webnovel

Part 12. Hilang Kendali

Rasa kepalanya pening. Olivia menjumput kismis lagi. Resep yang diajarkan Mbak Ifa. Kismis salah satu kesukaan Rasulullah. Herbal yang bisa mengatasi sakit kepala. Dan Olivia menyempatkan searching tentang kegunaan kismis. Ia coba konsumsi ternyata cukup manjur. Lama ia nggak keserang migrain. Tanpa diminta pun, Mbak Ifa memberikan spesial serve untuk Olivia dengan topping kismis pada jus  maupun salad pesanannya.

Akibat menangis seharian, mata Olivia sedikit membengkak. Ia sudah mengoles VPO untuk mengatasinya. Tapi matanya masih sembab dan tetesan itu keluar  lagi. Cengeng banget, sih!?

Sesekali merutuki dirinya sendiri. Dari rumah Putri hingga saat ini, Olivia mencoba menasihati dirinya sendiri. Namun air mata yang tumpah tak bisa ia cegah. Yang ia lakukan menyendiri berkontemplasi.  Apalagi pas momen tahun baru Hijriyah. Tahun baru yang berarti baginya mulai kini. Tahun baru pertama sebagai seorang muslim.

Dengan pemikiran baru. Rencana baru. Boleh ia merencanakan sesuatu tapi ada Dzat Tertinggi Yang Maha Memutuskan segalanya. Dan ia berusaha mempersiapkan diri bahkan sampai kemungkinan terburuk sekalipun. Pelajaran hidup yang ia dapatkan dari seseorang…?

Astaghfirullah!

Sungguh berat rasa ini. Dan Olivia mengembalikannya pada Sang Pemilik Cinta. Yakin Keputusan Sang Maha Cinta lah yang terbaik. Berharap dirinya ridho atas segala Keputusan-NYA.

Syukurlah, Rita sepertinya mengerti bahwa ia butuh kesendirian. Seharian sahabatnya itu tidak menegurnya. Alih-alih bertanya bahkan Rita sama sekali tidak mengusiknya.

Rita tidak pula bertanya mengapa matanya bengkak dan memerah di pagi itu. Olivia sadar tidak mungkin menghindari orang-orang. Hanya berupaya berdamai dengan kenyataan. Agar hari-hari yang dilaluinya akan terasa lebih ringan.

Libur akhir pekan benar-benar Olivia pergunakan untuk berlibur. Entah ia harus senang atau sedih karena sepekan  ini, Olivia berkutat di meja kerjanya saja. Saat pengumuman dan penyambutan CEO yang baru, Olivia malah mendapat tugas di luar. Nggak usah disebutin pasti udah tau. Yang membuat hati Olivia terkoyak!

Halah?

Memangnya Olivia siapanya dia?

Sebenarnya ada rasa kerinduan yang sertamerta ia tepis. Olivia sadar diri, kok. Tidak pantas berharap sesuatu yang terlalu tinggi. Takutnya jatoh! Sakit… benar-benar sakit memang! Semakin tinggi akan semakin sakit jatohnya! Tapi Olivia meyakinkan dirinya bahwa ia kuat untuk menahan dan mengobati lukanya. Mungkin ia akan memerlukan seseorang. Untuk sandaran. Opsi lainnya, Olivia bertekad menamatkan kuliahnya.

Olivia menyempatkan bertemu dengan papanya. Rencana yang sempat tertunda sepekan yang lalu. Ah, Olivia menggelengkan kepalanya. Tidak ingin berderai-derai lagi.

Sudah cukup!

Dan tetap saja Olivia harus menghapus segera lelehan di pipinya.

Begitu memasuki pekarangan rumah.   Disambut kelinci-kelinci lucu yang berlari kaget karena kedatangannya. Setidaknya geli melihat tingkah mereka sedikit mengurangi kekakuan otot wajahnya.

"Kok, sepi? Mang Asep kemana, Pa…?"

"Kesayangan Papa!" 

Pak Rudy memeluk lalu mencium kening putrinya

"Bukannya tanya kabar Papa gimana malah bertanya Mang Asep dimana?"

Mereka tertawa. Olivia memeluk papanya erat. Kehangatan yang mampu menguapkan kesedihannya.

"Habisnya… Papa sibuk, sih dengan si Hejo mana denger Olivia dateng?"

Hejo itu parkit piaraan papanya yang berwarna hijau.

"Uluh-uluh! Anak Papa cemburu sama Hejo rupanya!"

Mungkin karena mendengar namanya disebut, Parkit itu menyebut nama panggilan sayang  papanya pada putri semata wayangnya. Papanya nyebut namanya dengan 'Live' dua kosakata.

'Liv'

lalu

'e'

Kata papanya maksud nickname khusus untuknya dari bahasa Belanda 'lieverd' artinya; kekasih.

Olivia tertawa dan menyempatkan menyapanya. Si parkit kegirangan dengan ngusel-ngusel paruhnya ke jemari Olivia.

"Kamu nggak usaha ngerebut Papa dariku, kan Jo?"

Seolah mengerti pembicaraannya, si parkit seketika menegakkan badannya. Mengangkat salah satu kakinya. Jambulnya mengembang sambil mengeluarkan jeritan uniknya. Olivia tertawa geli sampai air matanya keluar lagi.

Papanya merangkul dan mengusap pipinya.

"Air mata ini haruslah kebahagiaan bukan malah sebaliknya!"

Olivia termangu.

Papanya menghela nafas lalu membimbingnya menuju pantry. Aneh, ya? Papa itu Jawa tapi memilih desain rumah ala barat. Papanya membawanya ke dapur bersih. Lengkap dengan meja makan.

"Yuk! Kamu harus makan masakan Papa kali ini! Sementara Papa menyelesaikan masakan, Liv-e bisa icipin skutel!"

Menarik kursi dan mendudukkan Olivia disana. Tuh kan! Menu masakan aja khas dari Belanda.

Wuah!

Bukan hanya schotel tapi ada coklat juga.

Sebentar!

?

Infus water dengan potongan lemon, strawberry, dan lembaran daun mint

?

Schotel jagung dengan topping sambal korek

?

Coklat D* Ruijt*er? Merk ini

?

Tidak!

Olivia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ya Tuhan.. ada saja hal-hal kecil yang mengingatkan tentangnya. Semakin ia berusaha melupakan semakin kuat kenangan itu teringat. Olivia percaya sekarang ungkapan tersebut bukan mengada-ada. Pengalaman hidup rupanya.

Olivia mencoba melepaskan ketegangan lehernya dengan menggerak-gerakkannya dibantu topangan tangannya. Sesaat memejamkan mata. Saat matanya terbuka pandangannya tertuju pada sepeda tua di pojok sana. Yang biasanya digantung tapi kali ini terparkir di lantai.

"Pa, sepeda ini bisa dipakai?"

Serta merta melangkah ke tempat sepeda tersebut. Olivia mengamati sebentar lalu menggerakkan setangnya.

"Ehm..! Lhoh.. kamu belum makan satupun, Liv-e Sayang?"

"Ntar dulu, Pa!"

Duh, Papa bukan mengalihkan pembicaraan tapi mengingatkan perhatiannya pada hal remeh tentang seseorang itu… hiks!

"Kapan kita bisa olahraga bareng, Sayang? Papa sudah membawanya dari sepekan kemarin keliling komplek! Lumayan bisa me-refresh semangat sama anak-anak… dan bisa ketemuan sama teman-teman seumuran Papa..!"

Wah! Papanya semangat sekali bercerita. Olivia mengikat rambutnya lalu naik sepeda itu. Maju-mundur.

"Asyik juga, ya Pa? Nanti sore gimana, Pa? Si browntown masih setia, kan Pa?"

Olivia menyebut sepeda mahal bewarna keemasan. Memelesetkan nama merknya. Tapi sepeda kesayangan papanya itu memang mahal. Tidak mau kalah sama merk sepeda yang pernah diselundupkan di bagasi pesawat. Kasus yang melibatkan pejabat tinggi negara.

Papanya seketika tertawa.

"Liv-e! Mending bawain ini ke ruang tengah, nih biar ada teman buat ngemil!"

masih dengan ketawanya.

"Memangnya ada tamu, Pa? Pantesan ada suara tv dari sana.. punya tivi baru, Pa?"

Olivia mendekat ke arah Papanya. Pasti teman dekat kalo di ruang tengah. Ruangan keluarga. Karena dari dulu, keluarganya menerima tamu di ruang depan. Ruang tamu. Bukan di ruang tengah.

"Bukan baru! Malah tivi yang lama! Seorang spesial sedang memperbaikinya. Mangkanya, Papa ingin Liv-e membawakan sesuatu untuknya!"

merangkul pundak putrinya yang sejangkung dirinya lalu mengecup keningnya.

"Beli baru kenapa, sih Pa? Yang namanya soang diperbaiki gimana juga pasti rusak lagi…"

Olivia sewot dengan sifat kolot papanya pada barang-barang kesayangannya. Diperjuangkan keberadaannya dengan dalih apapun. Bersyukurlah yang jadi kesayangannya. Termasuk dirinya. Ha.. ha.. hai..

"Memang mudah membeli yang baru tapi yang sulit itu membuatnya awet!  Seperti halnya pernikahan memang mudah memulai karena yang sulit adalah mempertahankannya! Papa harap Putri Papa dimudahkan pernikahannya dan selalu bertahan di dalamnya…"

"Semoga, ya Pa! Terima kasih, Pa!"

Olivia memeluk Papanya dan dibalas lebih erat

"Tapi… barang kesayangan Papa beda dengan pernikahan, Pa.. Please!"

Papanya memijit hidung mungilnya. Hidung mendiang mamanya. 

"Sakiiit, Pa!" Jeritnya manja.

"Papa pasti kangen sama manjanya Putri Papa ini karena kamu pasti lebih memilih manja pada suamimu.."

"Tapi Liv-e akan terus manja, kok sama Papa! "

Olivia memukul lengan papanya

"Ngalihin pembicaraan, nih Papa!"

Papanya tertawa

"Nampannya masih menunggu, Sayangku! Dan soal tivi Papa selama masih bisa nyala biarlah tetap disana karena maling pun akan sulit membawa tv tabung dibanding tivi datar!"

"Ok's, Pa… Terserah!"

Olivia mengambil nampan schotel dan gelas beserta seteko besar infus water. Lumayan berat, sih. Papanya mengambil tekonya.

"Duluan, sebentar Papa nyusul!"

Tau aja, Pa! Dibalas senyum manisnya membuat papanya mencubit pipinya.

"Sakit, Pa..!"

suara manjanya dan belagak ngambek.

"Papaaa..!"

Papanya nguyeg puncak kepalanya.

"Udah sana!"

Papanya mendorong punggungnya menjauh.

Melangkah ke ruang tengah. Kok! Ada debaran yang tak asing? Huh! Olivia mengehela nafas. Tetap meneruskan langkahnya.

Sesampainya di ruang tengah. Perlahan membuka pintunya. Terlihat sesosok membelakanginya. Sedang sibuk dengan peralatannya.

Olivia mau bersuara menyapa. Tapi sosok itu begitu dikenalnya. Dan tubuhnya terasa beku ketika punggung itu berbalik.

Kalau saja, papanya tidak segera mengambil  alih nampan yang dibawanya. Pasti nampan itu sudah terlempar.

Dua muda-mudi saling bertatapan. Saling diam. Lama… sampai serak Pak Rudy berdehem tidak mereka hiraukan. Akhirnya, Pak Rudi menggamit lengan Olivia mendekat ke arah Andi. Pak Rudy menepuk pundak Andi. Baru… keduanya salting. Seperti maling yang tertangkap basah sedang mencuri.

"Papa tau kalian sudah saling kenal, kan? Kenapa jadi kaku begini? Diem-dieman lagi! Kalian sedang bertengkar?  Bicarakanlah! Kalian bukan remaja lagi yang harus nunggu beberapa tahun lagi untuk memulai hidup baru bersama!"

Panjang lebar Pak Rudy menasehati. Telinga mereka yang pekak mungkin. Mereka sedang fokus dengan adu tatapan. Olivia masih kaku sementara Andi mulai  menebar senyum mautnya.

Muka Olivia memerah melihat senyum itu. Ini yang namanya siksaan yang sebenarnya. Dengan pesonanya, Andi mampu memikat hati siapa saja. Dan Olivia ikut terpedaya. Olivia ingin berontak tapi tidak bisa. Belum!

Olivia memalingkan pandangannya. Mengepalkan tangannya. Wajahnya mengeras. 

Andi melihat perubahan itu. Alisnya mengerut sebentar lantas tersenyum lagi. Memang itu yang Andi tunggu. Wanita dengan pertahanan diri agar terlihat tangguh. Sengaja membangun tembok yang tinggi namun kadang ia sendiri tak mampu melampaui. Dan Andi akan menjadi pintu perlindungan agar mereka bisa keluar-masuk. Pintu hati yang membingkai dalam asa.

Andi mendoa agar mereka kuat dalam berbagai tempaan. Demi kebaikan mereka bersama.

Karena yang ingin ia bangun bersama Olivia adalah rumah tangga. Tangga menuju kesuksesan… dunia maupun akhirat.

Lihat saja! Olivia diam atau menjawab tapi ketus.  Selama ngobrol di meja ruang tengah.

"Pa! Eh.. Om! Olivia itu makannya susah banget, Om! Tapi, Om lihat kalau dia sekarang lebih berisi karena saya rajin nyuapin dia!"

Tangan Andi memegang cuilan schotel sesuap yang diarahkan untuk Olivia. Sejak kapan Andi duduk di sampingnya?

Olivia sontak membulatkan mata. 

"Kamu tidak ingin mengecewakan papa, kan? Dari kemaren beliau persiapkan untukmu dan kamu belum makan sedikit pun…?"

Ajaib! Sikap Andi tidak canggung lagi seperti sikapnya akhir-akhir yang lalu sebelum pertemuan ini.

Seperti saat mereka sedang dekat-dekatnya. Sampai santer terdengar mereka berdua teman tapi mesra.

Sungguh! Olivia penasaran dengan sikap Andi saat ini. Apa yang disodorkan Andi padanya begitu menggoda, tapi…?

Apa dia khilaf dengan prinsip hidup barunya?

Olivia melirik ke papanya yang seolah-olah membiarkan dua muda-mudi bertindak semaunya.

Duh!

Liv-e minta bantuan, Pa!

Ngelarang, kek?!

Marahin Andi, Pa!

Tanpa sadar mulut Olivia terbuka tanpa suara dan masuklah ke rongga terbuka itu kudapan lezat yang sebenarnya ia rindukan.

Tanggung kalau baru menyadari kebodohan sikapnya. Muka Olivia merona menahan malu. Mana mungkin ia memuntahkan isi mulutnya. Tidak ada yang salah dengan makanan itu. Kecuali dari tangan Andi. Kan pengajaran dari papanya untuk tidak membuang-buang makanan?

"Dinikmati, Sayangnya Papa! Apalagi dari orang spesial!"

Papanya mengedipkan matanya bikin Olivia makin gondok

"Ya, kan Pangeran!"

Wow! Ternyata papanya tau reputasi Andi.

"Iya, Pa! Putra Mahkota yang bisa mendapatkan wanita manapun yang diinginkannya! Bukan hanya satu kayaknya dengan kuasa dan kekayaannya jadi cassanova!"

Sengaja  dengan komentar sinis itu Olivia bisa menumpahkan duka-lara yang sedang dipendamnya rapat-rapat. Sengaja mengingatkan papanya yang mungkin silau dengan apa yang ada pada Andi.

Tuh, pada diem kan?!

"Menurutmu… aku seperti itu?"

Sekian menit berlalu, Andi buka suara.

"Bukan maksud! Emang kamu ngerasa?"

  terasa menohok kan sindiran barusan?

"Mungkin! Kalau Kamu tidak bersedia menjadi Ratu Hatiku!"

Tatapan dan ucapan Andi membuat Olivia hilang kata-kata.

Sekejap kemudian Olivia menyadari. Keangkuhan itu terbit lagi. Papanya sama sekali tidak membelanya. Sibuk dengan camilannya. Olivia mengesampingkan rasa perutnya yang jadi lapar. Berdiri bermaksud ingin segera beranjak dari tempat itu.

Kriukk... KRUUk..

Tapi tangan kokoh mencekalnya  hingga membuatnya terduduk kembali.

"Habiskan bagianmu biar perutmu tidak kelaparan lagi!"

Tegas dan penuh wibawa yang Olivia sudah kenal. Dasar perut nggak tau diri! Mau pergi malah berbunyi? Hiks!

"Apa perlu aku suapi?"

menempatkan piring berisi tiga cup schotel di depan Olivia.

"TIDAK!"

Olivia tersentak dengan deheman keras lantas menoleh ke papanya yang menggeleng ke arahnya. Sikap Olivia keterlaluan menurut beliau. Dengan susah payah menahan napas untuk meredakan sesuatu yang akan meledak.

"Tidak perlu karena saya bisa makan sendiri.. Terima kasih!"

Nada suara Olivia menurun meski ketusnya masih kentara. Bagus, Pa! Malah membela orang baru dibanding anak sendiri…?

Seperti mendengar suara hatinya, papanya tersenyum meledek tapi ditutupi dengan jari.

"Benar, Liv-e! Habiskan dulu makananmu baru kamu istirahat di kamar. Kami sesama lelaki mau ada perlu!"

Ih! Apa-apaan?

Papa menyebalkan!

Semua nyebelin!

Terpaksa Olivia makan sesuap demi sesuap dengan tidak ikhlas.

Olivia kan anak baik nan penurut. Selesai makan… sendirian! Sendirian karena dia ditinggal karena durasi makannya terlalu lama dibanding yang lain.

Andi sempat menungguinya.

"Lebih baik kita mulai misi kita hari ini, Pangeran!"

Olivia memutar bola matanya mendengar sapaan papanya untuk Andi.

 "Dia makin lama kalo ditungguin…!"

menarik lengan Andi agar segera bangkit.

"Maaf kalo aku harus menuruti perintah orang tua.."

pamit Andi.

BOMAT!

Membereskan dan membersihkan peralatan makan menjadi kebiasaan baru sejak bisa memasak. Tidak peduli dengan para lelaki yang entah mengerjakan apa. Ramai celotehan dan canda tawa. Seperti di teras depan sana. Kalaupun penasaran harus dilupakannya karena ada sepasang mata elang yang seolah selalu mengawasi setiap gerakannya.

Ih!

Mending Olivia tidur di kamarnya. Olivia tidak perlu membenahi kamarnya karena setahunya papanya sudah mempersiapkan untuknya. Sedikit curiga dengan aroma yang tidak asing. Membawa kenyamanan yang mengantarkannya ke alam mimpi.

Tidak lama Olivia terlelap. Suara ramai para lelaki terdengar mendekat. Sepertinya di kolam belakang rumah.

Membenahi penampilannya sebentar. Olivia menuju dapur belakang. Syukurlah tidak ada siapapun disana. Membuka-buka kulkas dan memilih bahan-bahan. Ia masak yang seger-seger di sore hari. Mumpung ada lontong. Bikin Salad versi Indonesia… gado-gado!

Olivia menepis olahan sayur yang paling disukai bule Belanda itu tapi ia sendiri dan papanya juga suka.

"Liv-e, surprise Kesayangan Papa ternyata bisa masak! Tapi kamu nyindir Papa, ya dengan gado-gado ini?"

mencelos hati Olivia. Tatapannya penuh tanya pada papanya.

Seperti di meja ruang tengah tadi. Sore kali ini juga bertiga tapi di dapur. Karyawan papanya termasuk asisten rumah tangga memilih makan di gazebo dekat kolam.

"P.. "

Andi menatap Olivia sekilas

"Om belum ompong, kan? Apa iBunda perlu tau soal ini, Om?"

Andi terlihat cekikikan yang ditahan dengan tangannya.

"Lihat, nih! Gigi masih lengkap begini dibilang ompong? Gini-gini kamu kalah kalo balapan makan kerupuk!"

"Lomba tujuhbelasan, Om makan kerupuk? Diemut pasti.."

Andi tertawa lepas. Tapi kemudian demi melihat papanya Olivia nekat makan

"Jangan dipaksa, nanti perut Om bisa sakit! Sini, Om selada sama buncisnya.. kalo tomat empuk, kan Om?"

Tak segan Andi merapatkan piringnya dan mengambil potongan sayur yang dikumpulkan papanya. Olivia yang kikuk. Ia cepat-cepat ingin menyudahi acara makan sore itu. Malah tersedak. Andi juga yang gercep menepuk-nepuk belakang lehernya dan ganti mengelus punggung. Olivia mengambil gelas berisi air putih yang disodorkan Andi sambil menepis tangan yang mulai lancang itu.

"Pak! Ikannya saya taruh di wastafel, ya! Udah selesai disiangi, inih tinggal dibumbuin!"

"Biar aku aja bumbunya!"

Mang Asep menyelamatkan Olivia dari suasana awwark dengan Andi. Sungguh! Olivia jadi ragu dengan wejangan Papa yang memintanya untuk menjaga jarak dengan lelaki manapun selain Papa dan suaminya nanti. Mosok membiarkan Andi yang modus?

"Maaf, Om! Saya ingin bersiap sembahyang petang!"

Bagus!

Olivia tau maksud Andi sembahyang petang adalah sholat Maghrib. Papanya masih dalam pencarian menemukan kebenaran tentang adanya Tuhan Semesta Alam. Dia masih pindah dari satu keyakinan ke keyakinan yang lain. Meski di KTP tertulis agama papanya Katholik. Semoga pencarian papanya berujung hidayah.

Olivia sudah rutin melaksanakan sholat. Tapi kali ini sedang terkena palang merah. Ia bisa lanjut meracik bumbu. Rencananya mau dibikin ikan bakar lengkap dengan sambal tomat dan kuah asam kecap.

Olivia melumuri ikan yang berjajar di meja dapur dengan perasan jeruk nipis. Lalu menyiapkan bahan lain Nyambi menjerang air. Sudah tersedia kopi maupun  teh yang bisa diseduh nanti. Olivia juga menyiapkan sendiri sirup jahe. Para sesepuh pasti memilih yang panas-panas. Tuan muda itu pasti ngikut aja karena malam ini udara mendingin.

"Awh! Aduh!"

Olivia sedang membalik ikan yang sudah dibalur bumbu. Ingin memastikan semua bagian ikan sudah rata dengan bumbunya. Malah tertusuk duri.  Yang membuatnya kaget lagi tangan Andi gercep menarik tangannya. Memencet yang berdarah di bawah kran yang mengalir hingga Olivia berasa kesemutan. Beberapa saat Andi baru melepaskannya yang berusaha berontak. Setelah Olivia tersadar dari buaian wanginya tubuh Andi yang mengungkungnya dari belakang.

Ck.. ck.. postur tubuh Andi yang jangkung membuat Olivia jadi  mini me. Meski untuk ukuran wanita Indonesia, tinggi 170cm itu termasuk tiang listrik. Lhah!

Apalagi Andi yang 190?

"Biar aku yang siapin di meja makan! Kamu bisa ganti bajumu yang kotor karna ikan-ikan nakal itu..!"

Eh?

Kamu yang nakal!

Atau jangan-jangan.. karena bau bajunya yang terpercik amis ikan! Sehabis tidur siang tadi Olivia nyempetin mandi, kok!

Ckck.. setidaknya Olivia bisa mandi air hangat karena sudah gerah dan pembalutnya minta diganti juga. Lagi deras-derasnya, sih.

Harumnya ikan dibakar sudah menguar sejak ia di kamar. Di belakang sana, para lelaki sudah riuh. Ke dapur, dilihatnya Andi masih sibuk dengan bakaran ikannya.

"Olivia! Bisa minta tolong ambilkan piring untuk ikan-ikan ini? Tinggal tersisa bagian untuk kita berdua, nih.."

Berdua?

Olivia harus gimana?

Perutnya lapar lagi dengan tercium ikan bakar tapi hanya berdua?

Papanya keterlaluan, deh!

Duh! Nggak enak banget makan ikan tanpa menyentuh langsung dengan tangan.

Tangannya terluka jadi perih kalo kena sambal juga. Tapi Olivia tidak ingin memperlihatkan kesulitannya memisahkan daging ikan dari durinya menggunakan sendok dan garpu.

Bisa, kok!

"Nggak usah malu minta bantuanku!"

Dengan telaten Andi memisahkan duri ikan di piring Olivia. Selesai ia makan lagi dengan lahap. Lebih cepat habis dari Olivia padahal Andi juga sudah nambah nasi lagi agar Oliviatidak terkesan tertinggal.

"Apa Kamu tidak ingin terlihat jelek kalo lagi makan?"

Andi tidak memberi kesempatan Olivia menjawab. Andi memenuhi mulut Olivia dengan makanan di piringnya yang masih banyak isinya. Padahal mengambil sendiri. Harus dihabiskan menurut pengajaran ibundanya. Begitu juga papanya Olivia.

"Seharusnya Kamu bisa makan nasi secepat makan camilan lah?"

Dan Olivia tunduk dengan perlakuan Andi. Apalagi disertai ceramah yang jleb!

Andi juga tidak segan membantu Olivia membersihkan peralatan makan. Malah lebih gesit menurutnya. Calon suami idaman!

Ups!?

"Apa Kamu sedang memikirkan sesuatu?..  tentang aku?.. tentang.. kita..?"

Eh?

Muka Andi ada di hadapannya. Olivia jadi terpaku karenanya.

Entah bagaimana mereka terbuai dengan suasana yang tercipta. Atau mereka yang membangun suasana. Seolah hanya mereka berdua. Bahkan Olivia tak mengelak saat wajah Andi semakin dekat. Begitu dekat… sangat.. sangat dekat...

💕💞

P L A K ! ! !

*****