" Sedikit lega dengan hasil pengendalian dirinya dengan jawaban barusan "Seharusnya semester ini berakhir.. tapi saya mengakui belum bisa membagi waktu dengan baik antara menyelesaikan skripsi dan bekerja di kantor. Karena saya tidak ingin setengah-setengah dalam melakukan sesuatu!" Ok's intonasi kata-katanya memang lugas tapi kenapa nadanya jadi curhat. Olivia memberanikan diri menatap wanita di hadapannya. Cuma sebentar lalu menunduk memperhatikan tangannya yang menggenggam erat cangkir. Fix! Kemampuan Olivia menduduki jabatan PR perusahaan bisnis ternama ibukota dipertanyakan.

Kebetulan? Olivia meralat kata itu dengan keberuntungan disaat Mbk Sinta, seniornya mengambil cuti hamil dan melahirkan lalu berlanjut dengan pengunduran diri karena fokus pada keluarga. Olivia yang saat itu jadi asistennya mau tak mau kelimpahan tugas. Perusahaan kurang berkompromi menerima staf baru dengan situasi diburu deadline. Di bagian marketing bisa tarik ulur waktu tapi di bagian produksi semua harus dihargai dengan waktu. Itu keuntungan Olivia. Untuk memudahkan dan demi kelancaran tugasnya, Olivia diberi kewenangan penuh. Rupanya sang atasan tahu benar track record Olivia selama bekerja di perusahaan. Bahkan Olivia disiapkan rekanan baru untuk menyelesaikan tugasnya.

"Orang yang memiliki pengalaman bukankah lebih baik dari orang pandai tapi tidak memiliki keahlian?!"

Ok's, itu bukan pertanyaan tapi pernyataan dari wanita di hadapannya. Lalu apa yang bisa Olivia jawab? Olivia memutar cangkirnya perlahan. Pandangannya serius disana. Walaupun sudah menghirupnya beberapa kali kenapa isinya tidak terlihat berkurang? Apa wanita di hadapannya tipe orang yang suka menghargai dari habisnya minuman untuk tamunya atau cukup diminum saja?

"Apa gunanya ilmu bila tidak diamalkan.. ya kan? Buat apa gelar atau sematan yang tidak berarti apapun tanpa nilai diri yang lebih tinggi yakni memberi arti bagi sesama maupun lingkungan di sekitarnya!" Wanita di hadapannya masih mendominasi percakapan. Satu peluang bagi Olivia kembali menyadari untuk apa dia kemari,

"Apakah demi nilai diri juga membuat seseorang membayarnya dengan penderitaan orang lain?"

"Apa maksud kamu, Olivia.. Nama kamu Olivia, kan?"

Yang dipanggil namanya mengangguk. Bagus lah! Dengan menyebut nama, Olivia merasa terlepas dari intimidasi wanita di hadapannya. Olivia bisa memulai membuka negosiasi agar tim yang bersamanya dapat ditempatkan di lingkungan pemilik Mall Metropolis.

"Mall Metropolis!" Dilihatnya, wanita di hadapannya menatapnya lurus. Datar. Orang yang berpengaruh memang minim ekspresi. Ups! Bukan! Tapi mampu menyembunyikan perasaannya " Maaf! Saya yakin bukan orang pertama yang mengunjungi anda terkait Mall Metropolis" Olivia mengulas senyum sekilas.

"Oh, masalah itu.. Orang yang hidupnya kekurangan seolah yang paling menderita. Tapi bukan itu masalah sebenarnya! Bila ada orang yang berkepentingan mulai mengambil kesempatan dalam kesempitan. Mungkin awalnya mengulas berita yang tak terliput lantas mengemuka.. terus? Iya, kalau mendapat solusi tapi kalau hanya sensasi?.."

Wanita di hadapan Olivia menegakkan punggungnya. Menyedekapkan kedua tangannya di meja. Mengungkung cangkirnya. Menatap Olivia serius.

"Saya bukan wartawati! Saya bukan peliput berita!" Tapi kalau dibutuhkan maka Olivia akan lakukan "Maaf! Saya bekerja dalam tim dan saya sedang berusaha meminta persetujuan pada Pemilik Mall Metropolis untuk mengijinkan tim meliput kegiatan Anda. Dan ini proposal dari kami..!" Olivia menyerahkan map tertutup pada wanita di hadapannya.

Ketika dirasakannya beliaunya hanya menerima dan meletakkan map pemberiannya begitu saja "Mungkin Anda tidak keberatan saya bantu untuk membukanya dan menjelaskan pada Anda? Karena saya yakin sepenuhnya bahwa Anda tentu bukan orang yang suka menyia-nyiakan waktu..!"

"Bawa kawan-kawan tim kamu secepatnya! Pintu rumah ini selalu terbuka untukmu, Olivia!"

Ajaib! Bahkan Olivia belum sempat menjelaskan isi proposal yang diserahkannya. Semudah ini? Olivia tidak tau harus senang atau sebaliknya. Malah jadi was-was.. tetapi apa setelah ini?

"Aku akan mengantarmu berkeliling sekarang juga tapi tolong habiskan dulu minumanmu dan cicipilah apa yang ada di hadapanmu! Tidak baik menolak rejeki! Dan yang disediakan disini bukan sesuatu yang berbahaya bagimu tapi akan mengecewakan bila dirimu tidak menyambutnya!"

Olivia pun membalas senyuman beliau dan mengerti jamuan tuan rumah untuk memuliakan tamunya membuatnya segan. Olivia mengambil satu jenis kudapan. Ia memilih kue gandos rangin yang terbuat dari tepung beras daripada kue onde dan sagon yang terbuat dari ketan. Lebih aman di perut.

"Apa kamu belum sarapan?" Tanya wanita di hadapannya melihat kue apa yang dipilih Olivia.

Olivia mengerutkan keningnya "Jika yang anda maksud sarapan adalah nasi maka saya tidak pernah makan karena saya jarang makan nasi dan memilih penggantinya nasi karena tuntutan kerjaan!" Olivia memang suka sarapan roti atau sereal atau bubur oatmeal. Makan siangnya kadang random dengan makan petang atau makan malam. Ia suka membawa bekal oat chocho, kismis, dan biskuit untuk mengganjal perut. Tak lupa beberapa waktu terakhir menyediakan kurma dalam menu keseharian setelah tau kandungan gizi lengkapnya.

"Ckc.. anak muda yang memilih mandiri lebih suka makanan praktis siap saji! Hati-hati saja, Sayang! Makanan cepat saji tidak baik buat kesehatan! Lagian nggak pingin masak biar punya bekal nanti ngurus suami.. ngurus keluarga!"

Tetesan terakhir teh di cangkirnya terasa seret di kerongkongan. Olivia jadi inget kata-kata yang sering dilontarkan Papanya itu. Sama persis! Dan apa panggilan wanita di hadapannya itu tadi?

*******

, Olivia juga mengangkat cangkirnya dan menghirup isinya perlahan. Sensasi pahit tehnya terasa pas di lidahnya ditambah aroma melati yang belum pernah ia temui. Olivia jadi tertegun karena minumannya. Apa yang ingin segera ia utarakan menguap entah kemana.

"Kamu masih kuliah?"

Wanita di hadapannya mendominasi pertemuan. Di satu sisi, Olivia tersadarkan tujuannya kemari, tapi di sisi lain merutuki keanehan pada dirinya sendiri. Dari pengalaman pertama kali interview, Olivia penuh percaya diri dengan persiapan matang. Suasana ada dalam kendalinya. Tetapi kali ini bukannya tanpa persiapan.. tapi..

Lagi-lagi, Olivia tersentak. Wanita di hadapannya menunggu jawabannya. Wanita itu mengerutkan keningnya. Wajahnya menunjukkan betapa mempesonanya ketika beliaunya masih muda.

"Ehm.."

Cukup! Olivia harus menguasai dirinya sendiri! Olivia bertekad kuat sampai mengepalkan kedua tangannya "Iya!" Sedikit lega dengan hasil pengendalian dirinya dengan jawaban barusan "Seharusnya semester ini berakhir.. tapi saya mengakui belum bisa membagi waktu dengan baik antara menyelesaikan skripsi dan bekerja di kantor. Karena saya tidak ingin setengah-setengah dalam melakukan sesuatu!" Ok's intonasi kata-katanya memang lugas tapi kenapa nadanya jadi curhat. Olivia memberanikan diri menatap wanita di hadapannya. Cuma sebentar lalu menunduk memperhatikan tangannya yang menggenggam erat cangkir. Fix! Kemampuan Olivia menduduki jabatan PR perusahaan bisnis ternama ibukota dipertanyakan.

Kebetulan? Olivia meralat kata itu dengan keberuntungan disaat Mbk Sinta, seniornya mengambil cuti hamil dan melahirkan lalu berlanjut dengan pengunduran diri karena fokus pada keluarga. Olivia yang saat itu jadi asistennya mau tak mau kelimpahan tugas. Perusahaan kurang berkompromi menerima staf baru dengan situasi diburu deadline. Di bagian marketing bisa tarik ulur waktu tapi di bagian produksi semua harus dihargai dengan waktu. Itu keuntungan Olivia. Untuk memudahkan dan demi kelancaran tugasnya, Olivia diberi kewenangan penuh. Rupanya sang atasan tahu benar track record Olivia selama bekerja di perusahaan. Bahkan Olivia disiapkan rekanan baru untuk menyelesaikan tugasnya.

"Orang yang memiliki pengalaman bukankah lebih baik dari orang pandai tapi tidak memiliki keahlian?!"

Ok's, itu bukan pertanyaan tapi pernyataan dari wanita di hadapannya. Lalu apa yang bisa Olivia jawab? Olivia memutar cangkirnya perlahan. Pandangannya serius disana. Walaupun sudah menghirupnya beberapa kali kenapa isinya tidak terlihat berkurang? Apa wanita di hadapannya tipe orang yang suka menghargai dari habisnya minuman untuk tamunya atau cukup diminum saja?

"Apa gunanya ilmu bila tidak diamalkan.. ya kan? Buat apa gelar atau sematan yang tidak berarti apapun tanpa nilai diri yang lebih tinggi yakni memberi arti bagi sesama maupun lingkungan di sekitarnya!" Wanita di hadapannya masih mendominasi percakapan. Satu peluang bagi Olivia kembali menyadari untuk apa dia kemari,

"Apakah demi nilai diri juga membuat seseorang membayarnya dengan penderitaan orang lain?"

"Apa maksud kamu, Olivia.. Nama kamu Olivia, kan?"

Yang dipanggil namanya mengangguk. Bagus lah! Dengan menyebut nama, Olivia merasa terlepas dari intimidasi wanita di hadapannya. Olivia bisa memulai membuka negosiasi agar tim yang bersamanya dapat ditempatkan di lingkungan pemilik Mall Metropolis.

"Mall Metropolis!" Dilihatnya, wanita di hadapannya menatapnya lurus. Datar. Orang yang berpengaruh memang minim ekspresi. Ups! Bukan! Tapi mampu menyembunyikan perasaannya " Maaf! Saya yakin bukan orang pertama yang mengunjungi anda terkait Mall Metropolis" Olivia mengulas senyum sekilas.

"Oh, masalah itu.. Orang yang hidupnya kekurangan seolah yang paling menderita. Tapi bukan itu masalah sebenarnya! Bila ada orang yang berkepentingan mulai mengambil kesempatan dalam kesempitan. Mungkin awalnya mengulas berita yang tak terliput lantas mengemuka.. terus? Iya, kalau mendapat solusi tapi kalau hanya sensasi?.."

Wanita di hadapan Olivia menegakkan punggungnya. Menyedekapkan kedua tangannya di meja. Mengungkung cangkirnya. Menatap Olivia serius.

"Saya bukan wartawati! Saya bukan peliput berita!" Tapi kalau dibutuhkan maka Olivia akan lakukan "Maaf! Saya bekerja dalam tim dan saya sedang berusaha meminta persetujuan pada Pemilik Mall Metropolis untuk mengijinkan tim meliput kegiatan Anda. Dan ini proposal dari kami..!" Olivia menyerahkan map tertutup pada wanita di hadapannya.

Ketika dirasakannya beliaunya hanya menerima dan meletakkan map pemberiannya begitu saja "Mungkin Anda tidak keberatan saya bantu untuk membukanya dan menjelaskan pada Anda? Karena saya yakin sepenuhnya bahwa Anda tentu bukan orang yang suka menyia-nyiakan waktu..!"

"Bawa kawan-kawan tim kamu secepatnya! Pintu rumah ini selalu terbuka untukmu, Olivia!"

Ajaib! Bahkan Olivia belum sempat menjelaskan isi proposal yang diserahkannya. Semudah ini? Olivia tidak tau harus senang atau sebaliknya. Malah jadi was-was.. tetapi apa setelah ini?

"Aku akan mengantarmu berkeliling sekarang juga tapi tolong habiskan dulu minumanmu dan cicipilah apa yang ada di hadapanmu! Tidak baik menolak rejeki! Dan yang disediakan disini bukan sesuatu yang berbahaya bagimu tapi akan mengecewakan bila dirimu tidak menyambutnya!"

Olivia pun membalas senyuman beliau dan mengerti jamuan tuan rumah untuk memuliakan tamunya membuatnya segan. Olivia mengambil satu jenis kudapan. Ia memilih kue gandos rangin yang terbuat dari tepung beras daripada kue onde dan sagon yang terbuat dari ketan. Lebih aman di perut.

"Apa kamu belum sarapan?" Tanya wanita di hadapannya melihat kue apa yang dipilih Olivia.

Olivia mengerutkan keningnya "Jika yang anda maksud sarapan adalah nasi maka saya tidak pernah makan karena saya jarang makan nasi dan memilih penggantinya nasi karena tuntutan kerjaan!" Olivia memang suka sarapan roti atau sereal atau bubur oatmeal. Makan siangnya kadang random dengan makan petang atau makan malam. Ia suka membawa bekal oat chocho, kismis, dan biskuit untuk mengganjal perut. Tak lupa beberapa waktu terakhir menyediakan kurma dalam menu keseharian setelah tau kandungan gizi lengkapnya.

"Ckc.. anak muda yang memilih mandiri lebih suka makanan praktis siap saji! Hati-hati saja, Sayang! Makanan cepat saji tidak baik buat kesehatan! Lagian nggak pingin masak biar punya bekal nanti ngurus suami.. ngurus keluarga!"

Tetesan terakhir teh di cangkirnya terasa seret di kerongkongan. Olivia jadi inget kata-kata yang sering dilontarkan Papanya itu. Sama persis! Dan apa panggilan wanita di hadapannya itu tadi?

'Sayang!'

*******