webnovel

Part 17. Godaan

.

 'Tidak sendiri!'

Setelah ngutheg ngurusin kuliahnya Olivia menyempatkan menemui Simbah yang dipanggilnya 'Kakung'. Setelah beberapa hari tidak bisa menemui beliau. Ada saja yang membuat mereka selisih jalan.

Karena Kakung memilih tinggal dekat letak sawah keluarga. Dan sekarang jadi satu lokasi dengan rumah konservasi.

Rada segan juga karena Olivia memutuskan tinggal di rumah konservasi itu.

Disini, di tengah-tengah keluarga Olivia jelas tidak merasa sendiri. Namun ada yang dirasanya hilang.

Apa ini yang namanya rindu?

Spontan Olivia menggelengkan kepalanya.

 "Masuk, Cah Ayu! Ngapain berdiri terus di situ. Kok ge'dhe'g-ge'dhe'g? Kayak ditari rabi'"

"Kung! Nimas kan udah dilamar? Tiga lamaran, Kung! Tinggal milih kan?"

"Sepertinya sudah terpilih meski terlihat berpaling menjauhi. Semoga dengan menjauh itu semakin menguatkan rasa.. semakin yakin guna melangkah bersama dalam ikatan yang sempurna!"

Kakung itu penganut Kejawen. Pandangan hidupnya terinspirasi sama Walisongo.

Kejawen tidak ada datanya secara formal di Indonesia. Papanya sebenarnya mencari-cari padanannya. Belum percaya kalo Islam yang menjadi sumber mata airnya. Apa yang diajarkan dan dibiasakan sejak kecil ternyata Sunnah dalam Islam.

Prinsip itu sepertinya makin menguat. Tapi apakah papanya memilih prinsip hidup seperti Kakung? Justru Olivia berharap cahaya yang lebih terang menyinari masa depannya.

Kakung duduk bersila dengan damparan. Olivia sowan ke Kakung dengan laku dodok.

Mas Sena terheran-heran dengan sikap Olivia yang 'manut' tata krama. Biasanya dia sesuka hati. Penuh sopan. Tidak ada paksaan.

Sampai di depan Kakung menunduk lalu mencium tangan beliau. Kakung mengusap sayang kepala gadis yang dicat pirang itu. Mestinya akan kembali menghitam sesuai rambut aslinya kalo mau nikah. Agak gimana gitu pakai kebaya dengan rambut bule. Yang keturunan bule aja udah kayak Jawa asli.

"Apa sudah minta doa untuk dipilihkan yang terbaik? Kalau pun kamu sudah tau pilihanmu, berdoalah untuk dikuatkan! Jangan simpan jawabanmu sendiri, Cah Ayu! Biar kami bisa mengambil sikap dengan keputusan yang kamu buat… "

Olivia hanya bisa diam ketika 'didangu'. Mas Sena tau diri lalu berpamitan. Sebelumnya, Budhe juga sudah menanyainya. Olivia hanya ingin mengutarakannya di hadapan papa. Olivia berharap keputusannya tidak terburu-buru.

Kakung tidak mengusiknya begitu ia berterus-terang mengenai keinginannya. Olivia lantas pamit untuk kembali ke ruangannya.

Gantian Mbak Ajeng menemaninya.

"Jodoh itu cerminan diri, De'!  Penyatuan cinta itu untuk saling menyempurnakan! Meski beda  tapi seperti bagian kanan dan kiri tubuh kita justru saling melengkapi! Kalaupun ada keburukan justru itu ujian untuk memperbaiki pasangannya!"

Olivia cuman mengaduk gula jahenya. Pengin es cincau tapi kata Mbak Galuh menyuruhnya bersabar karena olahan yang baru mereka buat belum jadi. Baru dimasukkan ke lemari es. Sekarang udah petang dan berangin. Hawa terasa dingin. 'Mbediding' namanya. Budhenya menganjurkannya minum jahe anget aja.

"Tugas lelaki itu meyakinkan, bener tidak?"

"Ya…?" 

sepertinya Olivia belum ngerti maksud pertanyaan Mbak Ajeng. Jawaban  Olivia barusan ungkapan rasa ingin tau atau sebatas menanggapi saja?

"Dan wanita berhak memutuskan.. menerima atau menolak!"

Mbak Ajeng memperhatikan Olivia yang biasa saja menanggapi kata-katanya. Yang ia tau, secuek apapun Olivia sebenarnya ia pendengar yang baik.

"Godaan terbesar pria ada pada pandangannya! Hal sepele bagi kita wanita padahal dengan sengaja menggodanya dengan memperlihatkan perhiasan yang kita miliki!"

"Perhiasan..?"

"Keindahan wanita! Kamu bukan orang bodoh yang tidak tau apa maksudku dengan perhiasan yang kita miliki, De'! Perhiasan itu ada pada diri kita yang menarik perhatian kaum Adam!"

Oh! Olivia mengerti sekarang. Mbak Ajeng menyinggung tentang kebiasaannya tampil seksi. Ingin menulikan pendengarannya tapi Olivia perlu nasehat. Perlu masukan yang menentramkan hatinya. Mbak Ajeng pasti punya cara agar masukannya mengena. Mungkin cara penyampaiannya.

Olivia hanya berusaha berbaik sangka orang lain mungkin lebih jelas memandang kekurangannya. Harapannya bisa memperbaikinya. Sakit, sih! Tapi lari dari kenyataan itu lebih sakit.

"Apa kamu nggak ingin seorang pria tertarik padamu bukan karena kecantikan yang kamu miliki karena kecantikan akan pudar seiring usia? Kadar kecantikan juga relatif nilainya bagi setiap orang…!  Bisa nggak, sih?! Memberikan yang spesial dari diri kita hanya untuk suami kita, kan suami yang lebih berhak atas diri kita?!"

Olivia diam tidak menjawab. Pikirannya bukan lagi pada pertanyaan yang diajukan Mbak Ajeng tapi apa yang membuat seorang putra mahkota kerajaan bisnis Memetri tertarik padanya.

"Jika kamu sudah menetapkan hatimu pada seorang pria yang menjadi suamimu  berarti kamu bersedia menjadi apa yang diinginkannya tentu saja selama di jalan yang ALLAH Ridha! Bersedia bertanggungjawab atas konsekuensi saat memutuskan untuk hidup bersama. Ingat kan kalau bhakti dan restu anak ada pada ibunya? Maka bhakti dan restu seorang istri ada pada suaminya!"

Kata-kata Mbak Ajeng menohok banget. Olivia meneguk minumannya. Angetnya jahe tidak terasa di tenggorokannya. Malah yang menghangat di pelupuk mata.

"De'...! Karena ucapan lisan seorang pria  menjadikan seorang wanita jadi istrinya pun sebab lisan suami juga seorang istri dicerai! Maka cari lelaki yang bisa dipegang kata-katanya lagi penyabar dan tidak mudah mengumbar janji! Jangan sampai karena kelalaian kita, suami marah lalu mengucap talak!"

Olivia jadi gusar mendengar kata-kata Mbak Ajeng barusan. Konsep pernikahan dalam Islam berbeda dengan konsep pernikahan dalam agama yang pernah ia anut. Mengapa dalam Islam yang mengikat janji sucinya pihak suami dengan wali?

Ijab yang artinya limpahan tanggung jawab oleh wali dari si mempelai wanita lalu kabul yang berarti  diterima oleh mempelai pria.

Yang mengucap akad nikah antar wali mempelai wanita dengan mempelai pria. Beda dengan agama yang dianutnya dulu. Sakramen pernikahan antara pengantin pria dan pengantin wanita. Saling bertukar janji antara mempelai pria-wanita. Wanita menikahkan dirinya sendiri.

Hal itu justru tidak sah dalam Islam. Pernikahannya batal. Bahkan seorang janda yang menjadi wanita bebas dalam menentukan dirinya sendiri tetap memerlukan wali ketika memutuskan untuk menikah.

Selain masalah psikologis wanita yang fitrahnya dilindungi mungkin karena pernikahan itu awal dari membina rumah tangga dimana keluarga merupakan koloni terkecil suatu bangsa. Dan pernikahan juga penyatuan dua keluarga antara pihak mempelai pria dan mempelai wanita.

Jika pertemuan dua keluarga itu baik maka penyatuan keduanya juga akan baik. Rumah tangga yang nantinya akan dibina juga baik. Saling memberi dan menerima ini yang dianjurkan dalam agama. Seharusnya lah mempelai pria mampu mengawali dalam membina hubungan baik tersebut. Akad yang diucapkannya saat pernikahan itu sebagai bukti keseriusannya membina hubungan baik tersebut.

Mungkin itulah mengapa seorang ayah lebih diutamakan menjadi wali nikah mempelai wanita. Keinginan terpendam dari seorang Olivia.

"Kamu wajib bersyukur, De'! Lelaki yang memilihmu hanya menginginkanmu seorang.. menjadikanmu satu-satunya! Jika kamu tidak segera menyambutnya sekarang belum tentu nanti akan mendapatkan kesempatan seperti ini lagi!"

Olivia menatap Mbak Ajeng. Alisnya bertautan. Mbak Ajeng duduk di sebelahnya dengan resah. Menghabiskan sisa minumannya hingga tandas. Memutar gelasnya yang telah kosong.

"Lelaki yang punya tujuan dalam hidupnya! Tiap untaian kata-katanya menjadi doa. Bahkan saat ia marah sekalipun harapan kepada kebaikan yang ia lontarkan! Ia tau cara mengarahkan tanpa menggurui! Yang seperti itu tiada duanya di dunia untuk saat ini, De'..."

Mengenai tujuan pernikahan Olivia jelas tau proposal yang dibuat Andi yang tak sengaja dibacanya saat pertemuan di rumah Kakeknya. Dan Olivia jadi makin yakin dengan kebersamaannya dengan pria yang sedari awal menarik hatinya itu. 

Tapi?

Siapa lelaki yang dimaksud Mbak Ajeng?

"Rasa cinta itu bertaut saat kedua belah pihak saling memiliki. Meski perbedaan pasti ada bukan lagi aku dan kamu tapi  'kita'! Lebih mudah merancang masa depan bersama dibanding cinta sepihak! Melangkah pun berlainan arah. Hampir mustahil untuk bertemu dalam satu tujuan!"

Apa Mbak Ajeng sedang curhat, ya? Banyak bisik-bisik kalo Mbak Ajeng dimadu. Mas Sena diam-diam nikah lagi tanpa memberitahu Mbak Ajeng, istri sahnya. Katanya Mbak Ajeng tau dari tetangga yang diundang Walimah.

Eh!

Salah kaprah!

Kalo ada Walimah berarti bukan nikah siri. Sir'. Diam.  Walimah kan makan bersama? Berarti nikahnya diumumin, dong. Bukan siri! Meskipun nikahnya sah secara agama saja. Begitupun  bila nikahnya sah secara agama dan hukum negara tapi tidak ada Walimah atau tidak diumumkan tetap saja jadi nikah siri.

"Tapi aku sempet pesimis, sih waktu itu…  Apa aku memang pantas untuk diperjuangkan? Dan kekhawatiran itu masih ada sampai sekarang, De'! Hanya doa.. doa, De'! Doa adalah senjata yang kuandalkan saat-saat seperti itu!"

Mbak Ajeng memeluk Olivia erat.  Di balik sikapnya yang lemah-lembut ternyata Mbak Ajeng wanita yang kuat. Olivia membalas senyuman dan memeluknya tidak kalah erat. Mbak Ajeng melepas pelukannya dan mengelus pipinya sayang. Matanya berkaca-kaca.

"Mbak Ajeng pasti bisa melewati semuanya! Mbak Ajeng kuat! Aku yakin itu!"

"Doakan, ya!"

"Tentu!"

Lalu berlalu. Katanya mau ngurusin belajarnya anak-anak. Meninggalkan Olivia sendiri di ruangan favoritnya.

Sehari setelah diajak ke rumah tepi sungai ini. Olivia memilih tinggal disini. Katanya ini rumah impian mamanya yang dibangun papanya. Benarkah?

Sekalian nemenin Kakung.

Tercenung sama kata Mbak Ajeng, istrinya Mas Sena. Ambigu nggak sih?

Mas Sena dikenal playboy katanya orang-orang padahal tipe setia menurutnya. Apa selama ini ia salah menilai Mas Sena?

 Tak berselang lama

"Lelaki  akan berhenti mencari di luaran bila sudah ada hati yang mengikatnya di rumah!"

Baru aja Mbak Ajeng keluar. Kok tidak ada sapaan? Apa mereka tidak bertemu? Karena yang bicara itu jelas Mas Sena yang sepertinya sedang menuju kemari.

Olivia jadi inget kata papanya. Dan mas Sena juga mengatakan demikian barusan. Hampir sama. Ah?

Kakek Andi juga pernah mengatakannya.

Terdengar suara berbincang di ruang tengah sana. Sepertinya pembicaraan Mas Sena dengan Budhe. Olivia jadi segan mau gabung.

"Apa Raden Anom nantinya mempunyai selir?"

"Kenapa? Wajar untuk Den Bagus punya istri lebih dari satu.. Lha kamu..!"

Kapan berhenti kalau tiba-tiba mendapati anak ingusan yang mengaku Cucu Eyang!?

"Berapa anak TRiman yang kamu punya?"

Sudah lumrah, lelaki kaya atau orang yang berpengaruh memiliki simpanan. Rasa suka pada wanita sampai menabur benih lalu menikahkannya dengan lelaki lain yang menerima dengan ikhlas atau dengan bayaran yang disepakati. Tapi itu di jaman dulu.. Olivia masih ragu hal tersebut juga berlaku sampai sekarang. Apa mungkin MAs Sena melakukan hal yang sama.

Sebutan lain tapi lain cerita untuk Lembu Peteng dari keturunan Senapati Ing Alaga yang dulunya diduga anak Sultan Hadiwijaya. Konon karena bakti seorang sahabat sekaligus abdi. Ki Ageng Pemanahan rela istrinya melayani junjungannya. Hingga akhirnya lahirlah Sutawijaya.

Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya sesuai pepatah.

Runtuhnya Kesultanan Mataram karena satu keturunan yang sama dan merasa berhak atas tahta.

Olivia masih menguping. Tidak ada sahutan. Mas Sena terdiam dengan tuduhan Budhenya itu? Apa perkiraan Olivia tidak meleset? Tidak ada bantahan dari Mas Sena? Mungkin tidak bisa mengelak atau mau membela diri tapi tak punya bukti. Olivia jadi sibuk dengan pemikirannya sendiri. Apakah Andi?

Eh?

Kenapa juga mikirin dia?

Tapi dia? Olivia pening memikirkannya. Penilaian Mas Sena dan Budhe tadi lumayan menambah gambaran tentang masa depannya.  Tambah rumit aja Olivia mikir seseorang itu terus. Mending bebersih diri lalu tidur.

€€€€€